Makam

Walikota Agus Setiyarto memijit kepalanya yang berdenyut-denyut dengan sebelah tangan. Berkas-berkas laporan dalam stopmaf beraneka ragam bentuk dan warna dibiarkannya terserak porak di atas meja. Baru satu tahun ia menjabat sebagai Walikota, beragam masalah berbondong-bondong mengerubungi bak lalat pada ikan asin yang tengah dijemur di terik siang.

Dulu ia membayangkan bahwasanya jabatan Walikota adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Sebagai orang nomor satu yang memimpin sebuah kota, ia tak ubahnya seperti raja kecil dengan kekuasaan tak terkira menginggat otoritas otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat. Demi iming-iming itu, ia rela meninggalkan dunia bisnis yang telah membesarkan namanya untuk terjun ke dunia politik.

Orang yang punya andil besar mencemplungkannya ke dunia politik adalah seorang pengurus partai yang juga temannya semasa kuliah dulu. Pada mulanya ia menolak mentah-mentah tawaran menjadi kandidat calon Walikota, tapi entah kenapa istrinya yang biasanya hanya bisa dandan ke salon dan shopping ke mal mendadak ikut antusias mendorong-dorongnya mencalonkan diri sebagai Walikota.

Sangat mengherankan memang melihat wanita yang selama dinikahinya bisa dibilang berlimpahan materi, namun masih merasa belum cukup hingga ngotot menginginkan jabatan Walikota. “Mengapa Mama ngotot sekali supaya Papa jadi Walikota? Asal Mama tahu saja penghasilan Papa sebagai pengusaha jauh lebih besar dibanding gaji Walikota beserta tunjangannya,” tanyanya kala itu pada istrinya.

“Papa . setiap wanita di masa kecilnya pasti pernah menghayalkan mendapat pasangan seorang pangeran ataupun raja. Mama juga seperti itu, Pa,” jawab istrinya seraya bersandar manja di bahu suaminya.

***

“Rencana makam bertingkat ditolak mentah-mentah oleh masyarkat, Pak!” lapor Kepala Badan Pertanahan Kota dalam rapat yang membahas tentang pengadaan tanah makam bagi masyarakat. Walikota yang dilapori demikian hanya menanggapi dengan deheman.

“Lalu?” tanya Walikota setelah sekian menit diam dalam perenungannya.

“Mereka masyarakat tradisonal jadi belum dapat menerima inovasi di bidang pemakaman, Pak. Sepertinya kita terpaksa menyiapkan lahan pemakaman baru yang lebih luas karena hampir semua makam di kota ini sudah penuh,” seloroh salah seorang stafnya.

“Pembebasan lahan membutuhkan dana yang sangat besar. Terlebih dalam kota sudah tak ada lahan potensial untuk makam. Sekiranya kita harus membeli lahan dari luar daerah, itu pun bukan hal yang mudah dan murah,” imbuh Kepala Badan Pertanahan Kota. Lagi-lagi Walikota terdiam dengan laporan yang diberikan padanya, bukan acuh namun dalam kepalanya tengah bergelut sebuah perdebatan hebat.

Tanah-tanah telah disulap tangan pembangunan menjadi mal, area parkir, perumahan hingga lapangan golf. Tidak terkecuali tanah makam, tidak sedikit yang diubah menjadi sekolahan, rumah sakit dan sarana umum lain. Tentu saja hal ini berdampak pada makin sempitnya tanah pemakaman. Tiap hari bahkan jam atau mungkin menit ada orang meninggal yang harus dikuburkan dengan segera sementara di sisi lain makam-makam tua dikeramatkan, tak boleh diganggu gugat.

“Jangan gunakan hatimu ketika berkuasa,” nasihat seorang kawannya terngiang di gendang telinga Walikota. Beberapa jenak, ia menapak tilas jejak hidupnya selama menjabat sebagai Walikota. Jiwanya memang bisnis namun ia selalu menurutkan hati nurani kemanusiannya. Dari itu semua ia tak mendapatkan apa-apa kecuali penganiayaan terhadap dirinya sendiri. Ya, ia merasa teraniaya setelah menjabat sebagai Walikota. Bayangan keindahan yang dulu ditawarkan padanya seolah hanya fatamorgana. Pada nyatanya setiap waktu ia hanya dihadapkan pada masalah dan masalah.

Tak ada cara lain lagi. Ia harus mengeluarkan keputusan tegas, rasional tanpa mengindahkan hati. Ini semua demi kelangsungan kotanya. Demi kelangsungan makhluk-makhluk yang masih bernyawa. Harga harus dibayar dengan harga. Itulah kesimpulan yang ditariknya dari sebuah perdebatan panjang dalam kepalanya.

“Oke, saya sudah putuskan,” ujar Walikota sejurus kemudian. Orang-orang yang hadir dalam rapat itu mendongakkan kepala.
“Tembuskan keputusan ini pada seluruh satuan kerja yang ada!” perintah Walikota setelah keputusan itu terpindai dalam selembar kertas.

“Baik, Pak!” serempak seluruh jajarannya menjawab.

Sejak keputusan Walikota dikeluarkan, perlahan-lahan mulai muncul chaos. Masyarakat kelas menengah ke bawah bergolak, menentang kapitalisasi dalam pelayanan pemakaman yang kini dibawah komando pemerintah daerah.

Setiap nyawa yang melayang, dinas pemakaman menuntut biaya sekian puluh juta rupiah untuk urusan penguburannya. Terang saja hal itu sangat memberatkan rakyat tidak mampu. Tak ada uang, tak ada pemakaman. Karena ketiadaan uang, rakyat jelata berinisiatif menguburkan mayat sanak keluarganya di tanah mereka sendiri. Sementara yang tidak punya tanah, terpaksa melarungkan jenasah di sungai atau di laut.

***

“Konon ini makam seorang Walikota,” ujar salah seorang gembel yang sudah lama mendiami makam. Dulunya kompleks pemakaman itu merupakan sebuah area pemakaman elite. Orang-orang yang dikebumikan di situ adalah orang-orang penting pada zamannya.

“Walikota? Kita bisa kualat mendiami makam ini. Aku pernah dengar bahwa pemimpin adalah titisan Tuhan di dunia,” timpal gembel kedua.

“Bukankah Tuhan sayang pada orang-orang miskin seperti kita? Kurasa Tuhan tidak marah kita mendiami makam ini,” sahut gembel ketiga.

“Aku setuju. Sayup-sayup pernah aku mendengar bahwa orang-orang seperti kita seharusnya dipeliharan oleh Negara. Kurasa tidak seharusnya Satpol PP mengusir dan menggusur kita dari sini karena ini adalah makam Walikota, tempat kita meminta perlindungan,” kata gembel pertama.

“Benarkah ada kalimat yang menyatakan demikian? Aku tak pernah mengetahuinya,” ucap gembel kedua sambil menggaruk pipinya.

“Kata mantan majikanku, kalimat itu tercantum dalam sebuah buku tua. Tidak terlalu tua sebenarnya, hanya saja buku itu telah diinjak-injak sejak lama bahkan oleh orang yang menyusunnya sendiri,” kata gembel pertama.

“Buku apa itu?” tanya gembel ketiga.

“Kalau tidak salah namanya Undang-Undang,” jawab gembel pertama, agak ragu.

“Kedengarannya seperti nama sebuah makanan,” cetus gembel kedua.

“Aku juga sempat berpikir seperti itu. Ah, sudahlah ngomongin makanan perutku jadi makin brutal. Sudah dua hari, aku tidak makan.,” kata gembel ketiga.

“Jadi tidak masalah bukan kita berada di sini?” tanya gembel kedua memastikan.

“Siapa peduli? Tak ada tempat lain buat kita dan tak ada yang peduli dengan keberadaan kita,” pungkas gembel ketiga disusul anggukan dari teman-temannya. Tak Berselang lama, mereka mengorek tanah, mencari sisa-sisa makanan yang mungkin masih tertinggal.

Kemewahan dari kompleks pemakaman elite itu tinggalah cerita. Dari waktu ke waktu makam itu terjarah oleh rakyat jelata. Tercabik bagian per bagian hingga makam Walikota tak menyisakan apa-apa. Bahkan tulang belulangnya saja telah musnah. Tulang belulang terakhir dari jasad Walikota telah dicukil orang untuk membuat sup tulang satu hari yang lalu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :