Tarian Para Pawang

AKHIR-akhir ini, para pawang di gampong kami, mulai menari bersama. Konon, sayup kudengarm tarian ini sebagai rangkaian ritual untuk menaklukkan binatang buas yang mulai beringas. Banyak binatang buas yang sudah masuk kampung. Ada gajah yang turun berombongan. Mereka merusak tanaman kelapa yang baru saja mekar. Tapi pucuknya dibiarkan saja, tidak dimakan. Batangnya dihantam hingga patah-patah. Padahal biasanya, bila gajah merusak tanaman, itu tandanya ia sedang kepingin makan. Beruang coklat juga sudah menindih pinang-pinang muda. Lalu kadang-kadang, ternak di kandang juga tidak lagi aman. Harimau kuring mencakarnya sejak di dalam kandang. Ternak, tiba-tiba mati, dengan cakaran persis di leher. Tapi tak di makan. Sama seperti gajah, ternyata tidak sama seperti dulu-dulu, bila ada ternak yang hilang, maka pemilik hanya akan memungut tulang-belulangnya saja sebagai sisa.

Itik-itik yang dilepaskan di Sungai Ujong Baroh, juga sudah dicabik-cabik buaya yang berdiam di pucuk sungai. Sama seperti yang lain, itik-itik itu tidak dimakan. Itik-itik yang mati dibiarkan saja berhamburan di Lhok Siren.

Mawah dan rombongan Eungkong juga sudah turun di pinggir gampong. Badannya yang besar-besar, sudah mulai menganggu anak-anak yang sedang bermain di pinggir lorong. Gangguan ini terjadi membabi buta akhir-akhir ini. Sebelumnya sangat jarang terjadi. Dulu, kalau pun terjadi, bisa ditangani oleh satu pawang saja. Tapi akhir-akhir ini, upaya pawang sudah dianggap angin lalu. Tak lagi berpengaruh. Justru, dari sayup juga kudengar, mungkin binatang itu semakin buas luar biasa bila ia tahu ada pawang yang sedang berusaha menghalaunya. Menurut orang kampung, juga kudengar dari sayup, karena kondisinya begitu, membuat para pawang harus mencari ritual baru. Akhirnya ditemukan tarian. Inilah yang dimaksudkan orang kampung sebagai tarian para pawang.

Hanya akhir-akhir ini saja ritual itu dilakukan. Sebelumnya tak pernah terdengar. Barangkali, dulu tarian ritual ini pernah dilakukan sendiri-sendiri, namun bisa jadi karena tak ada yang tahu, makanya tak pernah terdengar. Tapi entahlah.

Penting kuceritakan tentang apa yang terjadi. Berawal dari temuan Ketua Jurong yang sedang buang hajat di hamparan padang pada suatu malam. Pagi-pagi sekali, ia membagi kisah denganku.

“Makruh, aku lihat dengan mata ini, mereka sedang membuat rapat,” Apa Syah, tiba-tiba, tanpa salam, bercerita kepadaku. Terang saja aku tersentak.

“Rapat?” jawabku.

“Iya benar, rapat. Aku lihat ada tiga ekor gajah besar, belalainya sudah menjuntai tanah. Harimau kuring, ada empat atau lima ekor. Beruang coklat ada juga. Yang lainnya tidak jelas,” jelas, tapi kurang rinci.

“Tapi bagaimana Apa tahu kalau mereka sedang rapat? Bukankah hanya pawang yang mengerti bahasa mereka? Sedang Apa kan bukan pawang?” aku menelisik, mencecarnya beberapa pertanyaan. Tapi ia tak langsung menjawab. Kulihat ia menggaruk kepala.

Mulailah engkau mencari alasan, pikirku. Tak ada lagi pertanyaan dariku waktu itu. Tapi aku katakan padanya, “Ternyata Apa ini juga sangat pandai dalam memanjang-manjangkan yang tidak panjang?”

Aku hanya tersenyum. Kulihat ia sedikit terperangah. Ketika esoknya kudengar ada lagi ternak yang mati, aku merasa menyesal. Aku ingin mohon maaf pada Apa Syah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :