Petuah Tanah Selatan

LELAH menyusur Tanah Selatan, menyisir tebing curam yang tak lelah di hantam gelora samudera hindia telah membungkahkahkan arti purba tentang kesahajaan. Dikusut ramburt wira bergelantungan dawai-dawai kampung halaman tentang buah pala tak putus pupus sepanjang musim, menyeruak sengau harum durian, mengendus-ngendus terbawa angin yang turun dari lereng bebukitan sepanjang jalan kampung berkelok. Wahai, berurut kata yang terucap dari mulutmu, Wira mengisahkan tentang pedihnya perjalanan hari, singkatnya perjalanan waktu.

Di sudut kamar penginapan tua, Said yang juga kian menua, menyungging seulas senyum kecut ketika Wira bertanya untuk apa selamanya melingkar dalam kalut umpama. Saidpun berujar, karena hidup hanya sekali, maka bakti diri jangan pernah terhenti. Petuah itu menggulir sejuk dari mulut Said sesejuk angin gunung yang turun dilereng bukit depan penginapan.
Petuah Said petuah usang. Tetapi petuah kisahkan tentang damai, cinta, dan derai haru air mata bunda, yang ditinggal pergi anak-anak tercinta. Said kembali mengingatkan ,”Ini bumi, bumi selatan, kampung awalmu wahai Wira. Usahlah engkau larut terlena dialun pilu ombak samudera, membuai-buai usia di rimbun hutan pala. Engkau, Wira, kini saatmu dawaikan dunia kampungmu, sepanjang dawai yang merentang antara bintang ke bintang, dari akhir purnama ke awal penghujung fajar. Wira, dentingkan dawaimu semerdu gemersik dedaunan di kaki hutan leuser yang tak lelah mengirimkan semerbak wangi aneka harum alammu.”

Wira terhenyak. Said menguap. Hari hari di Tanah Selatan terasa kian pendek sekali. Sisa kenangan yang pernah mengurut-urut kesahajaan usia kanak-kanaknya telah menjeratnya dalam bimbang dunia. Ya, dunia Wira, dunia sekampung Wira, dunia Tanah Selatan.

“Jika benar debur ombak samudra itu adalah gemuruh pilu jiwa mudaku, adakah juga itu gemuruh pilu jiwa tuamu Said?”tanya Wira malu-malu. Said tercenung. Tatapannya kosong. Bibirnya gemetar.

“Jika benar debur ombak samudra itu adalah gemuruh pilu jiwa mudaku, adakah juga itu gemuruh pilu jiwa tuamu Said?”tanya Wira ragu-ragu.

Said menggeleng. Matanya memerah. Petuah yang selalu menyembur di mulutnya seakan pupus sirna hilang arti.

“Jadi?”
“Ah, sudahlah?”
“Lho, kok sudah?”s
“Karena memang sudah. Dan harus segera kita sudahkan.”
“Maksudnya.”
“Tak ada lagi maksud-maksud lagi. Kita cukupkan saja sampai di sini.”
“Kok, cukup?”

Said jadi berang. Tuanya jadi garang. Percakapan jadi pertentangan. Alam sejuk jadi panas. Tanah Selatan berkunang-kunang. Kamar penginapan mencair. Samudra mengering. Hutan tercukur. Cuaca kacau tak berbentuk. Orang-orang mengerang, mencerca segalanya.

Di sini, di Tanah Selatan, di kota teluk yang sepi-sepi penuh sahaja, siang dan malamnya menggeriap pelan sekali. Di sudut penginapan tua, Said yang tua mencekik-cekik Wira yang muda. Di pangkuan Said yang tua, Wira yang muda terlelap dicekoki beruntai-untai petuah yang tak pernah sudah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :