Cerpen Meu urup

Tawaran meu-urup justru datang ketika aku nyaris melupakan tradisi itu akibat zaman yang sudah berubah dan perubahan itu akhirnya sampai juga pada tatacara penggarapan sawah. Warga tani sudah meninggalkan kerbau dan lembu untuk membajak serta menggantikannya dengan traktor. Tenaga manusia sudah digantikan mesin untuk semua jenis pekerjaan. Dulu, petani merontokkan bulir-bulir padi dari tangkainya dengan cara menginjak-injak. Kami menyebutnya ceumeulho yang kini tidak terlihat lagi.


Perubahan itu akhirnya menggilas budaya meu-urup saat menggarap sawah. Perlahan tapi pasti, tradisi itu tidak lagi menjadi tradisi, tetapi hanya menjadi kenangan yang sering dibicarakan para petani tua, kakek-nenek atau ayah-ibu kami. Pekerjaan kian sulit dan penggangguran membengkak, tetapi semakin sedikit anak muda yang mau menjadi petani sehingga sulit mendapat orang untuk diajak meu-urup. Padahal, tradisi itu dilandasi semangat kebersamaan dan persaudaraan. Misalnya, keluargaku yang memiliki empat anak perempuan ditambah seorang ibu, membantu menanam padi milik keluarga lain yang hanya memiliki satu anak perempuan dan seorang ibu. Maka keluarga itu berutang lima pekerja pada kami. Tiba waktunya kami menanam padi, mereka wajib menyediakan lima pekerja bagi kami. Tradisi itu berlanjut ketika tiba masa meumpoe atau membersihkan ilalang, memanen, sampai mengangkut padi ke lumbung yang jauh dari areal persawahan. Semakin jauh sawah dari perkampungan, semakin banyak orang yang dibutuhkan untuk mengangkut padi. Makanya lahan dekat kampung mahal harganya.

Keadaan itu membuat petani mengupah semua pekerjaan, mulai dari menanam sampai memanen hingga membutuhkan banyak modal untuk menggarap lahan. Saat musim panen tiba, hal pertama yang dilakukan para petani adalah menjual hasil panen untuk membayar utang.

Siapa yang mau jadi petani dalam keadaan demikian. Bekerja di bawah panas dan lumpur, pupuk susah diperoleh meskipun pabriknya hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari kampung. Belum lagi hasil pertanian tak sepadan dengan barang lain. Bila seluruh hasil panen dari sepetak sawah dijual, hanya cukup untuk membeli sebuah telepon genggam.

Tradisi meu-urup hilang seiring dengan redupnya semangat menjadi petani. Bahkan banyak petani menjual sawahnya dan uangnya digunakan untuk menyogok agar anaknya diterima jadi pegawai negeri, polisi, atau tentara.

Aku bersyukur karena tiga petak sawah milik keluarga masih bisa digarap karena kami tidak menjualnya untuk kebutuhan apapun. Tak perlu menyogok karena aku tak berminat menjadi pegawai, apalagi polisi. Kakak yang kini menjadi guru, lulus murni karena dulu guru matematika memang sangat dibutuhkan. Dialah yang membantuku menyelesaikan kuliah hingga menjadi sarjana teknik sejak setengah tahun lalu kendati masih menganggur.

Sambil menunggu panggilan dari puluhan surat lamaran kerja yang kulayangkan, aku membantu orang tua menggarap sawah. Orang sekampung tertawa melihatku turun ke sawah. “Kuliah sampai ke Jeddah, akhirnya kembali ke sawah,” begitu sindir mereka.

Sejak itulah aku dipanggil Sarjana Tani, sebutan sinis yang seolah menjadi kepanjangan dari Sarjani, nama asliku. Meski dipanggil dengan maksud mengejek, aku menanggapinya dengan senyuman. Tak perlu marah atau tersinggung karena menurutku sarjana tani lebih mulia daripada sarjana maling.

Saat menggarap sawah itulah aku dan petani lainnya diajak meu-urup oleh Adlin, sahabatku yang putus sekolah tapi kini menjadi pemuda paling kaya di kampung kami. Aku setuju karena selain membuat pekerjaan menjadi mudah, tradisi meu-urup harus dilestarikan karena di dalamnya mengandung semangat kebersamaan. Aku yang sudah lama meninggalkan kampung karena kuliah di ibukota provinsi, bisa berbaur dan akrab dengan anak muda yang baru tumbuh saat kutinggalkan. Keakraban bisa terjalin di antara kami. Dan itu terjadi ketika kami sedang menggarap sawah yang memberi kehidupan bagi kami sekeluarga, bukan pada saat kami mengisap ganja.

Adlin mengingatkan siapa pun yang bersedia meu-urup diminta berkumpul di rumahnya. Seluruh pekerja akan diangkut dengan mobilnya.“Ke sawah? Naik mobil?”

Adlin tertawa. “Siapa yang mau ke sawah?” Beberapa anak muda lain ikut tertawa melihat kebingunganku. Adlin mengangkat kaca mata hitamnya dan menyantelkannya di atas kepala seperti gaya seorang selebritis. Kemudian dia menepuk-nepuk bahuku dengan lembut. “Kita meu-urup untuk memanen ganja di kebunku di hutan. Minggu depan, mungkin ganja milik Sadeli sudah bisa dipanen. Aku tidak mungkin bekerja di ladangnya. Jadi, aku kirim kamu saja sebagai pengganti. Bisa begitu, Sadeli?”

Anak muda yang dipanggil Sadeli itu mengangguk sambil tersenyum. Tak ada beban di wajahnya, seolah dia baru saja diajak memanen padi di sawah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :