Binti, juga Banta

AWAN hitam berarak di langit diingin katak. Ini memang lagi musim hujan. Binti berlari dari rumah panggungnya  meraih pakaian di jemuran. Ia terengah-engah seperti penyuh menyeret kaki kanannya yang sejak dua tahun lumpuh.

Setelah merapikan pakaian di ruangan tamu, Binti kembali ke rangkang bamboo, duduk berselonjor. Percikan-percikan putih halus menoreh rambut yang tergurai panjang. Hitam lebat. Genangan air hujan mulai merayap ke sela-sela gundukan tanah lantai rumah. Perempuan berbibir sumbing itu tak bergeming. Ia terus merajut benang demi benang. Menyulam kopiah meukutop. Nampak beberapa utas benang merah, kuning, hitam, dan hijau tergeletak di alas rangkang. Juga beberapa potongan kain tetron, pula seutas benang sumbu.
Menjahit kopiah meukutop sejak tamat SD itu diajari Maknya. Dua tahun kemudian perempuan agung itu harus istirahat panjang menyusul sang Ayah. Sementara Buntu, abangnya, hilang tanpa jejak ketika konflik bersenjata Aceh. Kini, ia hidup bersama Banta, adiknya. Ia  menyulam kopiah meukutop saban hari untuk menyambung hidup. Sebulan Binti hanya bisa menyudahi satu kopiah meukutop. Hasil jahitannya itu ia jual ke toko souvenir Aceh, terkadang ada juga dipesan khusus. Satu kopiah dihargai paling mahal 100 ribu. Sungguh tak sebanding dengan iuran bulanan adiknya dan modal pembuatan kopiah. Tak jarang ia menjual ternakan untuk membeli bahan. Belum lagi untuk makan. Sering sekali dia mengosongkan  perut. Dibiarkan 24 jam cacing berkeroncong di lambungnya.

Angin kencang menyapu bercak-bercak ketombe di bahu Binti. Sejuta asa terlihat di bulat matanya, dan berkaca-kaca. Ia menewarang di hujan rintik-rintik hingga terbayang senyum kedua orangtuanya. Seketika kedua tangannya ingin memeluk mereka, tapi ia sadar hingga kedua tangannya kembali menusuk kain dengan jarum.

Dalam guyur rintik hujan, terlihat Banta berlari, masuk pekarangan rumah. Baju putih dan celana merahnya kering sebagian. Bulir-bulir bening menempel di wajah. Ia tetap ceria. Sampai-sampai terlihat gigi menguning tebal ketika tersenyum lebar. Tangan kanan menjinjing kresek hitam. “Ini ikan gabus kak, tadi dikasih bang Man.” Binti agak sangsi. Dia menegur Banta berkali-kali. “Lebih baik kita mati kelaparan daripada makan ikan hasil curian ini, dik!” hardik Binti namun suara itu tersekak di rongga hidungnya yang mancung.

Banta dengan langkah pelan masuk ke rumah. Guntur meletup di langit segala lapisan langit diiringi kilatan merah yang menjalar ke  dinding rumah mereka.  Dua ekor itik dan tiga ekor ayam milik Binti, sisa dari mangsaan biawak saban malam, berceloteh dalam kandang. Gemuruh riak di kali tepi rumahnya kian besar. Air mulai kuning kecoklatan, menghanyutkan kayu-kayu besar hasil tebangan liar dari rimba Tangse.

Dalam riak kegalauan Binti dan Banta, datang seorang lelaki pemesan kopiah. Lelaki itu menggenggam gagang payung berparasut kuning. Dia seperti baru pangkas rambut, potongan-potongan rambut hitam kecil berserakan di leher dan baju putihnya. Segera dia membentak. “Aku mau kawin lusa. Kok belum siap kopiahnya? Alahai nong!” Belum sempat lidah Binti bersilat, lelaki itu lekas pergi. Padahal pesanan lelaki itu sudah kelar. Tapi apa hendak dikata. Mendung di wajah Binti tiba. Setetes air mata berlari melalui lekukan hidung. Sungguh ia menghiba ibunda hadir ketika ia menangis, menyeka air mata lalu menghiburnya. Sementara Banta sedang apa entah, kayaknya ia tertidur pulas.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :