Tanah Ibuku

SUDAH kukasih tanah untukmu. Tanahku saying juga kusayang, nyatanya ingin kau ambil sisanya lagi, tanah ibuku. Tanah permata, kasih; tanah yang mengganggu jalan cinta dan mimpiku. Menolak, aku memukul-mukul keinginan itu. “Leburlah bersama tubuhku. Tautkan jiwamu pada nyawaku. Jalan mimpiku akan luruh bahagia bila itu Lebur bersama tubuhmu,” begitu rayumu.

Jangan ambil tanah ibuku…Tidak kau ambil. Kau telah rayu janji, leburku ke dalam tubuhmu, tak akan jadikanmu suka tanah ibuku. Lagi. Ucapmu,”kita akan mendarat di tanah seberang. Tanah itu tanah bahagia. Untukku dan mu,” Mengapa gilai tanah ibuku bila miliki tanah seberang bahagia? Tapi ketika mataku tertidur, ketika sebahagian jasadku tengah lelah temani kehidupanmu, mengapa tak ajaki aku menuju ke tanah ibuku? Tanganmu mengayuh sendiri lautan panjang, yang kau namai lautan bahagia itu.
Menuju tanah ibuku Lalu mengapa paksa kelahiran darah di tanah ibu? Kau tanam tengkorak di dalam perut tanah ibu. Kau penjarakan kupu-kupu yang miliki cita-cita tinggi. Kasih, sakit. Letih,sayang. Nyawa ini pucat seolah dilempari rotan kematian. Sekali waktu tengkorak yang kau tanam, kupu-kupu, burung-burung, semua mereka marahi aku.

Mengapa biarkan biadab lahirkah darah-darah haram? Potong tangan lancang dengan gergaji tua! Sumpal mulut berbisa si biadab dengan serbuk-serbuk kayu mematikan! Tolong beri bebas yang merdeka! Mengapa tak jua pulang ke tanah ibumu?Meski aku saksikan dalam ruangan mimpi, kuselalu kagumi mimpi. Mimpi, musafir kenyataan. Sekali-sekali waktu, ia lena bermain di rimba hutan gagah.

“Hentikan buat biadab di tanah ibuku,” ketika matahari telah ada, aku jadi angin yang amuki pohon-pohon hingga mengapung-ngapung di langit negeri. Aku tak peduli-hirau, dengan satu hati kukatakan ingin, hantarkan aku ke tanah ibuku. kalimatmu puntung. Bintang-gemintang ribuan yang ingin merdeka dari penjara danau matamu. “Jangan cinta, jangan kasih, cintamu adalah hidupku. Jika kau pergi,..”

“Di sini aku pahat janji, kuhentikan kerja segala biadab. Tanah ibumu tak lagi kuusik. Sesungguhnya kasih cinta, kaulah terindah,” danau matamu menangis seperti hujan yang tengah banjir. Kukagumi air matamu yang banjir itu. Tapi aku tak jatuh cinta dengan pahat janjimu. Janjimu mengada-ngada angin. Lantas mengapa kau ciptakan kekeh? Mengapa kau serigala yang kirimkan kelicikan? “Tanah ibumu tak lagi suci. Sudah kulahirkan darah. Telah kutanam tengkorak di dalam perut. Sudah kukubur kaki-kaki bayi. Kupu-kupu dan burung-burung…”

Beginilah menjadi angin kuat. Tak apa. Meski nyawaku dirajam-rajam rotan kematian. Aku akan sembahyang suci untuk kembalikan suci tanah ibuku. Sekarang, mari hantar aku… “Kumohon jangan… Jangan pergi… kaulah terindah kasih,” Tubuhmu rubuh. Jika begini, harus aku sendiri yang mengayuh sampan. Pada masanya, Tuhan Kuasa menaruh pesan pada gunung tampan, aku dan kau untuk pasangan selamanya. Angin, hujan serta gunung tampan akan ajakmu ke tanah ibuku. Di dalam laut bahagia, aku telah menjadi sepotong titik angin. Kau tak menarik pergiku.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :