Emak Selalu Saja Merindu

EMAK menatapnya kosong. Tak ada yang berubah di wajah perempuan itu. Tak ada benci, tak ada murka. Ia hanya melepas, membiarkan anaknya,  menjauh dan hilang dalam malam temaram.  Marjan dibiarkan mencari jalan hidupnya. Sejak ayahnya meninggal, emaknya seakan menjadi lemah. Sudah jarang Marjan mendengar emaknya jika pagi  merepetinya untuk salat atau sekedar mengingatkannya bersekolah. Mungkin  Emaknya diam bahkan membiarkan seperti itu, karena sudah bosan  mengingatkan. Marjan tak tahu, ia pun  seperti burung liar di hutan yang terbiar.
Marjan  masih terdiam di ruang tamu. Ia tak berani menoleh ke arah emaknya ketika melarangnya berkumpul dengan sejawatnya, namun saat itu  melawan. Ia paham Emak tak ingin  anakknya larut terlalu jauh, apalagi di kampungnya dia termasuk yang dipuji-puji. Itulah yang dulu membanggakan sang ayahm karena mampu menjaga marwah kedua orangtuanya. Itu sebab orang-orang kampung banyak yang menyukai dirinya. Ah, itu masa lalu.

Bermalam-malam Marjan pergi dari rumah dan  meninggalkan emak  dan seorang adiknya perempuan. Itu yang bikin Emaknya gundah, dan hanya bisa berdoa agar sang anak segera kembali. Apa Marjan sudah lupa atau telah hilang dalam pekat malam. Ini kemudian membuat Emak menangis merinduinya.

Sejumput harap dan penyesalan bergayut di hati perempuan separuh baya itu. Marjan belum tiba jua hingga  kabar kalau anaknya masih ada dan akan kembali akan kembali ke rumah. Ia pun mempersiapkan penyambuta, akan menghidangkan ikan sambal teri dan  gulai pakis kesukaannya.

Pagi itu ada ketekukan pintu. Dengan debar perempuan itu membuka. Ia hampir menjerit ketika putra yang dirindui berdiri di depan. Marjan mengulurkan tangan. Hanya itu! Lalu ia masuk, tersenyum, dan menuju kamar untuk lelap hingga tengah hari menjelang. Ternyata ia belum berubah.
Marjan menuju dapur dan menyantap hidangan yang dimasak khusus untuknya. Emaknya menatap dengan bangga sambil berharap sang putra tidak akan pergi lagi.Namun itu hanya harapan, ternyata Marjan pergi lagi. Perempuan itu hanya menatap. Air bening mengalir dari matanya yang mulai keriput. Lalu kembali sunyi. Dan hari-hari perempuan itu makin kurus karena digerus masa dengan perasaan lelah dan terluka. Tapi tak ada sumpah, tak ada serapah, tak ada murka. Yang ada hanya kosong dan sehutan harapan yang entah kapan akan terjabah.

****

Marjan mendapati emak terbaring kaku. Pagi yang tak lagi sempat menunggu dan memasak sambal udang kering seperti biasa. Ia tergeletak di atas selembar daun pisang dan hanya ditutupi kain panjang. Kecuali sepatah kata dari Cut Wan, adik emak, kalau Emaknya belum membuka mata hingga senja melewati batas ada.

Tengah malam, dalam sayup dari jauh, Marjan mendengar emaknya terjaga. Ia menatap dengan senyum, menatap semua yang ada,  Cut Wan dan istrinya, Bit Ma, aku dan sepupuku di pangkuan, Oji, serta adik perempuanku, Humaira yang terlelap di sampingnya.

“Mana Marjan?” terdengar suara Emak pelan. “Tolong bawa adekmu kesini. Emak ingin bertemu dia. Emak rindu sekali.”. Saat itu tampak emak menangis. Aku pun terbata. Andai kutahu dimana ia, tentuakan kubawa ke depan emak yang sedang menantinya. Aku menangis emak kembali lelap. Dan malam terus merangkak, azan subuh menggema saling sahut. Pada subuh yang dingin dan hitam terdengar ketukan pintu dan permintaan untuk dibuka. Emak yang sedang merindu dalam lelap mendengar dan terjaga

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :