Kek, Ini Kitab Bertulis Namaku

MASIH melekat erat dalam ingat tentang seraut wajah tua pucat lagi keriput-kerat hingga jelas terlihat bentuk urat-urat yang menggurat paras nyaris seabad itu belasan tahun lewat. Kendati ia telah dipanggil Sang Hujarat, Tuhan penguasa jagat, masih tetap kuingat senyum yang mengambang ikhlas tapi berat tatkala ia, kakekku, sempat menyusun abjat, menyebut-menyebut namaku, menjelang ia mengakhiri hayat.
  
Sungguh, itu cobaan terberat bagi hidupku, karena tak sempat melihat wajahnya yang sendu manakala Izrail mengajaknya berlalu. Sedangkan pesan yang terlukis erat di relung kalbu jadi pedoman hidupku bahwa aku, cucunya, harus sekolah hingga menjadi guru (waktu itu, kakek tak menjelaskan apakah guru mengaji seperti dirinya atau guru sekolah seperti adik ibu, atau guru silat seperti tetanggaku, atau guru yang lainnya).
Ia berkata serupa itu karena aku sempat berujar akan henti menuntut ilmu, sebab tak diizinkan masuk SMK agar lekas mendapatkan kerja (pikirku saat itu, setamat SMK langsung dapat kerja).
  
“Sekolahlah di SMA dulu, SMK tak ada di kampung kita. Kamu harus ke ibukota provinsi kalau mau masuk SMK. Maka sekolah saja di SMA yang ada di kampung kita,” kata kakek.
  
“Ya, Kek. Izinkan aku merantau. Aku akan sekolah ke ibukota provinsi. Di sana ada SMK,” sahutku.
  
Alasan kakek tak memberi restu sekolah ke kota karena ia tak dapat melihatku makan siang selepas pulang sekolah. Sedangkan selama ini, ia selalu menunda tidur siangnya sembari menonton telivisi, menanti aku, cucunya, pulang dari sekolah lanjutan pertama.

“Boleh kamu sekolah ke kota, tapi saat makan siang, kamu harus pulang ke rumah. Kamu harus makan di rumah,” tegasnya.
  
Adu argumen dengan kakek sama saja menegakkan benang yang basah. Akbarul kisah, aku melanjutkan sekolah ke SMA. Ujian kenaikan kelas dua-lah masa-masa aku harus banyak melambungkan ingat pada setiap acap ucap kakek. “Setelah ini, kamu harus sekolah hingga ke fakultas. Kakek sudah mengizinkanmu meninggalkan kampung kalau kamu sudah tamat SMA. Kakek juga merasakan sepertinya kampung kita ini sudah panas sekali,” begitu ujarnya.
  
Berturut-turut hari kata-kata itu diulang-ulangnya, terutama sekali ketika aku makan siang sepulang sekolah, terutama sekali tentang kampung kami yang mulai dirasakan panas menyengat hingga ke hati.

Suatu kali aku benar-benar dibuat takut oleh kabar yang datang ke sekolah padahal saat itu kelasku baru memulai satu ujian mata pelajaran tersusah. “Kakek jatuh dari kursinya, saat ini di rumah sakit,” begitu kabar tebersit.
  
Sebelum malaikat benar-benar membawanya, kakek kembali berbisik, “Jangan berhenti sekolah. Lanjutkan sampai ke fakultas. Ambillah satu petak sawah yang di belakang rumah. Jual untuk biaya sekolahmu.”
  
Kali ini kupikir bukan nasihat, tapi amanat. Sedang aku mengingat-ingat antara kejelasan nasihat atau amanat, mataku kian rasa berat. Terkatup sesaat, lalu aku terlelap.

Apa boleh buat, selepas azan Asar, aku terbangun oleh suara tangis dan jerit yang menyengat. Di sudut barat rumah kami, wajah kakek tak lagi meringis. Kini sekujur tubuhnya sudah ditutupi kain panjang berlapis. Di sekelilingnya, orang-orang menangis. Orang-orang meringis.
  
Belasan tahun lalu itu bukanlah sekarang. Belasan tahun lalu itu adalah kenangan, sekarang adalah harapan, sedangkan di hadapan adalah impian. Harap berharap pada segala sempat dan ucap, kini telah kudapat dua buah kitab. Keduanya bertuliskan namaku pada halaman depan. Satu kitab tipis yang kudapat tiga tahun lalu tatkala menamatkan strata satu. Satu kitab lagi selesai baru saja. Kedua kitab bersampul biru dengan pita kuning di tengahnya itu adalah persembahanku kepada kakek, si tua yang terus mengirimkan doa padaku, yang kian memberiku harapan, yang nian memberiku impian.
  
Ah, tiba-tiba saja aku jadi ingat kakek marah pada paman, karena paman mengajakku ke sawah. Kakiku yang berdarah karena gigitan lintah, paman yang kena sumpah serapah. Masih melekat erat di benakku, ungkapan kakek pada paman yang menyebutkan kalau nasibku tak boleh henti di gagang cangkul. Aku tahu, saat itu kakek sedang berdoa, bukan sekadar memberikan pernyataan. Dan aku merasakan doa kakek hingga sekarang.
  
Kek, Idul Fitri tahun ini aku pulang kampung. Hendak sangat kubersihkan pusaramu dengan tanganku sendiri, sembari memperlihatkan kitab kedua ini. Lalu kuletakkan kitab ini sesaat di batu bagian kepalamu, sambil kukatakan, “Kek, cucumu sudah selesai sekolah di fakultas. Ini kitab bertuliskan namaku yang kupersembahkan untukmu. Seperti katamu, aku mulai menikmati menjadi seorang guru. Aku bukan jadi tentara.”
  
Kuletakkan kitab itu di kepala pusara kakek. Orang-orang menyebut kitab tersebut dengan tesis. Itulah kitab bertuliskan namaku, janji tertunai pada dia, si tua yang selalu memanjaiku.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :