Perempuan itu

API tungku itu, berulang kali ditiupnya. Hanya kepulan asap yang menguar. Tubuh renta terdorong ke depan ketika otot-otot dadanya berkontraksi kuat melawan kepulan asap yang mencoba terobosi tenggorokan dan paru-parunya.

“Bidah! Sudah siap kaukasih makan bebek-bebek tu? Kalau sudah, lekaslah kau kemari.” Dari balik pintu kayu di belakang si perempuan, menyembul wajah bulat dengan tutul-tutul hitam bekas jerawat. Kelelahan tergurat pada wajah keduanya.
“Coba kau yang tiup tungku ini! Aku sudah mencobanya berkali-kali, tetap saja apinya tak menyala. Entah karena kayunya yang masih basah atau tenagaku yang sudah melemah.”
Perempuan tua itu bergeser.

Berjongkok di samping Maknya, Bidah menghembuskan napas sekuat tenaga. Asap kian banyak mengepul. Titik-titik keringat membanjiri kening Bidah. Sambil sesekali menyibak kerudungnya ke belakang, Bidah berkonsentrasi penuh pada tumpukan kayu itu.

Sayup-sayup, azan maghrib bergema.

“Sudahlah. Memang kayunya masih basah. Kau ada shalat sekarang?” Perempuan itu menatap Bidah dengan mata basah.Bidah menggeleng.

“Coba kau ke tempat Makcik Asma. Jangan lupa bawa gayung kecil yang biasa Mak tarok di belakang pintu depan. Minta pinjam dengan Makcik Asma minyak tanahnya segayung tu saja. Mak shalat dulu.”

Perempuan itu pelan bangkit dari dudukannya; berupa batok kelapa yang dibalik, sambil berpegangan pada dinding kayu dapur. Setengah menyeret kakinya, perempuan itu menuju sumur, sekitar 4 meter dari pintu belakang, di sebelah kanan kandang bebek. Tak lama berselang, bunyi kerekan katrol membaur bersama semilir angin yang berhembus dari ladang-ladang di perbukitan sebelah timur desa.

Baru saja perempuan itu mengucapkan salam sesudah tahyat akhir, Bidah nampak terengah-engah sambil menenteng kantong plastik hitam dan sebuah gayung kecil.

“Kau tarok saja di situ. Nanti biar Mak yang masak airnya. Lekas kau mandi sekarang, mumpung masih belum terlalu malam. Bisa kena reumatik kau nanti. Itu apa?” Meskipun matanya sudah mulai kabur, sekilas dia bisa menangkap bayangan kantong plastik di tangan Bidah.

“‘Ak ‘ek…” Bidah menggerak-gerakkan tangannya seolah hendak menyuap makanan ke mulut Mak.

“Dikasih Makcik Asma?”

Bidah mengangguk. Wajah lelahnya berbinar.

“Ikan asin tadi tak usah kaugoreng lagi. Simpan saja untuk besok. Ada kaubilang terima kasih dengan Makcik Asma?”

Remaja itu kembali mengangguk dengan bersemangat. Mak mulai membuka lembaran lusuh alquran tua miliknya. Bidah beringsut menuju ke sumur. Bunyi timba yang terantuk dengan dinding sumur dan kecepuk air saling memilin dalam gelap bersama suara lirih Mak. Hanya isak tertahan yang sesekali memantulkan nada sumbang dan merusak harmonisasi alam. Pendar cahaya dari lampu teplok merekam jelas setiap tetes air mata di wajah renta Mak.

Kecamuk dalam jiwanya seolah membadai. Tentang Bidah; anak gadisnya yang bisu, sisa beras, suami,... Entah kapan lelaki itu kembali. Dan tangisnya pun menderas.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :