Duka Fatimah

Fatimah gila.  Isu itu sudah menyebar ke pelosok kampung. Lima tahun sudah berlalu dia masih duduk terpaku dengan muka lesu. Berbicara sendiri bahkan tertawa kemudian menangis. Rambutnya sudah sebulan terakhir ini tidak mengenal sisir. Bajupun tak berganti. Dia hanya duduk menyendiri di muka pintu rumah terbuat dari kayu beratapkan rumbia. Ketika hujan, tetangga datang untuk menampung tetesan air yang bocor dari atap rumahnya.

Fatimah, perempuan usia lanjut berkelakuan aneh. Sejak kembali dari kota, banyak prilakunya yang ganjil. Dia tinggal sendiri. Sejak suaminya meninggal, dia tidak berniat menikah lagi. Padahal  dia masih sangat muda. Tidak sedikit lelaki datang untuk meminangnya. Tapi jawabannya tetap sama: Aku masih mencintai suamiku.

Kini berbeda, Fatimah yang dulu ceria, pekerja keras, ramah pada semua orang, menjadi pendiam. Janda kembang desa yang menjadi julukannya dulu kini berganti menjadi janda mulai gila. Tak ada yang tahu penyebabnya. Bahkan tetangga terdekat. Warga menaruh curiga bahwa Fatimah diperkosa di kota, sehingga dia trauma dan stres. Tapi sebagian warga lagi mengatakan Fatimah gila karena tidak menemukan anaknya. Realitasnya, tak seorangpun yang tahu gerangan apa yang membuat wanita itu gila.

Februari lalu, Fatimah berniat ke kota. Rindu akan buah hatinya menjelma membiaskan rasa pilu. Uang dia tak punya, tapi berbagai pekerjaan dia lakukan untuk mendapatkan uang. Dia bukanlah wanita terpelajar. Dia lahir dari kalangan rendah. Untuk tingkat sekolah dasar saja dia tak tamat. Umur tujuh belas tahun dia sudah dinikahkan dengan lelaki asal kota yang datang melamarnya. Bagi warga kampung, menikah dengan orang kota merupakan hal hebat, karena sangat jarang terjadi. Biasanya wanita di kampung menikah dengan tetangga terdekat atau paling jauh dengan warga kampung seberang.

Nasib mujur bagi Fatimah yang dipinang orang kota. Hingga mereka beranggapan dapat mengubah nasib dari bertani menjadi ibu rumah tangga yang hanya duduk dan menunggu suami pulang kantor. Semula Fatimah ingin menolak lamaran itu, dia ingin ke pesantren untuk belajar agama. Kehendak ayah dan ibunya yang keras akhirnya memaksanya menerima lamaran. Setelah resepsi pernikahan diadakan di kampung, Fatimah dibawa suaminya ke kota.

Baru lima tahun menikah, Fatimah kembali ke kampung halamannya. Dia ditinggal mati suaminya karena kecelakan lalu lintas. Sedang orang tuanya pun juga sudah berpulang ke Ilahi Rabbi, tiga tahun setelah dia dibawa ke kota. Fatimah kembali ke kampung tanpa membawa apa pun, kecuali pakaian yang menempel di badan. Tubuhnya kurus, wajah cantik mengguratkan kekerasan serta kepiluan yang dalam.

Wajah lesu itu kini kembali lagi setelah dia pulang dari kota Maret lalu. Namun kali ini keadaannya bertambah parah. Tidak seperti saat dia kembali pertama kalinya ketika ditinggal suami. Sikapnya kini seperti orang gila. Dan hal itu berlangsung sudah sebulan. Warga kampung mulai khawatir. Saat akan dibawa ke rumah sakit jiwa dia menolak dan mengatakan dia tidak gila, tapi  orang kota yang gila. Selalu begitu. Perasaan pilu dipendam Fatimah seorang diri. Sakit hati akan kematian suaminya seakan tidak diterima. Dia selalu menyalahkan takdir yang berlaku tidak adil baginya.

“Begitu banyak manusia di Bumi ini, kenapa harus suamiku yang Kau ambil,” ucapnya. Kalau dulu dia rajin beribadah, kini shalat saja sudah tak pernah. Banyak yang mempertanyakan keganjilan tersebut, tapi  segalanya tak dihiraukan. Hatinya kadung tercabik. Bulan lalu, saat dia ke kota untuk melihat anak semata wayangnya, hal buruk terjadi. Awalnya  Fatimah kebingungan mencari alamat baru mertuanya di kota, karena  sepuluh tahun  lebih dia tidak ke sana. Saat itu, seorang pemuda menawarkan bantuan untuk mengantar ke tempat tujuannya. Pemuda tadi membawanya ke kos-kosan kecil jauh dari kota. Fatimah kebingungan. Seketika mulutnya dibekap. Dia meronta, tapi tak berdaya. Tubuhnya dibopong ke dalam kamar dan lima pemuda tadi memperkosanya secara bergantian. Tak seorangpun dari kelima pemuda itu dikenalinya. Tersadar dia sudah berada di depan warung nasi bertuliskan alamat yang dia cari. Tak buang waktu, si penjual menunjukkan arah mana yang harus dituju. Seberkas cahaya mengisi hatinya. Meski kejadian yang baru saja dialami begitu sakit, kini seakan tergantikan oleh permata yang akan dia temui, yaitu anaknya.

Di depan pintu pagar berwarna biru tua ia berhenti, nafas diatur serta pakaian dirapikan. Segera kakinya melangkah masuk ke dalam. Layaknya langit runtuh hancurkan hati Fatimah. Air mata bercucuran tanpa henti membanjiri kedua belah pipinya. Ternyata Ikbal, anak semata wayang yang ditinggal sepuluh tahun lebih itu, adalah salah satu pemuda yang memperkosanya semalam. Tak berdaya menahan perih, Fatimah pergi detik itu juga. Benaknya terus berkata.

“Apa salah ibumu ini. Kenapa aku tak diizinkan membawamu pulang dulu. Apa susuku basi hingga kau  sebejat itu. Kenapa senandung selawatku untukmu saat kau berada di ayunan digantikan dengan nyanyian setan. Apa salah ibu mengandungmu?” kata-kata itu lah yang terus keluar dari mulutnya saat duduk di beranda rumah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :