Bapak yang Tersenyum Saat Mendongeng

Bagai memasuki lelorong waktu, wajah-wajah itu kembali menguraikan kisah demi kisah, mengundang ingatan lama, menerobos sekat kealpaan, dan menjelma menjadi semacam tugu peringatan. Malam ini dan hari-hari berikutnya, mungkin aku akan terus mengingatnya. Mengingat pernyataan-pernyataan yang santun dari seorang tokoh muda lulusan Universitas Leiden itu, seorang pembicara  yang terkesan sangat cakap dalam hal beretorika ?di podium di teras rumah yang dialihfungsikan sebagai panggung itu.

“Museum HAM ini kita dirikan dengan maksud baik, bukan untuk mengungkit luka lama dan kemudian kita akan mengingat-ingatnya kembali lantas pada suatu saat. apakah kita. apakah anak-anak cucu kita lalu berusaha melakukan balas dendam kepada kaum yang kita ingat saat ini sebagai penindas. Meseum HAM ini bukan untuk mereka yang menang dan tersenyum-senyum, bukan juga bagi mereka yang kalah-murung-muram dan sakit hati. Museum HAM yang kita dirikan ini sebagai pelajaran bagi semua kita bahwa baik menang, baik kalah, harus diingat baik-baik. rakyatlah yang senantiasa sebagai korban di mana pun konflik Di Jerman, pendirian Museum HAM dimaksudkan agar peristiwa yang dahulu tidak dialami lagi oleh anak cucu mereka. Juga di Afrika Selatan, dan beberapa tempat lainnya di dunia ini. Kita, malam ini, sepakat bahwa kepahitan yang lalu tidak boleh lagi terulang kembali oleh generasi kita yang hidup pada masa yang akan datang. Jangan ada lagi air mata karena alasan ketidakadilan, dan alasan-alasan lainnya. Jangan ada kemunafikan sebagaimana hari-hari kemarin, yaitu setelah memperoleh  kekuasaan, orang-orang yang dahulunya menuntut keadilan maka kemudian mereka yang berganti wujudnya menjadi tiran berikutnya. Inilah makhluk terkutuk yang harus kita cegah kemunculannya sejak sekarang.”

Tepuk tangan bergemuruh. Para undangan yang baru saja selesai menonton film dokumenter yang dibuat lebih sepuluh tahun lalu itu pun berhamburan ke dalam rumah. Dan memang sebagaimana yang disampaikan Ketua Panitia Peresmian Museum HAM, di rumah berlantai dua itu tak ada foto-foto penuh darah dari mereka yang terampas hidupnya. Hanya foto-foto dalam format pas foto: wajah dan sebatas dada. Selanjutnya berisikan nama, alamat, dan hilang pada tahun berapa. Kubaca beberapa paragraf mengenai mereka yang direnggutkan dari alam fana ini: dua guru besar pada dua universitas, rakyat biasa, sipil yang dituduh pemberontak, pegawai negeri, polisi, tentara.

Nafasku sesak. Mataku jadi perih. Dan sesuatu yang panas naik ke kerongkongan. Segera kuhindari tatapan orang-orang yang beralih tempat antara foto yang satu ke foto yang lain. Pada panitia yang kebetulan berdiri di dekatku kutanyakan kamar kecil. Laki-laki kurus bermata cekung itu menunjukkan tempatnya dan aku segera ke sana.

Aku yakin foto bapakku tidak berada di dinding-dinding itu. Beberapa foto yang kulihat, mereka yang tertembak orang tak dikenal atau hilang entah ke mana, umumnya berangka tahun 2000 sampai tahun 2004. Itu catatanku. Dua. Yang terbunuh dan yang hilang. Dan andai foto bapakku ada di sana, bapakku yang guru desa itu termasuk mereka-mereka yang terbunuh.

Bapakku seorang guru yang telah mengabdikan dirinya semenjak awal kemerdekaan bangsa besar ini. Seorang guru yang kemudian ditemukan menjadi mayat jauh dari kampung halamannya. Peluru menghancurkan kepalanya. Ia ditembak dari jarak dekat. Otak berhamburan keluar. Matanya, saat dibawa pulang ke rumah sore harinya, masih mendelik. Tapi hanya tinggal satu, hanya mata kanan. Dan mata itu tak bisa ditutup lagi. Kedua lengannya dipatahkan. Bahkan tulang-tulangnya yang putih, yang di beberapa tempat tak lagi terbalut tulang, masih menyisakan darah yang sudah membeku. Dua hari setelah bapak tiada, ada yang bercerita kepada ibu bahwa saat ditemukan dini hari, kedua lengan bapak masih terikat ke belakang.

Kala itu aku masih kelas satu SD. Aku belum dapat membayangkan keadaan bapak ketika tubuhnya disakiti sedemikian rupa. Mungkin ia telah berulang kali memohon ampun atas apa yang dituduhkan padanya sehingga menyakiti hati mereka. Mungkin juga bapak tidak bersikap rendah seperti itu. Mungkin beliau bersikap gagah dengan berkata, “Mau bunuh silakan bunuh, karena apa yang kukatakan, apa yang telah kulakukan adalah suara nuraniku.”

Baru di kemudian hari, selepas aku SMP, ibu bercerita mengenai tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada bapak. Padahal bapak hanya mendongeng di kelas, sebagai selingan saat ia mengajar, berkelakar disela-sela rasa kantuk yang menyerang murid-muridnya.

“Anak-anakku lebih takut kepada manusia ataukah kepada Tuhan?” tanya beliau yang segera disahut serentak murid-muridnya, “Lebih takut pada Tuhan!”

“Tapi ketahuilah anak-anakku, zaman sekarang banyak orang yang lebih takut pada manusia daripada Tuhan-Nya.” Beliau melihat mata kecil mereka yang tentunya sama sekali tak mengerti mengenai apa yang diucapkannya, lalu beliau tersenyum arif dan paham mengenai usia mereka yang masih belum memungkinkan menyerap pengetahuan tentang keadaan sekeliling untuk membuka mata hati.

Setelah bapak tiada, dua abangku pindah dari kota kecil kami karena mereka tidak tahan lagi pada orang-orang yang mengatai-ngatai bapak sebagai pemberontak. Mereka dibawa Abucek, bersekolah dan tinggal di kota lain di lain kabupaten yang menurutku sangat jauh saat itu. Pun satu-satunya kakak perempuanku yang tak lama kemudian juga diboyong Makcek, tapi berbeda kota dengan dua abangku.

Ibu kemudian berjualan mie caluek setelah gaji bapak ditahan. Orang-orang memanggilku G, singkatan dari GPK. Dan ibu menangis karenanya. Tapi, alhamdulillah, semua itu sudah berlalu. Ibu pun kini telah tiada.

Malam ini, dalam kesendirianku di teras rumah ini, di tengah-tengah orang-orang yang asyik berbicara mengenai HAM sambil minum kopi dan teh, kembali teringat olehku wajah bapak yang tersenyum saat mendongeng.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :