Rektor

MASIH kuingat detik-detik menjelang temaram senja di RKU 3 saat itu,  lelaki penulis hikayat yang kerap kami panggil Abu duduk di kursi depan pintu RKU 3 yang berlatar ruangan sumpek, sampah  bertebaran di bawah kursi-kursi reot, juga sebuah papan tua dan  kaca berdebu yang tak pernah tersentuh air. Kulihat tangannya sembari melihat kertas buram yang berisi baris-baris yang tak terselesaikan. Matanya kemudian terpaku pada pohon asam jawa di seberang dan hamparan ilalang yang dibiarkan kering menguning. Barangkali ia sedang mencari inspirasi untuk menyambung bait-bait tersebut.
“Aku ingin mengkritik rektor melalui hikayat ini. Agar ia tahu bahwa ruang kuliah kita  ini masih bernafas tapi sedang sekarat” timpal Abu sambil mulutnya mengulum kretek. Suaranya yang merdu sesekali melengkingan panjang hingga beberapa mahasiswi yang melintas cengingisan. “Kamu pikir sang rektor langsung merespon. Jangan banyak mimpi kawan,” sanggahku di selaya jeda lantunan hikayatnya. Namun, Abu hanya menatapku seraya mencibir.

“Daripada kau yang sibuk di kamar dengan cerpen cintamu itu. Apa kau pikir, dengan cara begini gadis bangsawan itu akan menyukaimu. Heh, tak usah berharap banyak”. Aku terkaget karena tak menyangka ia tahu tentang maksud dari cerpen yang sering kubuat itu. Terasa hati ini menggelegar karena aku tak suka diremehkan seperti itu, dan aku akan tulis catatan untuk rektor.

Abu telah  menyelesaikan karyanya ketika bias mentari menyisakan warna sancet yang tampak dari rerimbun mahoni teduh. Tinggal menyelaraskan lirik nada dengan teks yang ditulis, maka sempurnalah tugasnya sore ini. Lalu ia pun berbaur dengan para gadis yang telah menyudahi latihan teater di bawah rindang pohon asam jawa. Abu selalu minta diboncengi sambil berjanji akan membuat satu syair indah untuk gadis itu.

Abu memang selalu begitu, suka menjual mimpi-mimpi. Sementara bangunan kumuh ini masih renta seperti dulu. Tetap tak ada yang perduli. Tiga tahun sudah berlalu, ketika aku kembali berdiri di teras ruang kuliah terasa seperti seonggok sepi. Rintik-rintik kecil  mengabarkan bahwa langit sedang muram. Aku telah menyelesaikan catatanku, dan berharap Abu muncul  lalu membacakan

Kubayangkan wajah Abu merekah ketika melihat bangunan kumuh ini yang telah disulap menjadi bangunan dengan desain modern. Pohon asam jawa di seberang juga telah rebah bersamaan dengan lenyapnya hamparan ilalang bergantikan padang rumput hijau. Namun, kecelakaan di simpang maut setahun lalu, Abu mengalami pendarahan otak hingga mengakhiri hidup Abu. Lantunan suara merdu Abu yang senang membaca hikayat, tidak akan lagi kudengar. Aku pun makin bimbang akan kemana setamat kuliah, dan beberapa catatan yang makin buram kulempar  lembar perlembar ke lautan gerimis, dan sebait demi sebait tulisan itu hilang dilumat butir-butir air

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :