Cerita untuk Laila

Setiap pagi tiba, embun membasahi daun-daun hijau. Lorong-lorong akan terhisap waktu yang panjang. Laila, kau pasti mengenal Acehku. Kau akan mengingat kembali kisah pilu tujuh tahun lalu, saat Acehku dihempas ombak lautan biru. Kau juga mungkin masih ingat, ketika puluhan ribu anak yatim lahir di Acehku. Itu semua akibat konflik yang mendera Aceh lebih dari 30 tahun.

Lalu, kau terkejut ketika mendengar berita penembakan dan pembunuhan di mana-mana. “Bukankah Aceh itu sudah damai? Kenapa ada yang berani bertindak atas nama Tuhan?” tanya kau padaku. Aku bingung menjawab pertanyaanmu, Laila. Memang seluruh pemberitaan sedang melirik Acehku. Pemilihan kepala daerah sedang hangat dikabarkan. “Jaga dirimu baik-baik di sana.” Itu pesanmu padaku.

Kau tahu Laila? Aku bangga melihat Acehku. Hanya di Acehku diadakan ujian tes membaca Alquran bagi para calon pemimpin. Kau juga harus tahu, mayoritas orang-orang di Acehku adalah muslim. Dan muslim yang satu dengan muslim yang lain bagaikan dalam satu tubuh yang harus terjaga. Kau pikirkan saja, bila tanganmu merasa sakit, pasti anggota tubuhmu yang lain akan merasakan sakit juga. Itulah gambaran manusia yang muslim.


“Lalu, kenapa bisa terjadi pembunuhan antara sesama muslim?” tanyamu keheranan. “Mereka saling membunuh dan menghujat, karena mereka tidak menyayangi Rasulullah, Laila,” jawabku pelan padamu.

Kau tahu Laila? Ketika umat Islam saling membunuh antar sesamanya. Lalu, Rasulullah menangis melihat kita. Apakah kau mendengar Rasulullah menangis melihat berita pembunuhan itu, Laila?

Rasulullah menangis melihat umatnya bercerai berai. Kau juga harus mafhum Laila, darah antara muslim yang satu dengan muslim yang lain haram hukumnya. Kukatakan padamu, saat ini kebohongan telah berselimut. Dan Rasulullah akan menangis, ketika melihat sekelompok manusia melakukan tindak kekerasan mengatasnamakan ajaran Islam. Apakah kau juga mendengar tangisan dan kesedihan Rasulullah karena masalah itu? Kau tidak malu melihat sekelompok orang membunuh atau berbuat kekerasan dengan bersuara “Allahu Akbar.”

Mereka mengucapkan nama Tuhan untuk membunuh dan berbuat kekerasan, bukankah Tuhan mengajarkan kedamaian? Sungguh, Islam mengajarkan perdamaian abadi. Islam bukan kekerasan, Laila. Islam sangat indah mengatur seluruh jalan hidup manusia.

Jika ada kelompok tertentu mengajakmu melakukan pembunuhan, Laila. Kau jangan percaya. Katakan pada mereka bukan hanya dengan membunuh orang lain akan mendapatkan jalan menuju surga milik-Nya.

Apa kau pernah mendengar cerita, bahwa Rasulullah pernah mengatakan umat Islam suatu saat akan bertabur di seluruh Bumi, namun umat Islam itu seolah gelembung-gelembung kecil di tengah hamparan air laut yang luas. Artinya, umat akan mudah terpengaruh dan tidak sekokoh pohon kuat yang akarnya menghujam bumi.

Pemilihan calon pemimpin bukanlah persoalan, Laila. Apakah kau ingat waktu pemilihan daerah di tempat kita dahulu di tanah Melayu. Waktu itu kau sangat mencintai pasangan Abdullah-Rahmad, calon gubernur nomor satu dan mengagungkannya sebagai calon pemimpin. Lalu, aku mencintai pasangan Imam-Ihsan, calon gubernur nomor dua. Tapi itu bukanlah masalah. Terserah kau memilih wajah calon pemimpinmu, pun terserahku memilih siapa. Namun, perbedaan itu adalah hal paling indah, Laila. Perbedaan adalah rahmat. Kita tetap bersahabat selamanya.

“Apakah orang Aceh mencintai negaranya, Indonesia?”

“Tentu, bukankah Rasulullah mengajarkan umatnya agar mencintai para pemimpin dan mencintai tanah airnya atau negaranya?”

Kuceritakan padamu. Suatu hari aku melihat seorang anak Aceh menangis ketika menghormati bendera merah putih ketika upacara bendera sedang berlangsung. Aku terheran melihat anak itu. “Kenapa kau menangis?”

“Aku cinta Indonesia. Hatiku putih suci dan darahku merah pemberani,” Itulah jawab anak itu. Entah kenapa setetes air hangat terbit dari kelopak mataku. Aku bangga melihat anak-anak Acehku, Laila.

Kukatakan padamu, Laila. Aku percaya pada Acehku. Acehku sangat menjunjung tinggi agama Allah yang benar. Jadi, kau tidak perlu takut. Acehku anti pembunuhan, Laila. Pun Aceh sangat melarang kenistaan agama. Aceh indah, seindah tuntunan Rasulullah.

“Aceh harus damai,” kau katakan itu padaku.

“Bukan Aceh harus damai, tapi Aceh pasti akan selalu damai,” jawabku padamu, Laila.

***

Kini kutanami bunga-bunga rampai kecil. Setiap matahari terbit di ufuk timur, pun saat matahari tenggelam di ufuk barat akan kusirami bunga-bunga itu dengan air suci. Agar suatu saat bunga itu akan bermekaran di Tanoh Rencong ini. Sebagai doaku pada-Nya, agar Acehku selalu damai selamanya, Laila.

Sungai di bawah jembatan Lamnyong yang jernih, tidak akan pernah berwarna merah karena darah manusia. Burung-burung tidak akan pernah takut terbang di atas Bumi Serambi Mekkah ini, karena suara genjatan senjata telah berhenti dan usai. Seulanga sepertimu akan damai, Laila. Suara-suara azan akan selalu berkumandang. Pertanda Aceh akan damai selamanya.

Akan kuakhiri cerita ini, Laila. Kau tidak perlu takut bertandang ke Acehku yang damai. Di sini kau akan melihat kedamaian dan mencium hamparan bunga-bunga rampai yang wangi untuk seluruh anak negeri.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :