Bayang-bayang Tragedi

Dia selalu memandang dengan mata menerawang, meskipun sedang berbicara langsung dengan orang lain. Dalam matanya terpancar kesedihan, ingatan akan masa lalu, kerinduan akan seseorang yang bercampur menjadi satu. Aku terkadang mengobrol dengannya ketika kami sebagai sesama ibu rumah tangga berjalan-jalan sore di kompleks perumahan kami sambil mengawasi anak-anak balita masing-masing

Dia sebenarnya cantik dengan hidung mancung dan mata lebar terpasang dengan baik pada wajah Acehnya. Di kota ini aku jarang menemui orang dari negeri di ujung Pulau Sumatra itu. Dia tetangga baru yang pindah satu bulan ini. Suaminya sering pindah tugas seperti suamiku.


Suatu sore aku bertemu lagi dengannya. Aku tersenyum sebagai bentuk sapaan yang lazim kami gunakan. “Lama nggak kelihatan?” katanya. “Iya, anakku yang kecil lagi demam. Kayaknya mau kena flu,” jawabku. “Memang lagi musim. Anak saya juga kena minggu lalu. Alhamdulillah, sekarang sudah sembuh.”

Aku penasaran dengan asal-usulnya. Aku pun bertanya, “Ayuk sebenarnya asalnya mana?” Aku memanggilnya Ayuk, yang biasa digunakan untuk menyapa wanita yang sedikit lebih tua dalam bahasa Jambi.

“Aceh.”

“Wah, jauh ya. Ke sini ikut dinas suami, ya?”

“Iya.” “Saya juga bentar lagi mau pindah ke sana, ke Lhokseumawe, ikut suami juga.”

“Wah, saya sudah lama nggak ke sana. Kangen rasanya.”

Obrolan berlanjut ke cerita tentang keluarganya. Dia dulu gadis yang tinggal tak jauh dari Masjid Agung terbesar di Banda Aceh. Lalu, ia menceritakan keluarganya dengan menerawang seperti yang biasa dia lakukan. Ayah, ibu, kakak, dan satu adiknya hilang tersapu ombak tsunami 2004 silam.

Kala itu bulan Desember 2004. Ia masih remaja SMU yang suka kelayapan ke rumah kawan. Ia sedang berada di rumah kawannya tak jauh dari rumahnya. Tiada firasat apa pun. Ia malah sedang merencanakan jalan-jalan ke pantai satu kelas. Tak dinyana, tiba-tiba Bumi berguncang. Tapi itu tidak terlalu merisaukannya, sebab keadaan di sekitarnya baik-baik saja. Namun yang terjadi beberapa waktu setelah itu adalah yang terdahsyat. Tiba-tiba saja orang-orang berlarian dan berteriak minta tolong. Ada yang ngebut dengan motornya, ada yang dengan mobil—tapi malah lebih susah karena macet--ada yang seadanya mengandalkan dua kakinya.

Ia ikut panik. Segera keluarga kawan tempatnya menginap merenggut tangannya dan mengajaknya pergi secepatnya ke atas bukit, mumpung gelombang penyapu masih jauh. Ia tak ragu lagi mengekor kawannya meskipun dalam pikirannya berkecamuk bayangan ayah, bunda, kakak, dan adik-adiknya di rumah. Tapi, sudahlah, percuma saja kalau ia kembali ke rumah. Waktu tidak mengizinkannya bertemu, karena tsunami akan segera menghalanginya dulu sebelum bertemu keluarganya.

Tak terasa air matanya meleleh di pipinya, dengan pandangan menerawang itu. Aku hanya diam, tak tahu berkata apa, karena begitu tragis cerita kehidupannya. Tak kusangka aku akan bertemu langsung dengan orang yang mengalami bencana dahsyat itu. Dan seluruh keluarganya hilang, kecuali salah satu adiknya yang ternyata waktu itu juga sedang tidak di rumahnya. Sang adik selamat.

“Saya tidak bisa membayangkan jika saya mengalaminya, Yuk,” kataku. Ia hanya tersenyum kecil menanggapi perkataanku. Setelah itu kami berpisah menuju rumah masing-masing karena azan Maghrib berkumandang.

Kini aku paham bagaimana rupa orang yang terkena bencana dahsyat tsunami. Yang aku lihat peristiwa memilukan sedalam itu tak pernah bisa lepas dari ingatannya. Mungkin dari ia bangun tidur di pagi hari sampai tidur lagi malam harinya. Seperti parasit yang menempel di otak kecil belakang kepalanya. Dia terus mengingatkannya setiap saat. Bahkan setelah tujuh tahun berlalu.

Sepertinya sebagian jiwanya telah hilang tersapu ombak. Sebagian dirinya terbawa bersama keluarganya yang hilang entah ke mana. Tak pernah ditemukan. Untunglah ia menemukan belahan jiwa yang mengerti dirinya, meskipun suaminya bukan orang Aceh. Aku juga sebenarnya terkadang heran, bagaimana bisa suaminya tertarik dengan orang yang kalau berbicara sering menerawang matanya, seolah-olah lawan bicaranya tidak ada di depannya. Mungkin juga, dia tidak selalu begitu. Mungkin kadang mereka menemukan chemistry yang bisa menyisihkan sejenak ingatan tragedi itu. Namun, bagaimanapun juga suaminya pasti sabar sekali menerima orang dengan beban tragedi seberat itu.

Satu saat aku menemani anakku berjalan-jalan sore seperti biasa, kulihat dua anak si mata menerawang itu sedang bermain. Segera anak-anakku bergabung dengan mereka. Aku bertanya pada si sulung yang berusia lima tahun, “Mana mama?” Anak laki-laki kecil itu hanya terdiam dan memandangku dengan ragu. “Mana mamanya? Biasanya sama mama.” Kuulang pertanyaanku dengan hati-hati.

“Mama lagi nangis,” jawab anak itu polos.

“Nangis? Kok nggak dikawanin?”

“Nggak ah, Deni mau main.”

Kemudian anak bernama Deni itu kembali dengan permainannya. Aku kembali ingat cerita tsunami itu. Betapa menyedihkannya. Apakah ia masih sering menangisi kepergian keluarganya?

Tak lama setelah dialog singkat dengan Deni, dari kejauhan kulihat ibunya datang dan sudah memasang senyum di wajahnya. Syukurlah, dia sudah tidak menangis lagi.

“Kirain lagi sibuk di rumah,” ujarku membuka percakapan dengannya.

“Ya…baru selesai nih.”

Lalu, kami ngobrol tentang berbagai topik ibu rumah tangga, seperti anak, peralatan dapur, resep masakan, dan sebagainya. Setelah agak lama mengobrol, aku coba meledeknya. “Kata Deni tadi mamanya lagi nangis di rumah, he..he..he.. Habis dikasih penataran ma suami ya, he..he..he…”

Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Aku jadi merasa bersalah. “Yuk, maaf ya, kalau saya menyinggung perasaan Ayuk.”

“Nggak, nggak kok. Saya memang lagi ada masalah.”

“Wah…maaf ya, saya benar-benar nggak bermaksud menyinggung.”

“Ya, nggak pa-pa kok.” Dia terdiam beberapa saat berusaha membendung air matanya sambil menghela nafas dalam. “Saya mau cerita sesuatu, tapi jangan bilang-bilang ya…” Aku langsung menjawab, “Ya, nggak masalah.”

“Kami mau berpisah.”

“Hah? Maksud Ayuk, Ayuk dengan suami?” tanyaku terperanjat.

“Iya.”

“Tapi, kenapa Yuk?”

“Entahlah. Kami sering bertengkar karena masalah ini. Awalnya kata suami saya, saya terlalu memikirkan masa lalu, sehingga membuat hubungan kami agak hambar. Tapi sekarang saya tahu alasan sebenarnya, dia bertemu cewek lain…”Dua titik air mata menetes dari masing-masing mata indahnya. Beginikah akhirnya? Apa suaminya tak sesabar yang aku bayangkan? Untuk beberapa saat ia terdiam.

“Mungkin memang salah saya, Yuk,” sambungnya.

“Kok salah Ayuk?”

“Iya. Memang saya kadang terlalu memikirkan masa tsunami itu. Saya nggak bisa mengontrolnya. Terlintas saja seolah-olah di depan mata. Saya masih berpikir, seandainya saat itu saya bersama keluarga saya sebelum tsunami, mungkin saya bisa ngobrol dulu, dan melihat mereka untuk terakhir kalinya.”

“Itu kan sudah takdir, Yuk. Jangan terlalu dipikirkan. Meskipun dipikir-pikir terus, itu tidak akan mengubah semuanya. Terus apa Ayuk sudah bulat tekadnya untuk berpisah? Gimana dengan anak-anak?”

“Entahlah, saya pusing. Ya sudahlah, sebaiknya saya pulang dulu. Anak-anak belum takkasih makan.”

Mungkin ia kehilangan selera untuk bicara. Aku maklum. Istri mana yang tahan mendengar suaminya selingkuh, meskipun itu berawal dari kesalahan sang istri? “Iya, Yuk. Semoga masalah Ayuk bisa selesai dengan jalan yang terbaik,” kataku berusaha menghiburnya.. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum kecil dan berlalu dengan anak-anaknya dari hadapanku.

Aku jadi berubah pendapat tentang suaminya. Ternyata suaminya tak sesabar yang aku bayangkan. Tapi, mungkin itulah efek dahsyat dari bencana tsunami. Aku berdoa dalam hati, “Ya Allah, jangan sampai aku mengalami apa yang ia alami. Semoga rumah tangganya masih bisa terselamatkan.”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :