Cerpen - Kasem Tidak Gila

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Di atas bongkahan batu penangkal ombak, tubuh kurus itu berlabuh. Menatap sang surya yang perlahan menghilang, memerah di ufuk barat. Saban sore anak muda itu tampak bertengger di sana. Aktifitasnya ganjil di mata khalayak. Mulai jadi bahan gosip seisi kampung, mampu memusnahkan perbincangan politik yang biasanya laku keras di musim pilkada.

“Kamu ini kenapa Kas, seperti dukun santet yang menunggu wangsit saja. Itu perbuatan musyrik yang dilaknat Allah. Jangan buat malu keluarga,” hardik Mak-nya dengan wajah penuh nanar suatu malam.

Kemarahan perempuan yang dipanggil Umi oleh tetangga-tetanganya itu memang punya alasan kuat. Almarhum suaminya adalah seorang teungku kharismatik di kampung. Beliaulah yang sanggup mendamaikan pertikaian menahun dua bersaudara saudagar kaya di kampung nelayan itu. Bahkan aparat pemerintah yang ditugaskan kala itu tak mampu berbuat banyak dalam menangani sengketa mereka.


“Iya, saya mengerti, Mak,” jawab Kasem singkat sembari meraih sapu tangan di sudut meja makan.

Tidak. Sama seperti seluruh orang tua lainnya, Mak-nya merasa jawaban anaknya tidak memuaskan. Terkesan cuek.

Sebagai seorang ibu yang memiliki anak di usia yang masih rentan terjadinya gejolak jiwa, wajar saja bila serbuan pertanyaan terus meluncur ke anaknya. Harus diakui, semenjak suaminya meninggal dunia, tidak ada lagi orang yang berani bersuara lantang terhadap pergeseran moral warga. Judi kembali marak, lapak batu domino mulai terang-terangan digelar di poskamling, acara-acara kawinan di malam hari dan di keudee kuphi. Ia jadi berpikir, suaminya yang tidak sukses membimbing warga atau orang kampungnya sendiri yang kambuh penyakit lama. Sampai-sampai ada warganya yang mulai berani menukar agama, hanya karena bantuan sekardus Indomie.

“Jangan-jangan kamu tertular aliran sesat, ya?” selidik Umi dengan nada agak meninggi.

Mendengar itu, Kasem tersenyum kecil penuh makna. Dia paham Mak-nya berpikiran macam-macam. Maklum saja, beberapa waktu lalu sekelompok pemuda yang biasanya secara sembunyi-sembunyi di sudut kampung berpesta bakong ijo itu pernah mempermalukannya.

Kejadian bermula ketika Kasem seperti biasanya saban sore menikmati belaian angin sepoi-sepoi di bibir pantai. Tapi hari itu tak lazim, sekitar tempat favoritnya itu dibanjiri pengunjung. Warga kampung berduyun-duyun menyerbu pantai. Ada tradisi piasan tahunan uroe tulak bala.

Belum lama dia di sana, rokok filter yang bertengger di mulutnya baru terbakar setengah batang. Seorang perempuan muda datang mendekat.

“Mau juga dong difoto, Bang,” suara lembut memanja yang keluar dari bibir merekah itu membuyarkan konsentrasi imajinasinya.

“Oh, ya .ya,” ucap Kasem sembari mengambil kameranya dalam ransel yang tadi dibiarkan saja tergeletak di atas bongkahan batu penahan ombak.

Baru empat gambar berhasil diabadikan, tiba-tiba segerombolan pemuda datang menyerbu. Hanya hitungan detik, kerumunan manusia berwajah beringas itu telah melingkari keduanya. Wajah-wajah sangar penuh emosi seakan siap menerkam dan melempar mereka ke tungku api yang panas membara. Seketika terlintas di benaknya akan bernasib seperti domba yang dikerumuni singa buas, bersiap dicabik-cabik menunggu kematian menjemput. Lidahnya kelu, tak sempat berkata-kata untuk sekadar membela karena hujan pukulan lebih cepat mendarat di dagu dan perutnya. Auu, perih sekali.

“Nah, betulkan dugaan kita selama ini. Berkhalwat. Si Kasem brengsek ini telah mengotori kampung kita. Enyahkan si pengundang bala ini dari muka Bumi.” Hanya ucapan itu yang sempat terekam di telinga sebelum rambut gondrongnya menjadi botak acak.

“Mak, jangan risau, Kasem bukan lagi anak kecil. Usah hiraukan gosip murahan itu. Masih ingat kan, Mak, kejadian di hari tulak bala itu? Bagaimana traumanya adik sepupu Kasem, si Fatimah yang juga jadi korban fitnah mereka. Sampai sekarang dia nggak mau lagi ke rumah kita. Orang kita memang semakin aneh, Mak. Lihat saja itu Pak Mahmud dengan adiknya Bang Kumis, hanya karena beda pilihan partai politik, sampai-sampai tak lagi bertegur sapa,” ucap Kasem menjawab rasa penasaran Mak-nya yang dari tadi tak henti-hentinya menyemprotkan ribuan kata-kata ke arahnya.

“Aku tidak gila, Aku hanya ingin jadi diri sendiri yang merdeka. Aku ingin jadi seniman foto. Itu saja. Jangan curiga prasangka, karena aku sedikit berbeda.”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :