Cerpen Tetangga yang Berisik

Cerpen Tetangga yang Berisik - Rustam menyibak gorden kamar. Dia mengintip keluar. Tangannya bergetar dan napasnya tertahan. “Kalian punya Ibu?” pekik Apa Nu, “Ibuku sedang sakit! Kalian punya otak?”

Kegeraman Apa Nu diselingin siraman seember air ke kamar yang ditempati Rustam.

“Berkali-kali aku ingatkan jangan ribut!” kata Apa Nu lagi.

“Jawab! Mengapa tak ada yang berani menyahut? Coba bantah kalau berani!” Kalimat itu diulangnya berkali-kali.

Rustam membalikkan tubuh bongsornya. “Jangan diladeni. Diam saja,” bisik Rustam pada dua orang temannya.  Apa Nu berdiri di antara pagar yang memisahkan rumahnya dengan rumah Rustam. Mata Apa Nu melotot. Rokok daun nipah terselip di bibirnya yang pecah-pecah.  Apa Nu mengenakan kaos yang kerahnya sudah melebar, sehingga nampaklah dada penyotnya. Di langit bulan hanya separuh terlihat.  Suara Apa Nu lenyap. Lalu digantikan dengung nyamuk dan suara jangkrik.

Keheningan tak berlangsung lama, sesaat kemudian muncul lagi kegaduhan. Apa Nu keluar lagi dari rumahnya. Dengan menopang kedua tangannya di pinggang, Apa Nu mengutuki dua ekor kucing yang membuat keributan di teras rumahnya. “Jangan kawin di sini! Mengganggu orang sedang istirahat!”

Melihat kedua kucing itu tak menggubrisnya, Apa Nu mengambil sandal jepit dan melemparkannya ke arah sepasang kucing yang sedang dimabuk asmara. Rustam dan kedua temannya saling bertatap. Mereka bertiga kemudian menyumpal mulut masing-masing dengan kedua tangan mereka untuk menahan pecahnya tawa.

Bumi berputar hingga ia kembali bertemu fajar. Rustam dan kedua temannya punya kelas jam sembilan. Saat mengeluarkan dua sepeda motor dari dalam rumah, mereka menemukan Apa Nu sedang menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi dengan guguran daun-daun jambu.

Kedua teman Rustam sedikit gentar. Mereka mematung di depan pintu. “Jangan takut,” kata Rustam pada dua temannya.

Apa Nu pura-pura tak melihat ke arah Rustam dan teman-temannya. Tanpa disengaja, Rustam dan Apa Nu berpas-pasan.  “Kuliah, ya? Kan sudah berapa kali saya bilang, jangan berisik. Ibuku sedang sakit,” ujar Apa Nu dengan suara rendah. Rustam  tersenyum dan katanya, “Maaf Apa.”

Sudah dua bulan Rustam menempati rumah kos di samping rumah Apa Nu. Awalnya, hubungannya dengan Apa Nu baik-baik saja-walau hingga sekarang sebenarnya mereka tak punya masalah yang cukup berarti. Di kos barunya Rustam mengira dapat merasakan kebebasan untuk tertawa terbahak-bahak serta menikmati kebiasannya memutar musik keras-keras sebagaimana di tempat kosnya yang lama. Tapi tidak demikian kenyataannya. Kebiasaan Rustam itu mula-mulanya dijawab dengan geraman Apa Nu. Kemudian disusul dengan teguran agar jangan membikin kegaduhan. Lama ke lamaan, Apa Nu mulai membentak Rustam. Sampai terjadinya peristiwa tadi malam: Apa Nu menyiramkan seember air ke atap kamar Rustam, agar Rustam dan teman-temannya diam.

Memang Rustam sebenarnya bisa mengendalikan diri untuk tidak berisik. Tapi agak susah memperingatkan teman-temannya yang sesekali menginap di kamar kosnya. Kadang-kadang teman-temannya itu bergosip, berbicara tentang perempuan yang mereka taksir, membuat  lelucon, hingga-hingga dia sendiri bisa lepas kendali dan ikut tertawa.

***

Rustam biasanya pulang ke rumah saat lampu-lampu jalan baru dinyalakan. Tapi sekali waktu, seperti malam ini misalnya, ia pulang ketika lampu-lampu di ruang tamu tetangga-tetangganya padam.

Rustam marah pada dirinya sendiri yang tidak punya keberanian membantah Apa Nu. Kalau dia punya sedikit saja keberanian, mungkin tidak terlalu sulit berdebat dengan orang tersebut. Bahkan untuk masuk ke rumah sendiri saja aku harus mematikan mesin sepada motor, gumam Rustam.

Ia menghempaskan tubuhnya di sofa di ruang tamu. Selang beberapa saat, ia bangkit dan masuk ke kamar tidurnya. Pakaian kotor berserakan di lantai. Rustam harus mencuci sendiri, sekurang-kurangnya, sepasang pakaian agar ada pakaian bersih untuk lusa.

Rustam mengantungkan handuk di bahunya dan menuju kamar mandi. Ia terlebih dahulu mencuci pakaian sebelum membersihkan daki-daki di kulitnya yang hitam. Ketika ia ingin menjemur pakaiannya, tiba-tiba dia melihat seraut wajah keriput dengan dua bola mata yang cekung, menempel di lubang angin kamar mandinya.

“Astargfirullah,” Rustam mengucap. “Setan!”

Dengan tangkas, Rustam meraih gayung dan  menyiramkan air sekaligus melemparkan gayung ke lubang angin.. Lalu, ia lari terbirit-birit hingga dia pun terpeleset. “Kurang ajar!”

Teriakan itu muncul dari luar. “Berani-beraninya kau menyiramku!”

 Suara itu kian mendekat.

Apa Nu berdiri di depan pintu samping rumah Rustam dengan wajah dan badan yang basah kuyup. Tentu setelah pintu yang tak terkunci itu ia buka. “Sudah berapa kali aku bilang jangan berisik,” kata Apa Nu. Apa Nu terus mengoceh. Ia sedikit pun tidak merasa bersalah.

Rustam yang tersungkur di lantai, tak menyahut sepatah kata pun. Ia hanya merintih kesakitan.

Rustam tak habis pikir dengan ulah Apa Nu, yang menurutnya, sudah melampaui batas.

“Bahkan suara sikat pun tak boleh,” bisiknya sesaat kemudian.

Rustam sebetulnya sudah tak tahan bertetangga dengan Apa Nu. Tapi lantaran ia sudah membayar lunas sewa rumah selama setahun, pilihan satu-satunya adalah bersabar. Malam berikutnya, Rustam tidur di rumah temannya. Mungkin ia jengkel pada Apa Nu. Mungkin juga ia ingin melepas penat dengan bermain playstation bersama teman-temannya. Keesokan harinya, ketika dia tiba di rumah menyentuh pintu pagar, Apa Nu keluar dari dalam rumahnya.

“Semalam kau tidak pulang?”

“Tidak, Apa. Saya tidur di rumah teman.”

“Kau sudah makan? Rustam menganguk.

“Tunggu sebentar.”

Apa Nu masuk ke dalam rumahnya lagi. Ketika ia keluar, tangannya membawakan sesuatu. “Ibu saya sudah agak lumayan,” kata Apa Nu. “Ini untukmu. Ibuku yang memasaknya.”

Apa Nu memberikan lauk-pauk kepada Rustam. Ia kemudian duduk di teras rumahnya sambil membaca koran.  Rustam tidur di kasur seraya menatapi langit-langit kamarnya. Sudah dua bulan lebih aku tinggal di sini tapi aku tak pernah sekali pun menjenguk ibu Apa Nu yang sedang sakit, batin Rustam.

* * *

Selepas mengikuti kuliah, Rustam pergi ke supermarket untuk membeli roti, gula, dan buah-buahan. Setibanya di rumah, setelah memarkir sepeda motornya, Rustam menyambangi rumah Apa Nu. Dilihatnya dari jendela kaca, Apa Nu sedang tidur di depan televisi. Dengkuran Apa Nu terdengar begitu keras. Rustam tak peduli, ia tetap mengetuk pintu sambil mengucapkan salam beberapa kali. Apa Nu terbangun. Sambil membetulkan kain sarungnya, ia mempersilakan Rustam masuk.

Rustam duduk di kursi rotan di ruang tamu Apa Nu. “Saya ingin menjenguk ibu Apa yang sakit,” kata Rustam. “Apakah beliau sudah sehat?” Apa Nu mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.

“Namanya juga orang sudah tua. Ya, sakit-sakitan. Hari ini sehat, besok bisa jadi sakit lagi,” sahut Apa Nu.

Apa Nu bangkit dari tempat duduknya. Dia menuju ke dapur untuk membuatkan minuman.

Rustam penasaran dengan ibu Apa Nu yang, sejak kepindahannya ke sini, tak pernah ia jumpai. Rustam melangkah pelan dengan menjinjitkan kakinya menuju kamar di depan tempat duduknya. Pintu kamar itu tak tertutup rapat, sehingga ia bisa dengan mudah melihat isi di dalamnya hanya dengan sedikit mendorong pintu. Dia dapati sebuah bantal guling yang dipakaikan baju kebaya merah bercorak bunga-bunga, dan setengahnya lagi berselimutkan kain batik, dibaringkan di atas ranjang.

Banda Aceh, 6 Oktober 2013

Cerpen Baju Baru untuk Putriku

Lebaran kian dekat. Rasa haru dan suka cita membuncah dalam dada. Satu-satunya yang kupikirkan saat ini: Bagaimana caranya agar kedua putriku mendapatkan baju baru, seperti juga anak-anak yang lain. Bagi sebagian orang mungkin mudah, tapi bagiku tidak demikian. Laura, istri mudaku, belum tentu setuju aku membeli baju untuk kedua putriku.

Sejak aku menikahinya tiga tahun lalu, aku memang terpaksa menitip kedua anakku di rumah neneknya, ya di rumah ibuku. Kupenuhi kebutuhannya setiap bulan, tentu secara diam-diam, tanpa sepengetahuan istri mudaku.

Dia memang tak sudi putriku hadir dalam kehidupan kami. Suatu hari Laura bahkan pernah bertanya., “Siapa yang paling Abang cintai.” Lalu ku jawab, “Aku mencintaimu, seperti juga aku mencintai kedua putriku.” Jawabanku itu malah membuat wajahnya memerah. Dia tak sudi ada orang lain yang kucintai, meskipun itu darah dagingku sendiri. Namun, di hari-hari berikutnya, karena aku telanjur mencintainya, kukatakan bahwa aku lebih mencintainya, daripada anakku sendiri. Sebenarnya hati kecilku tetap berkata bahwa aku mencintai semua mereka.

Pada Lebaran tahun pertama aku hidup dengan istri mudaku, tak ada masalah yang muncul, karena aku menuruti larangannya untuk tak membeli baju Lebaran kedua putriku. Saat itu secara diam-diam, pada pertengahan Ramadhan, aku pulang ke rumah orangtuaku membawa baju baru untuk mereka berdua.

Namun saat ini, Lebaran tinggal sepuluh hari lagi, aku belum juga muncul di rumah orangtuaku. Aku menerka bahwa kedua buah hatiku pasti sedang menantiku membawa baju baru. Aku bisa membayangkan senyum mereka saat aku pulang; sambil menjinjing hadiah Lebaran. Aku yakin mereka sangat senang. Ya, aku yakin itu.

Namun, sesekali terbayang perkataan istriku menjelang Ramadhan, “Pa, aku belum ingin punya anak sekarang. Aku ingin punya anak darah dagingku sendiri, tapi lima tahun lagi. Kalau anakmu, kapan pun aku tak sudi menerimanya. Sampai sekarang, tak ada yang tahu bahwa aku kawin dengan seorang duda. Jadi, Papa jangan coba-coba membawa anakmu kemari. Bukankah Papa masih punya orangtua yang masih bisa mengasuh mereka?”

Aku hanya diam ketika itu. Cintaku padanya membuatku tak berdaya, bagai cacing dilindas truk muatan besi. Namun, aku juga seorang manusia, seorang ayah. Aku tak tahan dengan ujarannya yang lantang dan menusuk tajam jantungku. Aku benar-benar sedih dan terluka. Semua itu tertancap kuat bagai paku dalam sudut kepalaku. Kemudian, aku mendatangi Ustaz Hadi, meminta darinya pencerahan dan nasihat agar batinku tenang, juga sabar menghadapi cobaan yang amat berat ini. Lalu, Ustaz Hadi menasihatiku. Beliau mengatakan bahwa perempuan itu makhluk yang amat rapuh, bila digenggam kuat dia akan hancur. Oleh karena itu, aku harus membimbingnya dengan baik, memberinya pengertian bahwa yang kulakukan itu sebuah kewajiban. Allah akan murka pada kami bila mengabaikan kewajiban itu.

Memang benar, nasihat Ustaz Hadi membuka pintu hati istriku. Dia menerima perkataanku dengan baik. Bahkan keesokannya mengajakku membeli baju baru untuk kedua anak perempuanku. Dia memilih sendiri baju itu. Menurutnya, itu baju trend masa kini. Dan dia benar-benar telah berubah. Aku tak menduganya sama sekali. Setelah itu dia menyuruhku menjemput kedua anakku untuk mencoba memakai baju itu. Aku benar-benar gembira. Berkali-kali aku bersyukur pada Allah.

***

“Pa, Mimi tidak suka baju ini. Mimi sudah besar. Kata ustaz, Mimi sudah wajib menutup aurat. Baju ini kan sempit sekali, Pa,” ujar anakku yang pertama. Kini dia sudah berusia sebelas tahun.

“Iya, Pa. Ana juga tidak suka. Perempuan kan tidak boleh berpakaian ketat,” kata anakku yang kedua. Walaupun dia baru berumur delapan tahun, prinsipnya sama dengan kakaknya.

Aku bingung. Semakin khawatir bila didengar oleh ibu tiri anakku. Dia akan marah dan berang. “Iya, tidak apa-apa Nak, ya. Ambil saja dulu, besok Papa beli baju lain,” ujarku, membujuk mereka. Aku terus berharap agar mereka mendengar nasihatku. Tapi, tampaknya sia-sia. Mereka masih tidak mau menerima baju itu.

“Apa kata mereka, Pa? Tidak mau?” tanya istriku, sambil masuk ke dalam kamar seraya membanting pintu. Wajahnya merah padam. Aku diam, sambil mengangguk pelan. Dibukanya lagi pintu kamar dengan wajah melongo keluar seraya berujar, “Ya, sudah kalau tidak mau. Minta saja dibelikan sama ibu kalian.” Tekanan darahku naik memuncak. Dia sudah menyebut-nyebut almarhumah istriku. Lalu, kedua anakku menangis sesenggukan. Menutup wajah mereka dengan kedua telapak tangan yang mungil. Aku yakin, anakku sangat sedih mendengarnya. Tapi, kukuatkan hati agar nafsu amarahku segera padam.

“Pa, bawa pulang mereka! Dari dulu aku sudah yakin, kedua anakmu itu memang keras kepala. Dia tidak menghargaiku. Dan kau juga, sekarang keluar dari rumahku. Aku tidak sudi melihatmu lagi. Aku mencintaimu bukan bersama anakmu!”

Kemudian aku keluar bersama kedua anakku, menuju rumah orangtuaku. Namun demikian, aku tetap mencintainya. Tak ada perempuan lain yang hadir dalam hidupku. Aku berdoa dengan keberkahan Ramadhan dan pengampunan pada hari Idul Fitri, Allah membukakan pintu hidayah istriku agar dia menerima aku dan kedua anakku sebagai orang yang paling dicintai.


Cerpen Malem Diwa

Malem Diwa bukanlah pendekar, bukan juga suami dari seorang Putroe Bungsu. Ia hanya pemuda biasa. Seorang abang dari lima orang adiknya yang yatim, seorang aktivis ketika masih kuliah dulu, seorang pengurus remaja mesjid di kampungnya, dan seorang penganggur setelah menamatkan kuliahnya. Belakangan, Malem Diwa juga sempat diisukan gila di kampungnya.

Begitulah mungkin biografi yang pantas untuk seorang sarjana muda, Malem Diwa. Kebingungan demi kebingungan kerap melandanya setelah tiga tahun ini memikul ijazah. Sebuah beban jiwa yang sulit ia urai dengan kata-kata. Sulit juga ia tulis meski ilmu yang dituntutnya adalah ‘Bahasa dan Sastra’.

Dalam kesendiriannya Malem Diwa mulai sering berujar bahwa nasib mempermainkan hidup diri dan keluarganya. Terlebih setelah kemarin pagi ijazah sarjananya ditawari sepuluh ribu oleh Kasem, si pedagang sayur yang kehabisan kertas pembungkus bawang di kiosnya.

Malem sangat terpukul karena itu, meski dia tahu sesungguhnya Kasem hanya bergurau. Malem merasa takut jika harus menjadi penganggur justru setelah mendapatkan gelar sarjana.

Bukan lantaran malu pada tetangga, bukan juga pada rekan-rekannya, tapi sebab terlalu pedih perjuangannya dulu. Pernah beberapa kali ia harus berurusan dengan pihak kampus karena telat membayar SPP, atau karena tidak meng-copy bahan, atau juga karena menulis makalah dengan tangan. “Ini bukan lagi zaman batu, Malem. Bapak menolak makalahmu!” Kalimat itu sudah menjadi langganan mulut Pak Juned setiap kali memeriksa tugas makalah Malem.

Memang kenyataan yang kini diterima Malem pantas untuk ditangisi. Semua tetangga pun tahu perjuangan hebatnya dulu. Sedari kecil Malem telah mencari uang sendiri demi menamatkan sekolah.

Kini dia sering terlihat pada bukit-bukit kecil kembar yang melingkar di sekeliling rumahnya, juga pada jalan setapak di pinggiran sungai. Atau saat laut senja memerah dia juga terlihat duduk mematung pada tumpukan batu besar penghalang ombak di ambang samudera. Dari atas batu-batu raksasa itulah saban hari berlalu matanya menatap tak jemu ke arah gugusan pulau kecil di tengah Samudera. Pucuk-pucuk gunung yang terlihat ranum itu seakan memanggilnya untuk segera berkunjung dan berlabuh di sana. Sebuah pulau dimana seorang temannya bermukim di sana.

Pikiran Malem pun jadi kacau. Akal sehatnya semakin kotor. Ranjang kecil tempat tubuh rikihnya berbaring tak pernah lagi terawat. Juga tak terlihat lagi selembar sajadah yang dulu senantiasa menggantung pada paku dinding kamarnya. Mak Saudah tak sanggup lagi menasihatinya. Memang pada bulan-bulan pertama keanehan putranya itu ia terlihat panik sekali. Berbagai cara pun diusahakannya supaya Malem tidak terus terpuruk meratapi nasibnya. Namun, sia-sia saja. Malem tak kunjung tersenyum juga.

Entah dengan adik-adiknya. Mungkin juga akan mengikuti jejak Malem. Surat peringatan dari sekolah masih tergeletak di meja makan. Mulai minggu depan bocah-bocah itu tidak diperbolehkan lagi masuk kelas jika uang SPP belum terbayarkan.

*****

Suatu siang, Mak Saudah kedatangan tamu. Tamu yang sudah tak asing lagi baginya. Namanya Banta, teman seperjuangan Malem semasa sekolah dan kuliah dulu. Malem dan Banta berteman dekat sejak kecil. Mereka sama-sama aktivis dulu. Dan mereka juga diwisuda bersamaan tiga tahun lalu. Hanya saja nasib Banta sedikit lebih mujur. Beberapa bulan yang lalu dia memilih menyimpan ijazahnya dan memutuskan untuk menjadi petani.

“Bagaimana keputusanmu?” tanya Banta lagi. Malem hanya tersenyum. Kemudian tubuh kurus itu menghela nafas panjang dan kembali menghisap sebatang rokok yang diberikan Banta tadi. Kepulan asap dan tawa kecil menghiasi kamar yang sehari-hari dibalut sepi itu.

“Aku tau kau tidak gila”

“Memang siapa yang berpikir aku gila?” jawab Malem sambil terkekeh.

“Tapi kalau begini terus, nanti kau bisa gila benaran?” Banta juga terkekeh

“Tapi idemu konyol, Banta!”

“Setidaknya tidak lebih konyol dari apa yang kau lakukan selama ini di kamar ini.”

“Baiklah, seberapa besar keyakinanmu?” Kali ini Malem bertanya serius.

“Sebesar rasa peduliku terhadapmu, kawan,” jawab Banta mantap.

“Mengenai risiko nanti?”

“Bahkan terus bertahan di kamar ini saja kau bisa berisiko, kan?!”

“Iya, tapi… ,” Malem terdiam.

“Sudahlah, gak pake tapi-tapi. Ini kesempatan terakhirmu. Aku pun sudah cukup lelah merayumu selama ini. Jika memang setuju, besok Subuh kau datang ke rumahku. Bawa baju-bajumu juga. Boat temanku menjemput kita Jam setengah tujuh pagi,” ucap Banta meyakinkan, kemudian bangkit dari tempat duduknya. “Aku pulang dulu.” Banta menepuk pundak kawannya itu, lalu berlalu pergi.

***

Saat seisi rumah telah terbuai mimpi, Malem masih ribut dengan bisikan-bisikan hatinya. Mungkin inilah saatnya Malaikat dan Jin di sisi kanan dan kiri Malem bertarung mempertahankan argumen masing-masing. Tapi bisikan Jin ternyata lebih berasa dan masuk meresap pikiran Malem. Seakan sia-sialah ilmu yang selama ini dituntutnya dan malulah hatinya pada sekalian remaja masjid yang sekian lama ini digemblengnya untuk menjadi pribadi-pribadi mulia. Malem pasrah. Apa mau dikata, kemiskinan memang dekat dengan kekufuran. Maka menjelang Subuh hari itu Malem mendekati pintu kamar Emaknya.

“Baiklah, jika memang itu keputusanmu, nak. Semoga kau berhasil di sana.”

“Iya, mak. Tidak perlu khawatir. Sesering mungkin saya akan berusaha pulang menjenguk emak,” ucap Malem menenangkan maknya yang bermuka sedih.

“Tapi...” Mak Saudah menghentikan kalimatnya.

“Bukankah kebun kosong milik Chik Suman juga diizinkan untuk sekadar kau pakai tanam cabe?” Mak Saudah menyambung kalimatnya dengan nada lemas.

“Tidak mak, tanah di pulau itu lebih subur daripada tanah-tanah di sini. Doakan saja saya berhasil dan pulang dengan selamat supaya adik-adik bisa tetap bersekolah.” Malem berujar dengan mata berbinar. Sebenarnya ia tak tega. Sungguh tidak ada niat di hatinya untuk membohongi orang yang disayanginya. Tapi kali ini terpaksa dia lakukan. Hatinya berkecamuk perasaan aneh. Sepanjang perjalanannya menuju rumah Banta menangis. Seakan pohon-pohon yang dijumpainya di sepanjang jalan setapak ikut melaknatnya. Di penghujung malam buta itu ia pergi dengan tujuan mulia, tapi dengan cara ternoda: Malem akan bertani ganja. Ini untuk menyambung hidup keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya.


Cerpen Meugang

BULAN madu ini begitu indah. Aku baru saja menikah sepekan lalu. Kini, memasuki Minggu kedua. Aku bersama istri menghabiskan bulan madu di areal perkebunan milik mertua. Menanam padi pagi hari, dan membawa sapi pulang ke kandang saat senja mulai temaram.

Semua berlangsung normal. Indah. Mertuaku melarang aku bekerja di Minggu awal kami menikah. Katanya, dia ingin miliki cucu dari kami sesegera mungkin. Minggu kedua ini, aku mulai bekerja. Membawa becak motor. Becak itu kusewa dari Apa Leman, pengusaha becak di kota ini.

Perjanjian dengan Apa Leman, jumlah uang yang kuperoleh dibagi tiga, dua bagian buatku, satu bagian buat si pemilik becak. Jika beruntung, aku bisa mendapatkan Rp 50.000 per hari. Jika tidak, aku hanya mendapatkan Rp 20.000 per hari. Semakin hari, jumlah pemilik sepedamotor semakin banyak di kota ini. Sehingga, jasa tukang becak sepertiku mulai kurang diperlukan.

Hari ini, hari pertama kukendarai becak setelah menikah. Pekan depan hari meugang telah tiba. Aku harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk membeli daging meugang. Mertuaku mengatakan agar aku membeli daging sapi minimal tiga kilogram dan maksimal sebuah kepala sapi. Untuk membeli daging sebanyak itu, aku harus bekerja ekstra. Harga sapi setiap musim meugang biasanya mencapai Rp 125.000 per kilogram. Untuk mendapatkan sekilo daging saja, aku harus bekerja dua hari lebih. Waktuku masih cukup. Enam hari menarik becak, aku harus bisa mengumpulkan tiga kilogram daging sapi.


“Jangan buat malu Abu. Kamu itu meugang pertama di rumah ini. Sudah seharusnya membawa daging. Ini tradisi kita,” sebut Abu.

“Ya Abang. Jangan sampai kita malu. Abang harus mendapatkan uang sebanyak mungkin, untuk acara adat meugang nanti. Jika kita tak sanggup beli kepala sapi, maka lebih baik kita beli tiga kilo daging sapi. Ambil yang minimal saja,” sebut istriku.

Kalimat kedua orang itu selalu menggema di otakku. Setiap kali aku menunggu penumpang di Simpang Lima, kalimat itu selalu terdengar. Meugang bukan hanya menyambut Ramadhan. Meugang ternyata ajang pembuktian lelaki perkasa.

***

HARI ini kutemui Apa Leman. Aku berharap dia meringankan setoran uang becak. Lebih baik lagi, jika dia meminjamkan uang padaku. Ya, tak usah banyak. Cukup Rp 600.000. Buat tiga kilo daging sapi plus bumbunya. Apa Leman terlihat sibuk di bengkel depan rumahnya.

“Ucok, apa kabar? Cepat sekali pulang narik becak? Kamu bukan lajang lagi. Harus rajin kerja, biar bisa bawa uang buat istri,” ujar Apa Leman menyambutku sambil tersenyum. Dia berhenti memperbaiki sebuah mesin becak. Memberikanku segelas teh dingin dan sebatang kretek.

“Duduklah. Minum dulu. Kau pasti capek,” sebut Apa Leman, dengan logat Batak bercampur Aceh. Menimbulkan kelucuan tersendiri.

Sejurus aku terdiam. Menikmati teh dingin dan kretek yang mengepulkan asap. Kuceritakan niatku kedatanganku pada Apa Leman. Dia tampak serius mendengarkan. Jidatnya mengkerut. Berpikir keras, mencari solusi buatku.

“Berat memang Ucok. Adat susah buat dirubah. Sudah turun temurun. Soal daging meugang itu, nanti aku bisa bantu satu kilogram. Jika lebih, aku tak mampu juga. Kau taulah, anakku tiga kuliah di Jawa. Jadi, uang tak bisa kupinjamkan padamu,” jawab Apa Leman serius. Pria paruh baya ini dikenal baik. Jika ada uang, dia pasti membantu. Mungkin, dia juga sedang tak punya uang. Sehinngga, aku tak bisa meminjam uang.

***

SENJA mulai hilang. Hitam membalut malam. Aku dan istri duduk santai di teras rumah mertua. Angin berhembus mendinginkan tubuh yang terpanggang siang tadi oleh mentari.

“Apakah udah ada uang buat meugang Abang?” tanya istriku

“Sudah ada buat sekilo daging. Dua kilo lagi sedang Abang usahakan. Penumpang sepi sekali akhir-akhir ini.”

“Jika memang tidak ada uang, lebih baik, cincin kawin kita jual. Kasihan juga Abang harus bekerja siang dan malam, hanya demi daging meugang,” usul istriku.

Aku tak setuju usul itu. Itu mas kawin kami. Sepahit apa pun hidup ini, emas itu tak boleh berpindah tangan. Harus tetap di jari manis istriku.

“Tenang saja, besok masih ada waktu sehari lagi buat cari uang. Semoga bisa cukup untuk beli daging. Jika perlu kepala sapi kita beli. Biar ayah dan umi bangga mendapatkan menantu yang patuh pada adat,” sebutku memberi semangat istri. Kutahu dia khawatir aku jatuh sakit. Namun, apa pun ceritanya, aku akan mendapatkan daging itu.

***

USAI subuh aku langsung menuju pasar. Hari ini, aku bertekad menjadi buruh bongkar-muat barang di pasar pagi. Mengangkat beras, kebutuhan sembilan bahan pokok lainnya, sayuran dan lain-lain. Siang hari, aku berencana menarik becak. Ini satu-satunya cara mencari uang daging meugang.

Menjelang siang, aku sudah mendapatkan uang sekitar Rp 150.000. Ditambah uang yang diberi Apa Leman sebanyak Rp 125.000. Sore nanti, aku yakin, uang ku sudah cukup membeli daging. Besok sudah meugang. Kubawa becak keliling kota. Mesin becakku sudah sangat panas. Tidak berhenti seharian.

Bahkan malam ini aku berencana tak pulang ke rumah. Aku menarik becak hingga pagi di terminal pusat kota. Istriku sudah kuberitahu. Aku tak ingin dia malu pada keluarganya. Mendapatkan suami tak berdaya memenuhi kebutuhan jelang ramadhan.

Jam berdetak tiga kali. Pukul 03.00 WIB dinihari. Mataku mulai mengantuk. Uang di saku sudah mencukupi. “Sudah Cok, pulang sajalah. Nanti sakit. Kamu baru menikah, anak belum punya. Tidak usah bekerja terlalu berat. Nanti cepat tua,” sebut Bang Husen, koordinator becak terminal kota.

“Satu lagi saja Bang. Lagi perlu buat meugang. Setelah antar satu sewa lagi, aku langsung pulang,” jawabku.

Gerimis mulai turun membasahi jalan. Angin bertiup pelan. Tempias hujan membasahi wajahku. Aku berteduh alakadar di balik pos mangkal becak. Kupasang plastik di badan becak. Jika pun ada penumpang, dia pasti tidak basah.

Mobil dari Medan tiba di terminal kota. Bang Husen menyuruhku mengantarkan sewa. Seorang remaja, yang kuliah di provinsi tetangga. “Hati-hati linto baroe. Jangan kebut-kebutan,” teriak Bang Husen, dan kubalas dengan senyuman. Hujan semakin deras. Penumpang itu berkata harus segera tiba di rumah. Dia takut sendirian di becak. Hujan disertai petir terus menyapa. Kugas becak motorku semakin kencang. Mataku tak melihat lubang, sementara dari arah berlawanan sebuah minibus datang dengan cepat. Bruk...tabrakan. Tubuhku terasa ringan. Mataku tertutup rapat, tubuhku penuh darah. Aku terbaring disamping tubuh ramping penumpangku. Tubuhnya diam tak tergerak. Aku tak bisa merasakan dingin, aku tak bisa merasakan sakit. Alamku telah berbeda. 


Cerpen Dukun Buang Jin

Beberapa bungkusan tergantung di pohon asan (angsana) besar itu. Terikat pada cabang setinggi orang dewasa berdiri. Entah apa isi bungkusan berbalut kain putih sebesar bola kaki tersebut. Kontras dengan tali penggantung dari ijuk berwarna hitam yang tersimpul rapi, pertanda benda itu sengaja dibuat dan digantung di pohon asan kebun itu.

Tidak seorangpun warga kampungku berani mendekat untuk memastikan apa isi di dalam bungkusan tersebut. Nuansa angker terasa tatkala ada yang mencoba mendekati tempat itu. Warga yang saban sore mencari ternak lupa pulang saja tidak berani mendekat walaupun lembu, kerbau atau kambingnya tidur-tiduran di bawah rindangnya pohon tersebut. Warga lebih memilih melempari ternak mereka dengan batu dan ranting-ranting kayu agar meninggalkan tempat itu.

Kebun itu lumayan luas. Terletak di ujung kampung dekat dengan persawahan, agak jauh dari pemukiman penduduk. Pemiliknya orang kaya kampungku yang bermukim di luar negeri. Kebun itu dibiarkan semak tanpa ditanami tanaman musiman atau tanaman perkebunan. Pohon besar seperti sentang, asam jawa, dan pohon-pohon besar lainnya banyak tumbuh di sana. Keumiki dan naleung lakoe menutup rapat setiap jengkal tanahnya. Hanya di bawah kerindangan pohon asan itu tampak bersih, mungkin karena sering disinggahi oleh seseorang yang memiliki tujuan khusus sampai menggantungkan bungkusan-bungkusan misterius.

Warga kampungku menyebut kebun tersebut dengan umpung burong. Kaum ibu sering menakut-nakuti anak mereka yang nakal dengan ancaman akan mengikat si anak seorang diri di kebun angker itu jikalau si anak tidak patuh dan tetap nakal.

***

Malam itu malam purnama dengan sedikit mendung. Aku dan Siyan sedang memasang perangkap meunom di pinggiran sawah. Tampak sebuah sepedamotor pelan-pelan merayap di jalan tengah sawah. Rasa penasaran membunuh rasa takut dan memaksa kami untuk mengintainya. Menjadi kebanggaan tersendiri apabila kami berhasil menggagalkan tindak kejahatan seperti pencurian ternak.

Sosok itu mendorong sepedamotornya ke parit dangkal sisi selatan kebun angker dan menutupinya dengan jumpung. Setelah berhenti sejenak di sana, lantas dia masuk ke kebun angker itu dengan menenteng sesuatu.

Kami memasuki kebun angker memutar dari arah timur, dengan harapan tidak diketahui oleh orang asing itu bahwa dia sedang dalam pengintaian kami. Pelan-pelan aku dan Si Yan memasuki semak. Cahaya purnama sedikit menerangi Bumi, namun kerindangan pohon asan tetap membuat kami tidak mengenali sosok tersebut.

Lebih 15 menit kiranya kami menunggu tanpa melihat makhluk lain hadir berdiri di hadapan sosok berbaju hitam yang bersila di sana, seperti dalam film-film horor yang kami tonton di warung kopi Apa Raman. Hanya orang asing itu sendiri masih tetap bersila. Tidak lama kemudian ia membuka bungkusan. Lalu berdiri dan berusaha menggantungkan di sisi cabang asan yang lain. Aku menghitung, ada empat bungkusan yang tergantung di sana, ditambah satu lagi yang baru saja digantungkan. Kesemua benda itu berayun pelan, mungkin dikarenakan hembusan angin.

Setelah itu sosok tersebut memasuki belukar. Tak lama kemudian deru suara sepedamotor terdengar, pertanda ia telah pergi. “Yan, ayo pulang,” kataku setengah berbisik. Tanpa menjawab, Si Yan perlahan mundur dan berbalik arah. Sesampai di balee meulasah, aku dan Si Yan langsung tidur dengan mengambil posisi di tengah-tengah tanpa memperdulikan beberapa teman yang sedang asyik dengan handphone-nya di berbagai pojok balai itu.

***

Sore itu aku sengaja menjumpai Guree Maknu di ploko kampong. Guree Maknu adalah lelaki tua mantan centeng di perkebunan. Konon, dia menguasai ilmu silat dan magis. Beliau adalah sosok yang disegani di kampung. Beliau juga menjadi guru bagi anak-anak atau remaja yang berminat belajar silat.

Ploko pada sore itu sepi. Hanya dia seorang diri duduk sambil mengisap rukok oen. Setelah menyapa dan menyalami dengan takzim, aku duduk di sebelahnya. Kuceritakan padanya apa yang telah kusaksikan.

“Hahahha.” Guree tertawa. “Kenapa Guree?” Tanyaku penasaran. “Itu dukun membuang jin” tukasnya. “Siapa dia?” tanyaku

“Kamu mau tahu? Untuk apa? Tidak penting bagimu,” jawabnya. Aku semakin penasaran dengan jawabannya itu. Memang sosok misterius itu bukan warga kampung kami, karena aku mengenal setiap gerak-gerik warga kampungku, walaupun dalam suasana remang-remang.

Di tengah kebingunganku, dia melanjutkan, “Begini, saya sudah lama tau apa yang dikerjakan oleh orang yang kamu lihat semalam. Dia seorang dukun. Yang digantung itu merupakan jin-jin yang dia dapat dari pasien dia, setelah mengobati. Dibungkus dengan kain putih lantas dibuang,” jelasnya.

‘Apakah dibuang sama dengan digantung di pepohonan?” sergahku penasaran

“Begitulah. Selama tidak ada yang menerima makhluk itu sebagai sahabat seseorang, maka ia akan tetap di sana, di tempat di buang itu. Kelak pohon itu akan mati karena tidak sanggup menanggung”

“Apakah makhluk itu tidak akan merasuki warga kita? Apakah tidak akan ada warga kampung kita yang kerasukan gara-gara ulah dukun itu?” tanyaku. “Oh tidak… seperti kamu menggunakan handphone, jika tidak menelpon si Hasni apakah si Hasni akan menerima panggilan mu di Hp-nya?” tanya Guree dengan tersenyum. “Tidak,” jawabku tersipu malu, karena Guree tahu aku menyukai Hasni, anak keuchik di kampungku.

Akhir cerita dia mengatakan bahwa, “Pawang buya matee bak buya, pawang rimueng matee bak rimueng.” Aku hanya mengangguk-angguk saja mendengar petuah Guree Maknu.


Dua tahun berlalu, kini aku berada Negeri Semenanjung, bekerja di kedai runcit membantu paman. Pagi itu seperti biasa, kubuka laptopku membaca berita situs koran terbitan nanggroe, sebagai pengobat rindu kampung halaman. Aku tersentak membaca berita dari kampung tetanggaku: Seorang dukun digebuki beramai-ramai, dibacok lagi. Konon, dia memiliki ilmu kebal. Kemudian pengadilan jalanan dilanjutkan dengan membakar rumah sang dukun.

Cerpen Nurbaya

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Tiga hari sudah anak muda itu bermurung muka. Tak lazim, binar matanya yang selalu terang itu kini redup tak menyala. Lesu, tak bergairah. Perubahan itu menjadi tanda tanya besar sahabat-sahabatnya, sebab selama ini dialah yang selalu menjadi mortir penyemangat di antara sepuluh mahasiswa yang ditugaskan di gampoeng terpencil itu.

“Jamal, jangan khawatir. Si Nur nampaknya juga suka sama kau. Apalagi Teungku Din, ayahnya sangat dekat kan sama kau”. Selidik Usman sebelum meloncat indah ke sungai yang airnya tak terlalu dalam.

Dugaan sahabatnya itu memang punya alasan kuat. Selama ini mahasiswa yang sedang mengikuti program pengabdian masyarakat di gampoeng itu tinggal di rumah Teungku Din, salah satu petua kampung. Di antara mereka, Jamal lah yang akrab dengan Nurbaya, anak bungsu Teungku Din. Kedekatan mereka pun menjadi buah bibir semua teman mahasiswa di sana. Bahkan mulai menjadi isu hangat sekampung.

Sahabatnya mendukung penuh kedekatan Jamal dan Nur untuk dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Semua kriteria calon pendamping hidup yang diidamkan Jamal ada dalam diri Nurbaya. Tinggi semampai, hitam manis, dan tutur katanya lembut tak dibuat-buat. Spesial di mata Jamal, tidak seperti kebanyakan kawan-kawan perempuan di kampusnya. Kulit mereka sudah dipermak dengan kosmetik kimiawi. Gaya hidup mulai bergeser dari nilai gampoeng. Ikut-ikutan budaya asing yang tak jelas.

“Jamal, maafkan Cek yang tidak memberitahukan padamu. Nurbaya sudah dipinang lelaki tetangga kampung dua bulan lalu, dalam waktu dekat Insya Allah akad nikahnya akan dilaksanakan.” Kata-kata itulah yang membuyarkan semua mimpinya saat Teungku Din memanggilnya ke ruang tamu suatu malam. Seketika jantungnya berdetak gencang. Seakan mau roboh tubuhnya yang kekar.

Kecewa. Perasaan itu berkecamuk hebat dalam batin Jamal. Bukan karena ia harus rela mengubur mimpi masa depannya dengan Nurbaya. Namun pernikahan itu sangat tak normal menurut pikiran warasnya ketika Teungku Din melanjutkan pembicaraan. “Kamu tahu kan Mal, kondisi Cek yang begini rupa. Tanggung jawab tak lagi berat kalau udah menikahkan Nur. Lagi pula tak elok menolak lamaran yang sudah datang”.

“Pungo. Ini benar-benar gila.” Jamal membatin. Dia menatap wajah lelaki yang ditaksirnya sudah memasuki usia lima puluhan tahun itu, yang terus berbicara dengan wajah serius. Raut sedih di wajah yang mulai keriput itu pun tak dapat disembunyikan. Titik- titik air mata Teungku Din mengalir juga ke pipinya. Dia sadar anaknya juga menaruh hati pada Jamal. Bahkan Jamal sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

. “Apa boleh buat, mungkin saya tak berjodoh dengan Deknur. Semua sudah diatur Allah.” Hanya itu yang bisa diucapkan Jamal sebagai penghibur diri setelah dari tadi hanya menyimak Teungku Din berbicara.

Di bawah temaram lampu teplok, hawa dingin malam itu seakan menjadi pelengkap suasana haru dua insan beda generasi itu. Pun dalam hati, Jamal memberontak. Ingin berteriak sekuat-kuatnya. Mengapa tak dari awal Teungku Din mengatakan, sebelum benih-benih cinta itu mekar.

Dilematis. Jamal dipaksa ikhlas dengan kondisi. Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik pada sebagian besar masyarakat di pedalaman Aceh itu telah membentuk pola pikir yang kaku. Tamat SMP langsung nikah bagi sang gadis dan tak jarang pula lelaki belia sudah berkeluarga. Tak ada cita-cita yang tinggi untuk sekolah, untuk sekadar mengubah nasib. Dan, Nurbaya merupakan salah satu gadis yang juga harus menjalani siklus temurun yang tidak adil itu.

Tak ada kata-kata sakti atau jampi-jampi untuk mengubah keputusan Teungku Din yang biasa dipanggil Jamal dengan sebutan Cek itu, sebab lamaran orang telah diterima. Tradisi kampung di bibir bukit yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota itu pantang diingkari. Akan berakibat fatal dan menjadi aib besar bila lamaran dibatalkan.

“Man, menurut kau berapa generasi lagi kisah ini akan berulang di gampoeng yang nan indah ini?” tanya Jamal pada Usman yang baru saja bangkit dari merendam di sungai, tempat biasa mereka mandi.

“Tak lama, nanti tamat kuliah kita buat saja partai politik lokal baru. Namanya Partai Nurbaya. Sepakat? Ha ha.” Dengan nada tak serius si mahasiswa jurusan ilmu sosial politik itu menjawab sekenanya sembari meloncat indah kembali ke sungai.