Kalimat Sederhana

SEKARANG aku di sini lagi. Di ruang warna putih kusam. Tak peduli kata orang, kalau aku anak seorang pencuri yang tak pantas duduk di lingkungan ilmu. Aku ingin membantah anggaoan mereka dan mengubah masa depan.

Kata orang,  ayahku pernah mencuri susu sapi milik Pak Lah, tetangga kami. Ayah juga pernah  mencuri bayam di kebun milik Buk Mah, juragan sayur yang sombong; mencuri ikan di kolam pak Geuchik; mencuri pisang di kantor kepala desa hingga mencuri obat di apotik Tengku Ham. Itulah yang membuat ayahku pernah lima tahun mendekam dalam kurungan.
Ayahku tetap ayahku. Meski ulahnya mengubah kehidupan keluarga kami yang semula setiap pagi aku dan empat orang adikku minum susu segar. Setiap hari ibu masak makanan enak. Jika kami sakit, ayah langsung membawakan obatnya. Selama ayah di kurungan, ibu lari dari rumah meninggalkan kami karena karena malu pada tetangga kampung. Sejak itulah aku yang duduk di kelas dua SMA harus menanggung beban.

Untuk menyambung hidup keempat adikku, aku harus bekerja di sebuah pabrik semen di kampung sebelah. Aku berhenti sekolah agar adikku bisa sekolah. Adikku yang pertama kelas tiga SMP, kedua kelas satu SMP, yang ketiga kelas empat SD, dan sibungsu baru duduk di kelas dua SD.

Dua bulan sudah kujalani hidup tanpa orangtua dan selama itu aku tak lagi sekolah hingga  bu Atun, guru matematika yang selama ini paling ramah, datang ke rumahku. Ia menanyakan ikhwalku, dan aku tahu Buk Atun merasa sepi jika aku tidak berada di ruang kelasnya. Sebab  tak ada yang bertanya tentang hal-hal yang tidak penting; tidak ada yang tidur di kelas dan membuat guru berdakwah panjang. Memang hal-hal seperti itu akulah yang menempati nominasi,  tapi juga pernah meraih juara kelas.

Aku tahu tahu jika kelakuanku itu menjadi buah bibir di sekolah. Namun jawaban apa yang bisa kuberikan jika Buk Atun menanyakan semua ini. Ternyata, sebelum bibirku bergerak, Buk Atun tampak sangat paham. Ia terdiam ketika derai bening mulai membasahi bajuku.

Terus terang sebagai lelakim aku tak pernah secengeng ini. Tapi aku menangis bukan karena tanggungjawab yang kupikul, tapi bagaimana nanti jika adik-adikku tak bisa kuhantar ke masa depan. Bagaimana bisa aku meninggalkan mereka tanpa dekapan kasih saying? Aku menangis karena ibuku sendiri meninggalkan kami.

Suasana rumah pagi itu makin hening. Bu Atun tampak bisu ketika kuceritakan semua yang sedang kuhdapi. “ Ingatlah Putra, Allah tidak akan mengubah nasib sesorang jika ia tidak mengubahnya sendiri dan ibu yakin kamu pasti bisa,” ujar bu Atun, tiba-tiba.

Rawut keibuan yang teduh terlihat di wajahnya sambil tersenyum, “Kembalilah bersekolah, Ibu akan membantumu dan bersama kalian”.  Hingga  kemarin pikiranku kembali terbuka yang membuat hari ini kembali ke ruangan itu, menyambung masa depan yang sempat koyak. Aku ingin buktikan; anak pencuri tak selalu jadi pencuri. Aku juga ingin mengatakan buat ibuku dimana pun ia tetap ibu yang kumohon mengirim doa-doa. Terima kasih bu Atun juga para guruku.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :