Surat untuk Ibu

Surat I
IBU, kutulis surat ini untuk mengabarkan kalau ananda sudah tiba dengan selamat di satu negeri aneh. Matahari di sini adalah barang yang langka. Aku tak mengerti, kenapa orang-orang masih bisa melihat dalam gelap: berjalan, berinteraksi, dan bekerja dalam gelap. Mereka berkendaraan juga dalam gelap. Tapi anehnya, walau pun mereka berjalan dalam gelap, tapi tak seorang pun ada yang saling bertabrakan.

Aku melihat pasar-pasar, perkantoran, sekolah, perumahan, dan semua tempat-tempat umum, juga tanpa ada penerangan. Semuanya serba gelap. Namun penduduk negeri ini tidak pernah mengeluhkan perusahan listrik negara yang tidak pernah menyala. Karena mereka memang tidak pernah membutuhkannya. Karena mereka lebih suka hidup dalam gelap.
Ibu, aku sekarang menjadi salah seorang dari mereka. Pada awalnya, terus terang aku merasa linglung dengan situasi semacam ini. Namun lama-lama aku menjadi terbiasa dengan gelap. Tentu saja, matahari pernah muncul. Tapi hanya setahun sekali. Itu pun hanya untuk satu bulan matahari bersinar penuh. Namun, anehnya, di saat matahari muncul, malah penduduk negeri ini menghentikan hampir semua pekerjaan mereka. Mereka memenuhi masjid dan meunasah. Melantunkan kebesaran Tuhan. Menghayati setiap pemberian Tuhan dengan segenap jiwa. Sesuatu yang jarang kita saksikan di negeri kita bukan.

Oya, aku hampir lupa ibu. Bahwa selama aku di sini, tak pernah kudengar ada penguasa yang menyelewengkan wewenangnya. Tak ada orang yang menyunat uang negara. Bahkan, tak sepeser pun uang yang jatuh ke tangan yang salah. Semua diperuntukkan bagi kemakmuran rakyatnya. Aku heran, mobil-mobil tak pernah dikunci oleh pemiliknya. Mereka memarkirnya begitu saja di pinggir jalan depan rumah mereka. Pintu-pintu toko juga dibiarkan terbuka tanpa penjaga. Orang kalau mau membeli, tinggal mengambil saja, dan uangnya ditaruh dalam jepitan khusus yang disediakan untuk itu. Mungkin hampir sama dengan warung dan kantin jujur yang sudah mulai buka satu dua di negeri kita.

Tapi ibu, tak pernah kudengar ada orang yang kehilangan kendaraannya, atau toko dan kantor yang kemalingan. Bukankah ini benar-benar negeri yang aneh, ibu? Sama anehnya, ketika aku terkejut mendengar bahwa di negeri ini, tidak ada kantor polisi. Baik polisi militer, maupun polisi agama, yang di negeri kita disebut polisi syariat. Tentu saja, penjara atau rumah tahanan tidak diperlukan. Karena kalaupun dipaksakan dibangun, akan menjadi sia-sia. Karena memang tak ada orang yang perlu dijebloskan ke dalamnya. Ibu, aku rasa, cukup dulu sampai di sini surat pertama dari anakmu ini. Jaga diri dan jangan lupa kunci pintu dan jendela sebelum tidur. Agar rumah kita tidak dimasuki maling seperti dulu.

Surat II
Ibu, aku harap surat kedua ini akan mampu menghapus rinduku pada ibu. Baiklah, akan kuceritakan kembali pada ibu tentang negeri yang aneh ini. Negeri tanpa matahari. Beberapa hari lalu, aku sudah diterima bekerja di sini. Aku bekerja sebagai mandor bangunan, dan mengepalai dua puluhan pekerja. Namun sebenarnya hampir tak ada perbedaan antara mandor dengan para pekerja. Bukan seperti di negeri kita, kerja mandor hanya mengawasi dan tunjuk kiri, tunjuk kanan. Mandor di sini justru yang paling banyak kerjanya. Dan paling banyak beban tanggungjawabnya. Makanya, orang-orang di negeri ini, lebih suka memilih menjadi bawahan, daripada sebagai atasan.

Ibu, negeri ini masih saja gelap. Kegelapan yang indah. Begitu biasa orang-orang menyebutnya. Sesekali, bulan juga menyiramkan sinarnya ke bumi. Menghias wajah kota dan kampung. Sekali waktu, aku sempat menangkap sekerjab wajah seorang bidadari. Dia melintasi jalan depan bangunan yang sedang kami bangun. Aku terkesima menatapnya, Ibu. Wajahnya yang polos dan tanpa banyak polesan, tanpa sengaja menerobos cadarnya, menghunjam ke jangtungku.

Tapi, para pekerja memberitahuku bahwa dia adalah anak seorang raja. Dia berjalan diiringi dua belas pendampingnya yang juga sangat rupawan. Kata para pekerja pula; “Tuan mandor, siapa yang mampu menjawab teka-tekinya, maka laki-laki itu akan dijadikan sebagai suaminya.” Akhirnya, kuikuti sayembara itu. Hanya iseng sebelumnya. Tapi siapa sangka, kalau aku dinobatkan sebagai pemenangnya, Ibu. Spontan aku panik tapi sekaligus bangga. Panik karena akan menikahi putri seorang raja. Bangga karena mampu menjawab teka-teki sang putri. Dia bertanya begini; “Siapa orang yang paling beruntung di dunia ini?”

Aku menjawab, “Orang yang ingat mati ketika akan shalat, dan orang yang menganggap umurnya masih panjang ketika sedang mencari rezeki.” Sedangkan peserta sayembara lainnya-yang hampir semuanya berasal dari anak-anak pembesar istana, menyahut, “Jika hamba terpilih sebagai calon suamimu, Tuangku Putri.”

Ibu, aku akan segera menjadi suami seorang putri raja. Tapi aku boleh terlalu gembira, ibu. Aku juga telah memberikan satu syarat pada putri raja itu: aku akan menikahinya, jika ibu diizinkan datang ke negeri tanpa matahari ini, untuk mendampingiku menikahanya nanti. Bagaimana, ibu?

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :