Pesan untuk Balapan Liar

Terkadang air mataku mengalir saat aku terbayang kejadian itu. Sesekali aku melamun membayangkan peristiwa tragis tersebut. Tak pernah kuduga sebelumnya bahwa kejadian itu akan menimpa sahabatku. Dua tahun yang lalu kejadian itu telah terjadi, tetapi kisah duka itu masih sangat jelas terekam di pikiranku.

Sesekali aku berkata dalam hati, “Andai saja perbuatan itu tak kau lakukan teman, kau pasti akan ada di sampingku sekarang.”. Tapi itu semua telah terjadi. Aku tak akan pernah bisa memutar waktu untuk kembali.

Tragisnya peristiwa tersebut lantas memberi pelajaran berharga bagiku dan temanku yang lain. “Bim, kalau saja peristiwa itu tak terjadi, Dika pasti ikut duduk di bangku ini sekarang, ya?” begitu aku mendengar kata-kata itu, seolah-olah aku berada di lautan air mata. Raut wajahku yang mulanya tersenyum bisa berubah menjadi sedih karena perkataan itu. Memang tak ada yang menginginkan peristiwa naas itu terjadi, tapi kita sebagai manusia tak bisa memungkirinya, karena itu sudah ketentuan dari yang Mahakuasa.

Kini aku tak mampu mendengar lagi kata-kata “balapan liar.” Wajahku bisa memerah dan timbul keringat dingin jika mendengar kata-kata itu. Sering terbesit sebuah pertanyaan dalam hati, kenapa orang menyukai balapan liar? Kenapa tak suka dengan balapan yang sesungguhnya di arena resmi? Padahal, risiko dan taruhan balapan liar adalah nyawa. Bagiku, balapan liar itu tak lebih dari kotoran, yang hanya ingin diambil oleh orang-orang yang tak pernah berpikir untuk masa depannya.

Bayangan itu seperti menghantuiku ke mana pun kaki melangkah. Terkadang aku tak percaya jika sahabatku itu telah tiada lagi di sampingku. Pernah ketika aku melampiaskan kelelahan tubuhku di atas hamparan tempat tidur, aku bermimpi tentang itu.

“Dika, kamu hendak ke mana?” tanyaku.

“Tuhan telah memanggilku teman, aku harus menghadap kepadanya,”jawab Dika.

“Dika….Dika…Dika.….”

“Aku harus pergi teman. Katakan pada teman-teman kita yang lain, jangan sampai mereka kembali mengulang perbuatan bodoh yang aku lakukan ketika aku masih berada di alam dunia”.

“Maksudmu?”

“Balapan liar itu adalah hal bodoh. Waktuku memang telah habis untuk menjalani hidup di dunia, tapi aku menyesal. Kematianku datang saat aku melakukan hal yang terkutuk. Gara-gara hal bodoh itu aku harus mengakhiri hidupku di tempat yang tidak wajar, yaitu di tengah jalan. Katakan pada mereka pesanku ini.”

“Dika, Dika, Dika…”

“Aku harus pergi teman.”

Mimpi itu telah beberapa kali menghantui waktu istirahat malamku. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhku. Rasa gemetar pun datang dan merasuki batinku ketika aku terkejut dari mimpi.

“Aku benci itu, aku benci balapan liar. Kau telah merenggut nyawa sahabatku balapan liar. Perbuatan itu akan ku balas. Kau akan mati,” teriakku.

Aku tak kuasa menahan emosi yang seakan-akan memaksaku untuk membakarnya.

Aku tak pernah ingin berkhianat pada sahabatku itu. Aku menceritakan apa yang telah aku mimpikan tentangnya. “Riko, Dika berpesan kepada kita agar kita menjauhi balapan liar.” Aku berkata pada salah seorang sahabatku yang amat suka dengan balapan liar.

“Maksudmu?” tanya riko padaku.

“Iya, aku bermimpi Dika berpesan kepadaku agar kita menjauhi balapan liar. Itu adalah perbuatan terkutuk. Dika juga berkata, memang ajal dia telah tiba, tapi dia menyesal karena kematian menghampirinya saat dia sedang melakukan hal bodoh.”

“Maksud hal bodoh itu apa, Bim?”

“Balapan liar. Karena balapan liar itu, dia harus mengakhiri hidupnya di tengah jalan. Tempat yang tidak wajar, bukan?”

Riko terlihat kaget ketika aku menceritakan hal itu padanya. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya dia benar-benar paham akan pesan Dika yang datang melalui mimpiku itu.

“Bima, kamu serius, kan?”

“Serius apa, Rik?”

“Tentang mimpi itu?”

“Ya, mimpi itu sudah beberapa kali menghantui tidurku”

Riko sedikit kurang yakin tentang ceritaku itu. Tapi aku tetap berusaha meyakinkan dia kalau mimpi itu benar-benar datang menghantuiku.

Mimpi itu memang sangat bermakna. Aku merasa walaupun Dika telah tiada, tapi dia tetap bisa menasihati kami untuk kebaikan.

“Cukuplah aku yang menerima ketragisan ini. Kumohon kalian jangan pernah mengulang perbuatan bodoh yang pernah aku lakukan itu. Sadarlah, jangan pernah lagi ikut balapan liar.” Nasihat itu masih terngiang-ngiang di telingaku.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :