Hadiah Ulang Tahun

Sepanjang rel kereta itu adalah daerah paling kumuh di Jakarta. Rumah-rumahnya berimpitan dengan masing-masing penghuni berjejalan di setiap rumah, seperti ikan dalam kaleng sardin. Pantas saban hari, orang-orang malang yang mendelik bila disebut miskin itu lebih senang keluyuran. Mungkin mereka sengaja kabur dari pengapnya kamar atau sekadar menghibur diri, bermimpi jadi anak angin yang bebas pergi ke mana pun mereka suka.
“Waktu kecil aku selalu ingin jadi angin.”

“Dan lihat nasibmu sekarang, kamu cuma jadi kentut!”

Lis tertawa kecil mendengar ejekan Mimin. Kemudian ia mencemplungkan baju terakhir yang baru disikatnya ke dalam ember bilasan. Kini giliran Mimin yang akan membilas dan menjemur pakaian-pakaian itu.

“Nih!” Lis memberikan Rp 10.000 kepada Mimin. Sesuai perjanjian, Mimin dapat bagian dari honor mencuci di rumah Mandor Katma. “Apa enaknya jadi angin?” tanya Mimin sambil memasukkan uang ke balik kutang.

Lis tak menjawab. Ia mengangkat bahu lalu melengos pergi. Setiap hari Lis mencuci pakaian milik tetangga, yang malas dan kebetulan sedang kelebihan uang. Tapi penghasilan sebagai babu cuci hanya cukup untuk makan, bahkan tak pernah lebih meski sekadar buat jajan anak laki-lakinya yang sering mengigau punya sepeda. Barulah sejak mencuci di rumah Mandor Katma, ia bisa  bernafas lega. Duda tua itu selalu memberi upah berlipat ganda dibanding yang biasa ia terima dari para tetangga, sampai-sampai ia tak sayang berbagi upah dengan Mimin, asal temannya itu mau membantunya mencuci.

Kini Lis merebahkan tubuhnya di atas selembar kasur tipis berdebu. Bau apek merayapi hidungnya seperti hujan abu yang samar. Sejak pulang dari rumah Mandor Katma siang tadi, ia tidur-tiduran saja. Tak ada hal lain yang dikerjakannya.

Sejak kemarin malam, punggungnya dijalari rasa pegal. Ia sadar tubuhnya perlahan dimakan usia. Ia tak lagi sekuat dulu. Ia melenguh pelan. Terbayang di benaknya masa-masa ketika suaminya masih hidup. Dulu, ia tak perlu susah payah mencucikan pakaian orang lain jika hanya untuk sekadar makan dan bayar kontrak rumah.

Lis menggaruk punggungnya yang gatal karena bersentuhan dengan kain seprei kumal berlubang-lubang yang jarang dicuci. Ia malas mencuci seprei itu karena di seprei itulah dia dan suaminya terakhir bercumbu. Ia takut aroma suaminya akan hilang bila seprei itu dicuci. Menempelkan tubuh di seprei itu seolah mendekap suaminya.  Membuat dirinya tak merasa kesepian.

Bola mata Lis bergeser ke sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto itu merekam banyak kenangan yang tak pernah pudar, meski laki-laki dalam foto itu sudah lama mati digilas mobil tinja. Sebenarnya ia tak ingin terus-terusan mengingat laki-laki itu, tapi semakin keras ia berusaha melupakan, malah semakin banyak kenangan menyergapnya. Ya, kenangan itu mengucur deras dalam pikirannya dan selalu punya cara untuk kembali meski berulangkali diusir pergi. Ia sadar dirinya terjebak di antara dua hal: ia ingin melupakan suaminya, tapi di sisi lain ia tak ingin ingatannya hilang pada  laki-laki itu.

Lis memejamkan mata, membayangkan suaminya pulang sehabis berdagang buah lontar. Biasanya suaminya langsung berganti baju. Tubuh kekar suaminya tak pernah luput dari pandangannya. Dan ia akan merajuk manja. Dada Lis bergemuruh. Matahari di luar semakin panas.

Pintu kamar mendadak dibuka. Lis tersentak.

“Mak!”

“Apa?”

“Mana hadiah ulang tahunnya?”

“Ulang tahun? Ulang tahunnya kan minggu depan?”

“Uya mau sekarang!”

“Mak belum punya uang.”

“Uya pengen sepeda gunung! Temen-temen semua udah punya!”

“Nanti mak beli, kalau mak ada uang.”

“Ah! Paling-paling mak bo’ong lagi! Tahun kemaren mak janji mau beli kuda, mana?

“Sabar, mak cari uang dulu.”

“Mak pelit! Mak pasti bo’ong lagi!”

Pintu dibanting. Anaknya lari ke luar rumah.

Hati Lis sedih sekali. Setelah kematian suaminya tiga tahun silam, setiap tahun ia berjanji membelikan hadiah ulang tahun buat anaknya, tapi tak satu pun janji itu bisa ia penuhi. Baru belakangan ini ia memegang uang lumayan banyak setelah diberi oleh Mandor Katma. Tapi sebanyak-banyaknya uang dari Mandor Katma, tetap saja tidak cukup untuk membeli sepeda gunung, kecuali bila ia mau ditiduri.

Lis kembali memejamkan mata. Tapi bukan bayangan suaminya yang muncul, melainkan Mandor Katma. Dua bulan lalu, mandor proyek itu mulai merayunya.

“Jangan pulang dulu,” bisik Mandor Katma.

“Kenapa?”

Mandor Katma mengepalkan lembaran uang, lalu berusaha mencium pipi perempuan itu.

“Pak!”

“Ssst! Jangan berisik! Nanti didengar Mimin!”

“Saya mau pulang! Kerjaan saya sudah selesai!”

“Alaaah! Sini,  cium dulu!”

“Pak! Nanti saya teriak, nih?”

“Eh, ya sudah, kamu boleh pulang.”

Lis melihat lembaran uang dalam tangannya. Ia menyodorkan uang itu kembali pada Mandor Katma. “Nggak usah! Uang itu buat kamu!”

***

Lis beranjak dari kasur. Ia mengambil foto suaminya. Perasaannya bergemuruh saat membelai foto itu. Ia ingat masa-masa pacaran dengan suaminya. Mereka sering bercengkrama pada malam-malam senyap di sudut tergelap dari alun-alun utara kota. Saat langit sepi itulah, laki-laki kekasihnya akan membacakan sebuah sajak pendek yang miris. Dari bibirnya yang tebal bertumpahan kata-kata yang entah berarti apa. Tapi ia mengerti maksudnya, itu tentang sekerat cinta yang membuat lelaki itu mabuk dan memuntahkan kata tak berkesudahan. Lelaki itu mencintainya, dan berjanji akan setia selamanya, dan hanya meminta ia melakukan hal yang sama sebagai imbalannya.

“Benar kamu akan setia selamanya?” tanya Lis.

“Ya!” jawab laki-laki itu.

“Gombal!”

“Kamu sendiri apa bisa menjaga cinta?”

Laki-laki kekasihnya lantas mengisahkan dongeng tentang putri raja yang menunggu cinta di sebuah menara. Sebuah cerita yang pernah ditontonnya di layar kaca dan sekarang diceritakan lagi sekenanya demi menarik hati seorang perempuan.

Mengenang semua itu hati Lis menjadi bimbang. Sebesar apa pun cinta yang ia berikan pada suaminya, laki-laki itu tak akan pernah hidup lagi. Tapi anaknya akan sedih bila tahun ini gagal mendapatkan hadiah.

Lamunan Lis buyar saat mendengar pintu rumahnya diketuk. Lis bergegas keluar kamar dan membuka pintu. Mandor Katma menerobos masuk. Matanya seperti pisau berkarat, tajam menatap Lis dengan penuh birahi. 

“Saya cuma mampir, kebetulan lewat. Sudah makan?” tanya Mandor Katma.

“Belum! Kenapa?” balas Lis.

“Ini, saya belikan makanan.”

Batin Lis gelisah. Lututnya gemetar. Lantai yang dia injak seolah bergetar karena gempa. “Pak,” seru Lis lirih. “Saya butuh uang untuk beli sepeda buat anak saya.”

Mandor Katma menangkap sinyal kekalahan dari bola mata Lis. Ia sudah memberi banyak uang. Ia merasa punya hak atas perempuan itu. Pinggul Lis dipeluknya. “Gampang, uang bukan masalah,” bisiknya.

Mandor Katma membiarkan dirinya dibimbing oleh Lis ke dalam kamar.

Selanjutnya dia dan Lis saling berpacu. Mandor Katma tak ingat apa-apa lagi.

Pintu kamar mendadak dibuka.

“Mak!”

Mandor Katma dan Lis terkejut. Mereka lupa mengunci pintu. Anak Lis menangis lalu kabur seperti biasa.

“Maaf, pak! Saya nggak bisa lagi.”

“Nggak apa-apa!”

Mandor Katma buru-buru mengenakan pakaian.

“Untung yang datang anak kamu. Coba kalau orang kampung. Habis kita!”

Mandor Katma membuka dompet dan mengambil beberapa lembar ratusan ribu. “Nih! Cukup buat beli sepeda. Kamu berutang pada saya. Kapan-kapan kita lanjutkan di rumah saya, di sana lebih aman.”

Mandor Katma buru-buru pergi. Lis menghitung uang, selembar demi selembar.

Sorenya, sebuah sepeda gunung menghiasi ruang tamu yang sumpek itu. Ia tersenyum membayangkan kegembiraan anaknya. Demi melihat hadiah ulang tahun itu, anaknya pasti lupa dengan kejadian tadi siang. Tapi sampai malam anaknya belum juga muncul. Ia mulai gelisah.

Pintu rumah tiba-tiba dibuka dari luar. Ia gembira mengira anaknya tiba. Namun yang muncul malah tetangganya, laki-laki paruh baya berwajah dingin. Tanpa basa-basi, tetangganya itu berkata, “Anak kamu mati. Kepalanya pecah kelindas metro mini.”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :