Menunggu Syarifah

Syarifah. Itulah nama gadis yang hampir satu dekade ku titipkan segenap rasa cinta dan kasih padanya. Satu dekade bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal gadis ini. Tak sanggup ku urutkan deretan kisah yang pernah kami lalui semasa hubungan cinta bersemi.

Ikrar janji sejati telah terpatri pada diri kami. Hanya beberapa saat sebelum matahari pamit menerangi Bumi, ikrar itu kami ucapkan bahwa hubungan yang telah lama terbina ini ingin kami abadikan dalam ikatan suci. Lepas hari itulah, perlahan aku mulai mengubah kebiasaan hari-hari. Bila dulunya banyak waktu yang kuhabiskan di warung kopi dan bercengkrama dengan teman-teman, kini mulai kukurangi perlahan. Keserisuanku untuk meminang Syarifah membuat pola hidupku semakin terarah. Gaji bulanan mulai ku cicilkan untuk membeli mahar. Sedikit kukurangi menu makan yang bergizi, sebab harganya tak memadai dengan honor di tempatku abdikan ilmu.


Setahun lagi, itulah waktu yang tersisa. Syarifah akan segera menyelesaikan kuliahnya. Sebagaimana janji kami sore itu, bahwa setelah Syarifah selesai kuliah rombongan ranup meuh gampongku akan bertamu ke rumahnya. Dan hal itu pun telah kukabari kepada orang tua dan segenap ahli familiku. Ya, menurutku agar mereka dapat menyiapkan sesuatu dengan adanya pemberian kabar dariku. Pintaku, “Ifah, minggu ini kamu harus pulang kampung, dan kasih tahu orang tuamu akan hajat dan keseriusanku untuk menjadikanmu pendamping hidupku.” “Iya, Bang, akan kusampaikan kepada orang tuaku”.

Seminggu sudah Syarifah berada di gampongnya. Setiap malam aku selalu menelpon dan mengirim sms. Aku ingin mengetahui bagaimana tanggapan orang tuanya akan niatku untuk menjadikan keluarganya sebagai keluarga keduaku. Ia bilang, ia belum dapat menyampaikan semua itu kepada Abi dan Uminya. “Abang, waktunya belum ada yang tepat untuk Ifah sampaikan semua ini.” Pesan singkat ini yang selama seminggu kuterima darinya.

Tiga hari sudah aku tak menerima pesan darinya. Aku berharap bila ia telah menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan semua itu, pasti ia akan langsung menghubungiku.

Pada minggu pagi sekitar pukul 07.00 WIB, sebuah pesan singkat masuk ke hp-ku. Dengan cepat aku langsung membuka sms meski mataku belum ingin diganggu, sebab semalaman aku larut begadang dengan buku. Koyak rasanya hati ini ketika bait-bait sms terbaca. Tanpa sadar BlackBerry yang baru saja aku beli jatuh ke lantai. “Bang, Abi telah membicarakan tentang pernikahanku dengan keluarga Bang Said pulan. Ia adalah anak teman dekat Abi, dan dia akan dijodohkan denganku,” tulisnya. Ia pun mengisahkan bahwa Umi tidak mengizinkan Ifah untuk menjalin hubungan, apalagi menikah dengan orang yang bukan seketurunan dengannya. Ia mengaku tidak sedikit pun mempunyai rasa cinta pada pria yang dijodohkan orang tuanya, namun apa hendak dikata keluarganya tidak merestui bila menikah dengan ku.

Meratalah penderitaan cinta. Seminggu lalu, Buyung, teman dekatku, juga mengalami kisah pahit yang hampir sama denganku. Aku melihat semangat hidup Buyung bila dipersenkan hanya tinggal 20 persen lagi, setelah ditinggal pergi kekasihnya. Hampir seminggu ia seperti orang yang sedang bileung gaseu, teu tahe-tahe, setelah kekasihnya si Upik dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya. Menurut kabar, lelaki itu adalah teman sekampus dengan Si Upik di negeri Piramid nan jauh di sana. Cita-cita Buyung untuk menikahi anak pimpinan dayah itu pun kandas di penghujung senja. Sungguh malang melintang. Dan kini, derita yang sedang dialami sahabatku dengan sekejap beralih padaku. “Sudah kubilang padamu, jangan kau berharap banyak pada gadis,” ujar Buyung menasihatiku. “Si Upik saja yang keturunan orang biasa tak ada rekom orang tuanya untuk kunikahi, konon lagi kamu orang kampung yang tak jelas keturunan pun,” tambahnya sambil tertawa.

Ribuan kisah silam antara aku dan Syarifah usai sudah. Kenangan dengannya kini telah kubungkus rapi dan kusimpan di sudut lubuk hati. Kadang aku berpikir, tak perlu lagi aku mengingat kisah-kisah itu. Tetap, bila sedang dilanda sepi, kisah itu bersemi dan terangkat kembali. Kisah ini pun membuatku untuk lebih mengaca diri.

Syarifah, lama sudah aku menunggumu dan berharap kita akan bersatu. Tapi Allah berkehendak lain. Engkau pun lebih memilih lelaki yang sederajat denganmu, sebagaimana pilihan Abi dan Umimu. Begitu gampangnya kau melupakan deretan kisah-kasih yang telah lama terbina. Cukup aku saja yang merasakan dan menanggung perih tangis derita ini. Sebagai lelaki yang pernah mencintaimu, aku berharap kau dapat hidup bahagia dengan lelaki pilihan orang tuamu, yang mungkin sederajat dan satu silsilah keturunan denganmu.


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :