Menunggu Nurol Janda

SEKEJAB selepas  Samir melintas di pintu gerbang masuk kampus sastra karena satu tugas. Sampai sekarang belum menikahi seorang gadis perawan pun.Itu aku perhatikandi tanda pengenalnya. Dua hari di kampus itu, mengenangkan pada 10 tahun lalu. Ketika itu Samir perjaka ting-ting mengajak Nurol untuk berbonceng Honda C-70. Ia begitu bahagia.

Semua kenangan seperti terekamulang, ketika suatu siang ia duduk di bangku-bangku busuk di kampus sambil menahan lapar. Siang sepi itu ia sengaja melintas melewati Taman Baca disamping Pustaka Induk.di sana pula ia menatap sosok perempuan berjilbab lebar, lalu menyapanya dalam senyum malu-malu bagai ayam mematuk-matuk padi di telapak sang pemiliknya. Samir tersipu malu-malu dalam bayang-bayang pohon asam. Sesekali ia mengintip nakal ke arah perempuan bernama Nurol Hayati. Namun Samir pura pura membuka buku yang baru saja ia pinjam dari pustaka.Membukaserius lembar demi lembar seperti mencari sesuatu. Pohon-pohon rindang menjadi membuat pertemuan itu makin menyejukkan.
Puluhan tahun silam. Semua berubah,udara yang panas dari kota tua gersang.Pohon-pohon asam yang dulu rimbun memayungi jalan raya,kini sudah ditebas para serdadu Satuan Polisi Pura-Pura berdalih memperindah wajah kota. Sang walinya pun sibuk membangun tembok-tembok dari Kampung Utara-Selatan hingga jalur timur-barat agar dianggap kota ini mirip metropolitan.

Samir merenung dan sesekali tersenyum.Semua itu hanya kenangan, termasuk perempuan Nurul yang kini sudah menjadi milik orang. “Beruntung kau Suman yang mendapatkannya,” guman Samir ketika melihat rumah yang dulu sering diapelinya.

Ia sendiri kecewa ketika lamarannya ditolak.Karena orangtuaNurul menginginkan lelaki yang sudah punya tanda induk pegawai negeri. Samir sendiri ketika itu baru jadi guru honorer yang gajinya tidak lalu dibayar..

Tanpa terasa senja sudah menjemput. Suara azan dari masjid kampus seketika hilang bersamaat listrik di rumah-rumah warga padam. “Memang kota ini, aneh,listrik saja makin malas menyala,” gerutu Samir sambil bangun dari tempat duduknya.

Pikiran makin ruet hingga berguman, “Semoga Nurol menjadi seorang janda”. Suara azantiba-tiba terdengar lagi lalu mati. Ah, kampungku yang sedang dijajah Belanda. Samirpun mempelorotkan celananya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :