Catatan dari Jingga

09 Desember 04, di hamparan pasir putih terbentang beratus-ratus meter dan ombak yang berlomba menjadi yang terdepan. Aku menyapamu diary…….Pagiku hadir kembali, mengisi luka lama yang pasti kan terulang lagi. Saat ini aku terus merangkak di jalan yang terjal, berduri. Pandanganku tetap berarah ke matahari, tanpa boleh menoleh ke kanan dan kiri.

Aku melihat walupun aku tidak tau pasti siapa mereka. Di kiriku seorang peri sedang memainkan harpanya, diiringi sembilan bidadari, menari indah  dan mengajakku untuk ikut bersama. Di kananku, aku melihat seorang pangeran tampan dengan kereta yang ditarik  dua ekor kuda berwarna putih, mengikuti hingga aku mau ikut dengannya. Huuuhhh..... terlalu jauh sudah imajinasiku, aku tidak ingin berkhayal lagi.
11 Desember 04 adalah hari-hariku sungguh membosankan, berimajinasi, terkadang melambung tinggi. Tapi hanya itu yang terus  menghampiri. Apa maunya mereka?  Hanya menambah serpihan luka. Aku butuh kasih sayang, bukan luka-luka itu. Lalu, seorang kakek dengan tongkat kayu yang tampak  rapuh, berusaha untuk mengartikan cinta. “Cinta adalah tujuh petak sawah yang pasti akan ku tinggalkan, Usiaku juga sudah tua, tapi tak ingin ada yang bisa merebutnya dariku,” ketus mantan pejuang renta itu

Semkian jauh dari lorong sepi itu, kutemui seorang gadis belia tujubelasan menangis. Getar bibirnya selalu melafas, “cintaku.... itu dia cintaku” sambil menujuk satu. Aku l.ihat ada hanya laki-laki yang berjalan menjauhi kami, tanpa menoleh kebelakang. “Cinta!   Semua telah kuberikan padanya karena cinta, tapi sekarang dia pergi begitu saja. Apakah  ini  cinta?” Gadis itu tak henti menjerit sambil mengupat-upat. Sejenakku mulai berbincang dengan hatiku.

14 Desember 04, begitu banyak yang ingin kulupakan dalam halaman ini. Tapi semua bisu, tanganku mulai kaku ketika tintaku menggoresnya. Dan denap dua tahun ayah meninggalkan aku dan adikku. Lelaki perkasa itu menjadi sasaran para pemberontak Negara.  Semua ini masih terus membekas di hatiku. Ya, seperti biasanya Magrib itu, kami membasuh diri dengan air yang suci, berjalan di jalan setapak dirimbuni  ilalang setinggi dua meter. Kami menuju tempat untuk menghadap sang Khalik.. Meskipun kaki ini penat, tapi hati begitu lega. Raka’at demi raka’at kami dan hingga tersisa satu, tiba-tiba aku mendengar seorang pria yang dari suaranya kira-kira berusia 40 an, menjerit memberikan aba-aba bagi temannya yang lain. “Di sini mereka!” Hatiku  berdetak tak karuan,  resah dan rasanya saat itu juga aku ingin membawa ayah pergi jauh dari sana. Tapi ayah terus saja melanjutkan shalatnya,  Senapang itu pun diarahkan kepada kami.

Saat itu aku begitu takut dan airmataku tak bisa terbendung ketika ayah usai  shalat, orang-orang itu menutup wajahnya dengan kain yang berwarna jingga itu. Lalu  melepaskan berpuluh-puluh timah panas mengenai tubuhnya. Kami hanya bisa memeluk tubuh bersimbah darah itu. Dan orang-orang itu pun langsung meninggalkan kami. Dua peluru sempat menyayat dagingku.

Aku pingsan dan aikku rupanya mancari bantuan. Ayah yang sekarat berkata terakhir, “jingga, ruang yang gelap itu, tak akan selamanya gelap. Ayah sayang kalian”.

Aku tersedak merintih sambil memaham makna kata-kata ayah terakhir itu. Lailahaillallah.....Aku menjerit.  Aku belum sempat menepati janjiku untuk menamatkan SMA-ku menjadi sarjana di universitas pilihan ayah; belum cukup begitu merasakan kasih sayang ayah, aku masih ingin melalui hari-hariku bersama ayah. Namun tiga bulan  kemudian, ternyata ibuku juga ikut pergi. Lebih miris lagi jasad perempuan agung itu tak pernah kami jumpai lagi ketika gerombolan-gerombolan bekjat itu menculiknya. “:Apa salah ibu dan ayah kami?” Maka setiap megingat kejadian itu, aku tak bisa menahan derai tangis.

15 Desember 2004 siang aku bertemu  paman di sekolah itu. Sejak ayah meninggal aku tidak pernah bertemu paman. Sambil menunggu anaknya keluar kelas, aku banyak berbincang tentang ayah. Kata paman, ayahku dibunuh dan ibu diculik karena mereka dituduh sebagai mata-mata pemerintah hanya karena ayah jadi lurah di kampung kami. Padahal semua itu fitnah. Tak pernah bisa kumaafkan mereka.

 16 Desember 2004 mulai ada sepercikt cahaya di balik kerinduan akan senyum di wajaku. Aku terpilih sebagai siswi terbaik di sekolah, beasiswaku d tambah. Maka beberapa keinginan adiku yang selama ini tak bisa diwujudkan bisa kupenuhi. Hanya saja. aku harus meninggalkan desa ini, terus menjadi siswi terbaik.

Ya ampun .... aku jadi bingung, ini adalah tanah kelahiranku, semua tentang ayah dan ibu ada disini! Apa ku harus meninggalkan semua ini dan pergi untuk mewujudkan cita-cita yang ayah titipkan padaku? Apa dek Gam, adik satu-satu yang masih kumiliki ia mau mengikutiku? Ia terlalu kecil untuk bisa mandiri.

17 Desember 2004, pagi untuk memberi jawaban kepada Bapak Kepala sekolahku. Bahwa aku harus pergi untuk mengubah nasib sekalian memenuhi harapan sang ayah hingga ia tersenyum di alam sana.

20 Desember 2004, hai bintang kecilku, tinggal beberapa hari lagi kita bisa berkata dari hati ke hati, di awal awal tahun nanti aku dan Dek Gam harus pergi ke kota. Apa kamu juga ada disana? Aku tidak mau meninggalkanmu, malam ini bawalah aku ke sana, biarkan aku melepas kepergian gelapnya malam hari ini bersamamu. Kamu adalah teman terbaik, dan di sana pasti ada ayah dan ibuku, maka tolong sampaikan beribu kerinduanku kepada mereka. Katakan, Jingga sayang mereka” Oya katakan juga, bahwa “ruang yang gelap itu tidak akan selamanya gelap”. Makasih ayah, jingga gak kan berhasil seperti ini tanpa doa ayah!

23 Desember 2004,  aku lelah. Selama beberapa hari ini sudah mengunjungi banyak rumah saudaraku untuk pamitan. Tinggal seminggu lagi aku di sinimenikmati matatahari yang tenggelam di pantai indah, tak jauh dari rumahku. Itu sebabnya aku tak bisa membendung airmata.Aku juga  tak ingin melepas dek gam dari pelukanku. “Dek gam sayang kak jingga, tapi dek gam rindu ayah dan ibu,” ketusnya yang membuat aku  menjerit. Aku ingin berlari tapi entah kemana. Sebab hanya dek gam, sisa satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Aku menjaganya hingga hayat ini berakhir.

26 Desember 2004, suara ayam milik tetanggaku, membangunkanku. Pukul 05.00 pagi itu,  azan subuh berkumandang. Aku pun menyiapkan sarapan buat dek gam, seperti biasanya aku menitipkannya di rumah tetanggaku. Di sana ada seorang ibu yang mau menjaganya selama aku sekolah, dan di hari minggu ini aku harus mengikuti pelajaran tambahan di sekolah. Tapi ketika di sekolah perasaank tak karuan. Bayang-bayang dek Gam terus berkelindang di pikiranku, maka aku pun harus pulang.

Namun di jalan aku melihat beribu orang berlarian ke arahku, sambil berteriak-teriak “air laut naik ke darat” Aku tak hirau dan harus  pulang ke rumah melihat Dek Gamku. Dek Gam tidak kulihat ada  diantara orang-orang itu. Aku menjerit tapi orang-orang itu menarikku sambil berkata desa kita sudah rata dengan  tanah.\

Ya Allah, dimana adikku, satu-satunya milikku. Mana jalan menuju rumahku? Kenapa semua berubah? Aku hanya bisa menjeris, orang-orang sibuk dengan  urusannya dan beratus-ratus mayat di sekeliling mereka Tiba-tiba terlihat foto besar yang biasanya ada di samping rumahku, ya..... itu dia bak mandi aku melihatnya. Tapi siapa pria kecil tanpa pakaian yang tersangkut di pohon itu? Ya Tuhan!  Itu dek gam!  Hatiku seperti disambar petir, perih tak kepalang.  Untuk kesekian kalinya mulutku terjahit ribuan benang kelam. Duaorang laki-laki yang ada di dekatku saat itu membantuku menurunkan Dek Gam. Aku memandanginya, bibirnya memancarkan senyuman. Senyum sebagai tanda bahwa di sana dia bertemu dengan ayah dan ibu.

Ya Allah, aku bertanya kenapa ruang yang barusan  sedikit bercahaya itu harus redup kembali? Tapi ayah, jingga janji suatu saat ruang itu akan bercahaya terang lagi bahkan sangat terang. Dan jingga aakan selalu menganggap kalian ada di dalamnya..

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :