Zainab

TINGGAL hanya panci yang pantatnya pekat seperti malam tigapuluan. Zainab melengos sebentar sembari merenggangkan kempitan lututnya yang mulai kebas. Ia mendoyong menggamit sabun krem, dan panci itu disabun bagian dalamnya saja. Diguyurnya segayung, dua, dan tiga gayung air.

Zainab membersikan tangannya dan berdiri menyangkutkan panci itu ke dinding kayu yang sudah  tampak lapuk.  Lapuk seiring usia rumah yang dibangun tiga puluh tiga tahun lalu ketika Nazarina lahir. Anak perempuan satu-satunya itu kini sudah beranak dua putrid nan cantik dan lucu..
Di pagi makin merangkak mengamban siang. Ia tahu di halaman depan sana, persis berhadap-hadap dengan rumah Aminah, adik satu-satunya yang seibu, cucu bungsunya sedang bermain seorang diri. Seperti biasa, Zainab akan melihatnya sedang memotong pucuk-pucuk daun waru dengan pisau lipat karatan dan sudah lama tak dipakainya lagi. Atau, kali yang lain mengayuh becak beroda tiga peninggalan si sulung yang sekarang sudah duduk di kelas tiga SD.

Ah, lebih baik ia mandi. Badan begini berkeringat. Sebentar lagi Nazarina membawa pulang belanjaan sebelum berangkat lagi ke puskesmas arah selatan, dekat jalan negara Medan-Banda Aceh. Beruntungnya ia punya perempuan yang seorang itu. Kalau tidak, entah bagaimana. Setelah selesai bersalin, ia menjumpai cucunya. Dan, belum tujuh meteran ia mendekatinya, gadis kecil itu menoleh ke arahnya dan serta-merta menghamburkan diri padanya.

  “Nenek ...! Minta uang ...!” Bocah itu bergelayutan di dasternya.adi ‘kan ada dikasih mamak,” ujar Zainan mencoba mengelak. Ia sendiri tahu benar kalau cucunya tak akan pernah mundur minta tuntutan. Zainab bukan enggan uang lima puluh ribunya dipecah; sebab, jika sudah begitu maka tanpa terasa uang tersebut akan tak tersisa lagi. Tapi si bocah tampaknya makin geligas saja menggagapi saku dasternya.

“Untuk apa uang lagi, ‘kan sudah sarapan,” serunya agak panik. Cepat-cepat ia pertahankan sakunya dari rogohan si kecil. Tiba-tiba ia ingat uang seribu lima ratus perak yang ia selipkan ke bawah koran, alas lemarik tempat lauk-pauk yang diselipnya dua hari lalu. Uang itu sisa beli sekantung plastik kopi di warung Mahmudi dan kue basah Rp 3.000 dari uang lima puluh ribu miliknya. Untuk dua cucunya seribu-seribu lantas selebihnya buat Sanusi.

Anak nomor duanya itu sudah dua hari tak makan nasi. Dua hari hanya makan mie goreng basah dan mie goreng rebus pemberian Effendi dan Samsuar, teman dekat anaknya yang bungsu.Kenapa tak pulang” tanyanya dengan perasaan miris. “Untuk pulang tak cukup waktu,” jawab anaknya sambil menimpali “ harus siap sedia saat masuk waktu sembahnyang. Jika tidak ada dia maka kumandang azan akan sumbang.

Zainab diam yang sebenarnya tergerak untuk mengingatkan, “mau bagaimana lagi, anak-anaknya, terutama yang satu ini, biar matanya sudah buta tapi tetap saja masih jumawa. Sombong. Heran ia, biasanya kalau orang sudah keseringan lapar maka sedikit demi sedikit hatinya akan lunak. Penyakit-penyakit hati akan lekang dengan sendirinya, laksananya pudarnya warna pada baju hitam yang dicucinya di sungai,” gumannya Zainab.

Begitulah, sampai Nazarina membawa pulang belanjaan, ia masih belum melupakan bagaimana anak nomor duanya yang lambat-lambat berjalan dibantu tongkat. “Rupanya memang temannya yang ambil, Mak,” kata Nazarina. Lalu pergi lagi ke puskesmas dengan motor merah putihnya.

Sejenak ia terkesima. Tega benar. Tentu saja uang gaji bulanan itu dicuri sewaktu Sanusi pergi mandi. Sanusi tak bisa melihat meski sejarak depa. Anaknya hanya mampu melihat bayang-bayang; orang-orang yang bergerak. Entah bagaimana, ia sendiri tak paham penjelasan yang diberikan dokter. Kabar yang ia dengar, anaknya telah kehilangan penglihatannya karena alkohol yang ditenggaknya.

Memang, semenjak SMA ia sudah suka mabuk-mabukkan.  Semua orang di kota kecil itu tahu kalau Sanusi telah mencampurkan alkohol yang digunakan di rumah sakit dengan fanta atau sprite. Dan, walaupun kerap dibabak-beluri tentara ketika darurat militer, tapi, kebiasaan mabuknya tak pula kunjung surut. Beruntung ada iparnya yang polisi, sindir orang-orang kepadanya.

Sekarang Sanusi sudah tobat. Allah sendiri akhirnya yang menghentikannya dari kebiasaan laknat itu. Soal berobat pun, ia ingat, entah ke mana-mana sudah; ke Sigli, Lhokseumawe, Banda Aceh, Medan, bahkan Penang. Di sana kebetulan ada Isniar, anaknya Aminah, yang menikah dengan warga asli Malaysia. Tapi, Zainab sendiri masih saja pusing dibuatnya. Minta kawin, dikawinkan. Semua ditanggungnya. Sekarang, minta lagi untuk modal usaha dorsmir(Sanusi berterus-terang bahwa ide itu punya istrinya).

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :