Menunggu Cut Bang

Aku terbangun dari bunga tidurku ketika mencium harum masakan dari ruang dapur. Aku melangkah menuju dapur, memastikan apa yang telah terjadi. Alangkah terkejutnya aku ketika Cut Bang telah berada di meja makan. Dia melemparkan senyuman. Tempe goreng, ikan asin, dan nasi putih telah terhampar di meja makan. Cut Bang menyambut hariku dengan ceria.

“Siapa yang masak, Cut Bang?” Aku bertanya penasaran padanya. “Aku,” jawab Cut Bang dengan senyuman. Aku berpikir, coba meraba apakah ini kenyataan atau hanya mimpi. Biasanya Cut Bang bangun pukul 8 pagi. Itu sebab Cut Bang sering ditinggal oleh nelayan-nelayan lain yang pergi melaut. Tapi hari ini, Cut Bang membawakan suasana berbeda dari sebelumnya.


Aku penasaran dengan sikap Cut Bang. Tapi, aku coba bersikap biasa saja di depannya. “Sejak kapan Cut Bang bisa masak?” tanyaku. “Setiap hari aku melihatmu masak, aku belajar darimu. Haramkah seorang suami memasak untuk istrinya? Makanlah, Dek Cut.”

Pikiranku tetap jadi mengambang. Istri seperti apakah aku yang membiarkan suami memasak sendiri buat serapan pagi, bahkan menyiapkan perbekalan sendiri untuk melaut?

“Aku juga sudah mencuci baju, menggosok baju, menguras bak kamar mandi, dan menyapu halaman. Kau istirahat saja. Biar kau tidak lelah, Dek Cut.”

“Jangan seperti itu, Cut Bang, aku ingin seperti Aisyah yang melayani Rasulullah sepenuh hati. Hanya itu mauku Cut Bang.”

“Sudahlah, Aisyah melayani Rasulullah dengan baik, karena dia nabi pesuruh Allah, sedangkan aku? Aku harus bisa melakukan semua, asalkan bayi yang kau kandung sehat, Dek Cut.”

Aku diam dengan mulut menganga. Aku merasa bersalah membiarkan Cut Bang melakukan yang seharusnya aku lakukan. Entah mengapa pula dia menjadi sangat bijak. Istri mana yang tidak senang jika punya suami semacam itu?

“Makanlah, Dek Cut. Biar anak dalam kandunganmu sehat.”

“Terima kasih, Cut Bang. Cukuplah Cut Bang melakukan ini sekali saja. Besok jangan lakukan lagi.”

“Sudahlah, aku pergi melaut dulu.”

Aku mencium tangannya. Dia pergi dengan perbekalan yang ia siapkan sendiri. Cut Bang mencium keningku mesra seraya pergi melaut.

“Hati-hati,” kataku sembari memandanginya dengan mulut yang menganga. Aku khawatir akan keadaannya. Dia tersenyum sembari melangkahkan kakinya meninggalkan tubuhku. Cut Bang rela melakukan apa saja terhadap bayi yang telah aku kandung ini.

***

Malam telah tiba. Hatiku teriris. Menunggu Cut Bang di depan pintu rumahku. Satu per satu nelayan telah pulang dengan hasil tangkapan tidak seberapa. Aku mendengar ombak laut sedang tidak senang. Aku perhatikan wajah-wajah mereka. Aku sedang mencari wajah suamiku, Cut Bang. Namun, tidak aku temukan suara itu.

Desiran angin menusuk pori-pori kulitku. Aku mengusap-usap perutku. Aku mengandung anak pertamaku dengan Cut Bang. Anakku dalam kandungan pasti juga menunggu kepulangan ayahnya.

Langit mulai menghitam siap memuntahkan air hujan. Ubun-ubunku terasa dingin. Bibirku kering terkatup. Akhirnya aku melangkah menuju pantai, menunggu kepulangan Cut Bang. Aku tidak sabar menunggunya di pintu rumah, walaupun Cut Bang pernah berpesan agar aku menunggunya di rumah saja.

Dari jauh aku melihat sebuah perahu merapat ke pantai. Aku bahagia. Itu pasti perahu Cut Bang, pikirku. Perahu itu semakin merapat, tapi ternyata bukanlah perahu Cut Bang. Aku mulai khawatir.

Aku melihat perahu layar kembali dari jauh. Semakin lama merapat ke pantai. Inilah kebahagiaan. Cut Bang pasti pulang. Kekecewaan muncul kembali karena nelayan yang berada di perahu tersebut tidak ada Cut Bang. Aku bertanya satu per satu pada mereka.

“Di mana suamiku?”

“Mereka diam.”

Aku tidak menyerah. Aku bertanya kesana-kemari. Cut Bang pasti pulang, pikirku. Namun tidak seorang pun mengatakan dimana Cut Bang. Aku pasrah. Ketika aku bertanya pada mereka tentang Cut Bang, mulut para nelayan itu terkatup diam.

Pelan-pelan seseorang berwajah kusam menghampiri tubuhku.

“Pulanglah, Cut.”

“Tidak Pang Laot!”

“Pulanglah.”

“Dimana Cut Bang, Pang Laot?” Aku berteriak kuat. Semua diam. Pandangan menuju tubuhku dengan kesedihan.

Pang Laot diam. Aku kesal.

“Di mana suamiku?”

“Maafkan kami, tiba-tiba ada ombak besar menghantam perahu suamimu. Kami tidak sanggup menyelamatkannya.”

Pupus sudah, aku mengelus perutku, mengabarkan pada bayiku bahwa ayahnya baik-baik saja. Tiba-tiba setetes air hangat terbit dari kelopak mataku. Aku menangis. Pasir putih saksi air mataku yang perih. Namun aku tahu, Allah akan mengembalikan suamiku, Cut Bang, sebab dia telah berjanji akan pulang menemuiku. Dia telah berjanji untuk selalu di sampingku.

sumber:serambi

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :