Ayah Merindukan Mekkah

Malam ini rumah ramai. Seperti ada acara syukuran besar-besaran. Geuchik, tetangga dekat dan tetangga jauh bertandang ke rumah. Mengucapkan selamat atas kepulangan ayah dari Tanah Suci, Mekkah. Ada perasaan bangga. Depan nama ayah di beri gelar haji. Sungguh indah, tapi bukan untuk disombongkan.

“Semoga menjadi haji yang mabrur,” setiap orang berkata sambil menyalami ayah. Kecuali kaum hawa. Ayah tak suka kalau ada kaum hawa menyalami tangannya tanpa alas. Ayah taat akan ajaran Islam.


Semenjak emak wafat bersama air gelombang tsunami, aku dan ayah sangat terpukul. Sangat sakit, bagai tersayat sembilu amat dalam. “Tapi itu takdir Allah, kita tak mampu berbuat,” kata itu yang selalu diucapkan ayah bila aku menangis dan meratap atas kepergian emak.

Dahulu, ayah sangat senang membaca riwayat-riwayat para nabi. Tak pernah ayah bercerita tentang dongeng. Sewaktu kecil, bila ayah bercerita kisah Nabi Muhammad, aku mendengar seksama. Tapi, ada bening-bening air mengalir dari kornea mataku. Betapa Muhammad sewaktu kecil ditinggalkan orang-orang yang dia sayangi. Pertama, ayah Muhammad wafat. Menyusul kemudian ibunya, lalu kakeknya. “Kau harus belajar dari perjuangan hidup Muhammad,” pesan ayah selalu padaku.

Perjuangan hidup Muhammad memang sangat keras dalam menyebarkan agama Allah yang benar. Aku tahu semua dari ayah.

“Bolehkah aku pacaran seperti teman-temanku semua, ayah?” aku bertanya pada ayah. Aku memang lebih terbuka padanya semenjak ibuku tiada. Dia ayah, guru, atau kadang jadi sahabat di lain kesempatan.

“Kita hanya sebutir debu di depan Allah. Bagaimana kalau debu itu tertiup angin atas kuasa Allah?” jawab ayah padaku.

Ayah kembali mengatakan bahwa hidup di zaman ‘edan’ ini memang banyak rintangan, terutama bagi remaja. Muda-mudi sudah terbiasa berpacaran. Orang tua tak peduli tingkah laku anak. Kezaliman ada di mana-mana. Meneror orang, melemparkan bom, seakan menjadi sunnah. Timbul kebanggaan setelah berbuat dosa. Namun, kehadiran ‘setan-setan’ itu harus disyukuri, karena justru menjadi penguji terhadap keimanan seseorang. “Lalu, bolehkan aku ber-facebookan, twitter-an, ayah.” Ayah merenung sejenak, lalu berucap, “Tak ada yang salah dengan teknologi, nak. Teknologi punya dua sisi, negatif dan positif. Gunakanlah untuk kepentingan positif. Jika kamu berpegang pada agama Allah, kamu tidak akan tersesat, selamanya, dalam hal apa pun.”

Sungguh, betapa beruntungnya aku menjadi anak dari lelaki berhati emas ini, ayahku. Sekarang para tamu beranjak pergi meninggalkan rumah kami. Hingga aku berdua bersama ayah. Inilah waktu yang kutunggu. Ayah bercerita kondisi negara Saudi Arabia, indahnya Masjidil Al-Haram di Mekkah. Pun berapa ukuran kakbah dan bagaimana harumnya hajar aswad. Aku ingin mendengar cerita semua dari bibir ayahku.

“Ayah sangat rindu pada Mekkah, nak. Indah sekali kota itu. Tempat Nabi Muhammad dilahirkan. Air suci bening yang bernama zam-zam di dekat kakbah sungguh indah nak.

Maukah kau mendengarkan cerita ayah malam ini?” ayah bertanya padaku.

“Sewaktu di Mekkah, tas ayah dicuri seseorang.” “Bukankah tanah Mekkah itu suci? Kenapa ada yang mencuri, ayah?” “Sekarang kau tahu kenapa ada suatu daerah yang mayoritas Islam, tapi subur dengan pohon-pohon terlarang?” Aku hanya merenung-renung pertanyaannya.

“Allah memang sengaja memberikan pengujian bagi kita. Tanah Islam, tapi Allah menyuburkan tumbuhan-tumbuhan haram di tanahnya. Keimanan kita diuji dengan tumbuhan-tumbuhan haram itu. Apakah kita menggunakan tumbuhan terlarang itu. Begitu juga ketika ayah di Mekkah. Allah sedang menguji ke-imanan ayah ketika sedang beribadah haji. Nonmuslim menganggap kita menyembah batu hitam dari seluruh penjuru. Padahal, batu hitam adalah simbol persatuan umat islam beribadah ke arah yang sama,”

Sungguh, setiap perkataan ayah selalu terbayang dalam ingatanku. Malam ini ayah melampiaskan rindunya padaku dengan bercerita. Ayah bercerita proses-proses ibadah yang dia laksanakan di Tanah Suci.

Ayah bercerita panjang. Padahal, aku tahu ayah kelelahan sesudah melaksanakan ibadah. Pun aku tahu ayah sedang sakit. Wajahnya pucat. Tapi dia terus bercerita tanpa berpikir meninggalkan sebagian cerita untuk hari esok. Pelan-pelan suara ayah hilang. Kornea mataku tertutup. Aku pura-pura tertidur agar ayah berhenti bercerita. Kasihan ayah. Dia pasti kelelahan.

Azan Subuh berkumandang. Aku beranjak ke kamar ayah untuk membangunkannya Shalat Subuh. Tiba-tiba aku melihat ayah berselimut dengan pakaian ihramnya. Pelan-pelan aku mendekatinya. Dia diam dan kaku, tapi tersenyum indah. Wajahnya pucat. Nadinya berhenti. Tak ada tanda-tanda kehidupan di wajahnya. Tak kusangka ayah bercerita tentang ibadah haji. Ternyata, itulah cerita dan nasihat ayah yang terakhir sebelum dipanggil Ilahi.

1 komentar:

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :