Pilihan Orang Tua

Remuk! Sungguh, kali ini Buyung merasa hilang bentuk, selepas mendapat serangkai pesan lewat media fesbuk. Bagi Buyung, kabar dalam rangkaian pesan itu sangat buruk, hingga membuatnya jauh terpuruk.

Betapa tidak, dalam pesan kali ini, Upik berujar, “Ridha Allah berada setelah ridha kedua orangtua. Bukan kehendakku…” Di akhir ujaran, Upik bertutur dengan segenap harapan agar Buyung dapat melupakan atas segala yang pernah jadi dan kejadian, setiap kabar yang selama ini satu sama lain saling bertukaran. Kata Upik, “Semua itu anggaplah sebagai kenangan, petanda kita pernah saling kasih, saling sayang.” Upik menutup pesan dengan ucapan terima kasih atas segenap kasih pada mereka punya kisah.

Tentu saja kabar ini kali membuat Buyung tak habis pikir, karena rentang setahun terakhir, mereka sudah saling ikrar untuk mengukir rumah tangga sebagai akhir takdir. Cukup lama Buyung dan Upik pisah, yakni selepas keduanya tamat sekolah. Kala itu, Buyung ke ibukota untuk kuliah, sedangkan Upik memilih pendidikan di dayah. Selepasnya, Upik ke negeri para nabi meneruskan studi. Tinggallah Buyung di kampung sendiri.


Rentang pisah keduanya sewindu setahun sampai, Buyung menata hati yang telah sansai, merawat rindu antara kota dan ngarai. Hanya mengadu pada bukit dan pantai, sembari menunggu studi Upik bilakah usai. Keduanya baru setahun lalu kembali dekat.

Sejak kembali saling tukar kabar itulah, Buyung kembali hidup gairah, dan yakin bahwa Upik adalah pilihan dalam menjalankan sunnah. Demikian Upik, beberapa kali mengaku salah dan meminta maaf karena cukup lama meninggalkan Buyung dalam resah gelisah. “Insya Allah, kali ini aku yakin sudah,” ujar Upik yang saat itu mulai disapa Buyung dengan panggilan “Ustazah”.

Ironis! Setelah berjanji untuk tidak saling meringis apalagi bengis, kabar kemarin pada sore Kamis, membuat Buyung harus berusaha menahan tangis. Sangat malang nasib menimpa si lelaki yang dalam usia dua puluh sembilan masih setia dengan status bujang, demi menanti Upik. Penantian hanya penantian. Kali ini dalam sebuah pesan, Upik mengaku sudah dalam pinangan. Terhenyak Buyung bukan kepalang, tentang janji Upik untuk menyudahi penantian dengan sebuah pernikahan yang diridhai Tuhan. Mimpi dan harapan itu kini telah hilang.

Surat berpesan itu kali yang dikirim Upik pada serangkai kesempatan sejak setahun silam, dibaca Buyung kembali berulang-ulang. Di sana terdapat kalimat Upik yang beragam, ada rayuan, ada canda dan gurauan. Sesekali tebersit ucapan tentang mimpi bersama dan harapan-harapan. Bertambah-tambahlah sedak dada Buyung membaca sekalian itu pesan.

“Abang suka warna apa? Kalau adik pink dan ungu sukanya.” Kalimat belum berapa silam itu terbaca jelas sehingga dada Buyung terasa ditusuk batu cadas. Semakin diseretnya kursor ke atas, semakin banyak pesan lama terlintas. Sampailah Buyung pada pesan yang dikirim Upik pada bulan sebelas. “Abang, kalau cari rumah, yang sederhana saja. Yang penting, kita nyaman tinggal di sana kelak.”

Itu pesan diucap Upik saat ditanya tentang rumah yang akan dicari Buyung sebagai bagian persiapan seusai pernikahan. Masih dalam inbox pesan, ada kalimat Upik tentang berbagai saran, soal Buyung yang suka terlambat makan, juga perkara waktu rehat terutama istirahat malam.

Kali ini, seperti surat itu kali yang telah ia balas, Buyung janji usaha ikhlas, pada kasih yang sempat berbalas maupun yang tidak terbalas. “Upik, seperti Tuhan penguasa jagat, cinta ini begitu dekat, walau ia tak terlihat,” ujar Buyung seraya terus menulis sebuah pesan sedikit panjang.

“Upik, sejak pengakuanmu bahwa kau dalam pinangan, tiada lagi guna semua pesan. Jika dulu aku sering kau ingatkan, tentang jangan telat tidur malam, pun perkara jaga kesehatan dan mesti ingat waktu makan, kini semua itu hanya kenangan. Satu yang dapat kusimpulkan, bahwa aku pernah kau sayang.

Upik, kuterima semua yang ditakdirkan, hanya saja tak pernah terpikirkan tentang alasan bahwa kau mesti putuskan segala bentuk kasih sayang dari aku yang telah kau sapa “Abang”, hanya karena kekhawatiran orangtuamu di kampung halaman. Bukankah kau orang berpendidikan? Ini yang tak habis aku pikirkan. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang sudah lama mengecap pahit manis perantauan, sudah tinggi ilmu dan pengetahuan, harus takluk pada orangtua punya lamaran. Terlebih lagi putusan itu karena ketakutan bahwa jika aku yang jadi pilihan, kau dan ibumu kelak terpisahkan. Sejahat itu kah aku penilaian keluargamu?

Upik, kendati aku hanya seorang kampungan yang jauh ketinggalan, masih kuingat sebuah riwayat yang guru ngaji ajarkan, bahwa pernikahan tidak bermaksud memisahkan antara orangtua dengan si anak yang telah dinikahkan. Bukankah soal ini kita sudah buat perjanjian, bahwa kau punya kesempatan bermanja dengan ibunda di kampung halaman, walau kita kelak diikat oleh pernikahan?

Ah, sungguh sia-sia semua janji dan mimpi, pun tentang cita-cita cinta kita yang suci, yang sudah terpatri sejak usia kita masih belia. Kini, kau Upik, seperti pengakuanmu tempo hari, sudah dalam pinangan lain lelaki.

Selamat atas putusanmu, yakni memilih pilihan orangtuamu. Pesanku, jangan melihat ke belakang, karena nanti kau akan melihatku berdiri sendiri di tepi jalan yang sama pernah kita lewatkan. Sungguh, aku belum mampu menyaksikan rona wajahmu yang akan berubah apalagi bening matamu yang nyaris tumpah saat menyaksikan aku punya tingkah. Maka, jangan melihat ke belakang saat kau telah melangkah.”

Baru saja buyung hendak menutup surat pesan untuk Upik, tiba-tiba terndengar sebuah letusan. Sekejap kemudian, di hape Buyung muncul sebuah pesan. “Telah terjadi penembakan di Ulee Kareng, seorang lelaki di depan istana boneka tewas di tempat.” Buyung bergegas ke luar!


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :