Manyak Simpang Paya Karya Azhari MS

Tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Sudah dua hari lebih dia menghilang dari kampung. Semua warga merasa harus bungkam saat banyak polisi menanyakan tentang hal ini. Mereka takut kutukan itu akan kembali pada dirinya atau bahkan pada keluarganya.

Ya, kutukan itu tetap berlanjut di kampungku. Kehausan kematian yang menghantui pohon asam di tikungan Paya. Tikungan yang menjadi saksi terbunuhnya pasukan Belanda, karena seorang Malem Keubai. Pak Din terakhir kali melihat Manyak melintasi pohon itu. Sore hari, saat sapi-sapi bersiap menyambut malam dengan setumpuk rumput dan cincang batang pisang. Saat para peternak menyucikan tubuh di aliran sungai Doe. Manyak menghilang dalam benam senja. Sejak itulah kampung kami santer dengan berita kehilangan.

“Dia tiap saat menyebutkan tentang impiannya ke kota, meraih kesuksesan dan membanggakan kampungnya!” Tetes air mata Emak lenyap di atas sajadah kusam. Di atas sajadah itulah Emak biasa menumpahkan segalanya, bukan  hanya air mata, tapi juga seluruh kesah yang dirasakannya. Ia yakin sekali ada Yang Maha Mendengar tatkala ia menangis di atas sajadah.

Rasa bersalah terus menggerogoti jiwa tua Emak. Mengingat si Manyak, membuat Emang terkenang pada suaminya. Bayang sang suami kerap menemani redup bohlam 15 watt yang menjeritkan cahaya. “Ya Rabbi, salahkah aku yang melarang Manyak bermimpi tentang kehidupan fana ini? Salah aku yang memakinya tiap kali dia mencurahkan mimpinya kepadaku? Wahai Engkau Yang Maha Mengetahui, jika memang dia telah berada di sisi-Mu, aku ikhlas ya Allah, aku ikhlas. Tapi, jika dia masih hidup, dengan izin-Mu kumohon jaga dirinya dalam lindungan-Mu!”

Dia selalu bercerita tentang indahnya dunia jika  serba berkecukupan. Aku tidak perlu bangun di subuh buta untuk menyiapkan bahan-bahan kue, menggorengnya dalam pejam mata karena kantuk. Aku juga tidak perlu menjadi petani upahan yang hanya menerima Rp 25.000 di bawah sengat matahari. Dan aku juga tidak perlu menerima cucian keluarga Bu Maryah yang upahnya tidak menentu.

Manyak juga bercerita tentang rumah kami. Tiap kali musim hujan merah mati kampung ini, aku harus mempersiapkan beberapa cawan untuk menampung tetesan air yang menjilat lantai rumah kami. Terakhir kali, dia bercerita tentang kata malu. Ya Rabbi, dia malu ketika tiap akhir semester, guru bagian kesiswaan memanggilnya, mengancamnya karena masalah uang SPP, jaminan perpustakaan, bahkan uang untuk simbol di bahu kanan dan kirinya yang harus diganti tiap dia naik kelas!

 Angin yang berhembus pelan merongrong lewat celah-celah sempit anyaman dinding pelepah rumbia, sebagian dasarnya melapuk termakan usia. Dinginnya malam menikam permukaan kulit, memaksanya menganga.

Emak tersujud berbalut rukuk. Tidak ada batas antara dirinya dengan Sang Ilahi. Terbayang wajah Manyak ketika dia membawa selembar kertas penuh warna pembawa malapetaka. Saat azan Zuhur telah mengisyaratkan panggilan Sang Pemurah, Manyak pulang ke rumah. Wajahnya penuh kemanjaan, berharap agar Emak mengabulkan impiannya.

“Mak, Manyak ingin kuliah! Manyak ingin seperti Said, anak Bu Maryah yang akan menjadi seorang sarjana,” pintanya. Emak ingat betul mata Manyak ketika mengutarakan pintanya. “Matanya ya Khalik, matanya menunggu, menungguku menjawab dengan jawaban yang spontan keluar dari mulutku. Aku ingin menarik kembali jawabanku. Aku memohon pada-Mu ampunkan jiwaku. Aku tidak berniat melukai mimpinya, membinasakan impiannya. Dia berhak bercita-cita.”

Emak kembali merenungi jawabannya. “Nyak, kuliah bukan untukmu! Bukan untuk anak  almarhum Mansur. Bukan untuk anak seorang pencuci baju upahan. Bukan untuk pengembala kambing. Bukan untuk Manyak bin Mansur!”

Emak sadar betul, jawaban itu telah meredupkan kehidupan Manyak. “Nyawaku yang seharusnya dijemput malaikat maut-Mu. Nyawaku ya Allah, nyawaku,” rintih Emak, masih dari atas sajadah lusuhnya.

Malam telah larut. Emak masih bersimpuh. Di luar embun mulai turun. Di wajah Emak juga ada embun, tapi beningnya melebihi embun di luar. Hatinya masih gundah, antara bertanya dan berharap tahu, “Di manakah kau sekarang, Manyak? Diambil penunggu pohon asam di Simpang Paya atau sudah sampai ke kota?”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :