Serong

"DAH Jumatan?” kalimat itu terpampang di layar monitor laptopku. Tak tahu kenapa begitu melihat namanya ada di daftar teman yang online jemariku langsung bergerak, menarikan tuts-tuts keybort hingga tertera kalimat singkat itu.

“Sudah dong, ni masih berdegup .. isi khotbahnya.” Aku langsung ingat puisi yang baru beberapa jam lalu yang ia tag. “Duh… ikut berdegup juga nih… iri deh sama puisi-puisimu yang membuat degup jantungku ketika membacanya…” Baris ketiga puisinya  /Cericit burung adalah kumandang azan /bersahutan. Jauh melayang menembus awan/ tak pernah jatuh gemanya/ kecuali terus ngalir di urat nadi/ rasakan degup-nya/bulan dan bintang/ terlukis di dinding hatinya.
“Tulisan sederhana, sekadar tegur sapa, selain doa-doa tentunya… Kemarin Pak Harun nelpon katanya ngundangku ngajar di kampusnya” Dia mengalihkan pembicaraan, kebiasaannya bila aku komentari puisi-puisinya. “waow.. surprais.. kabar bagus. Aku sering ceritain dirimu pada suamiku, suatu hari kami pasti akan menjadi tuan rumah untukmu.” Seperti tak mengubris kegembiraanku, ia melanjutkan.

“Kuceritakan pada Harun bahwa kita sering tegur sapa, tapi beliau buru-buru mengingatkanku “hati-hati, istri orang” dan aku pun tertawa renyah, sebab ingatannya tak relevan dengan aku ha ha ha…” “ Ya.. ya.. aku ingat  bahwa diriku istri orang ketika bertegur sapa dengan orang lain, ah, masih ada diantara kita yang dilumuri prasangka..”

Ingatanku terbang pada sosok Harun, lelaki santun yang sangat mencintai keluarganya. Kelebat apa yang muncul di pikirannya saat dia mengatakan kata “hati-hati, istri orang” kepada teman dosenya itu. Curigakah ia. Belum sempat aku berpikir jauh di layar monitorku muncul lagi baris-baris kalimat. “Aku cuma cerita tentang pak Harun, jujur, aku selalu takut berkomunikasi dengan sahabat…”

Ops.. aku kaget, kata-kata itu membuat aku terbelenggu.

“Aku menganggap dirimu suhuku. Tak pada tempatnya aku memiliki “ perasaan lain”, sementara aku memiliki keluarga yang sangat menghormatiku. Tapi aku harus jujur mengatakan padamu bahwa kepedulianmu terhadap tulisanku membuat semangat menulisku bertambah. Apa itu salah, dan membuat aku harus mengikat diriku untuk tak bertegur sapa denganmu? Kalau itu terjadi, naïf benar diriku, mas.”

Ya, seperti baru mendapatkan pisau tajam memotong tali temali yang mengikat tubuhku, kata-kata itu lepas menyeruak begitu saja. “Oke, baik, kita larungkan semua wasangka, memang komunikasi tulis itu tak mudah, soal paham dan tak paham terus akan bermunculan. Kita cuci dada kita  hanya semata silaturrahmi dan saling tegur sapa sahaja.”

Benar, salah paham terlalu mudah terjadi maka larungkan wasangka itu. Aku berguman sendiri. Tapi ada yang belum tuntas saat aku mencuci hati. Kerikil-kerikil halus masih melekat tak mau hilang. Lalu jemariku menari lagi, huruf-huruf memintal kata menjadi kalimat-kalimat  muncul lagi di layar putih persegi. Layar kecil yang dilatari baris-baris puisinya.

“Mungkin Harun tak kenal betul dengan diriku, meski kami sudah  bergaul lama. Alhamdulillah, suamiku paham sekali sepak terjangku dan tak pernah melarangku berteman dengan siapa saja. Sebelum aktif di efbe, hapeku sering berdering dini hari bahkan saat-saat sebelum subuh. Sms-sms yang berisi puisi masuk dari beberapa teman penyair, ya, kadang memang kalau tak hati-hati bisa saja aku salah tafsir dengan puisi-puisi yang dikirimkan, maaf seperti puisimu yang membuatku berdegup. Jelas ketika sampai pada suatu titik aku pun memahami betapa releginya mereka, seperti dirimu juga yang membuat aku iri. Mas, beberapa puisimu yang aku suka sering aku share dengannya. Jadi tak ada peraturan bahwa aku istri orang saat aku membaca dan berkarya. Dia tahu aku telah jadi dan public mengenalku…”

“Ya, sekarang aku sedang menulis, sesuatu yang terus terang terinspirasi dari komunikasi kita lewat efbe. Menurut catatanku, kita sudah dua kali salah paham. Jadi tolong koreksi setelah membaca puisi yang nanti aku kirimkan, ya, semacam penafsiran tentang budaya Aceh yang sungguh sama sekali tak kupahami..”

Aku tersentak. Sudah dua kali salah paham?  Kurasa aku harus mempertanyakan “salah paham- salah paham ” yang dimaksudkannya. Tapi tanda bulat hijau di sisi kanan bawah kotak obrolan terlanjur pudar. Aku tahu dia telah berlalu. Meski aku kecewa, kucoba pahami baris-baris puisi yang kembali menghiasi layar monitorku. Rencong, bentukmu memang bengkok tapi sama sekali tak ada makna serong

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :