Ratu Hati Ve

BAYANG ibu melintas di benak Ve. Ada rasa yang membuncah di dadanya. Rindu bercampuri gusar, sayang tapi benci berebut posisi. Sungguh tak patut ia meragukan kasih sayang perempuan mulia itu. Pengorbanannya tak akan mampu ia balas, meski langit di bawah dan bumi di atas. “Tapi… mengapa hati ini tak mau berdamai,” desa Ve.

Tertatih-tatih Ve memungut kembali mozaik kasih ibu yang dicarinya di lorong waktu. Nihil. Bayangan kasih itu bukan datang dari sosok wanita perkasa itu. Kesan kasih yang menjejak ada pada ibu kosnya sewaktu ia mengais ilmu di tanah persada. Kasih ibu sejati hingga mengubah konsep negatif dirinya, menyurutkan lahar emosi yang sering menjalari hati, lalu menerima diri dan bahagia. Namun selepas berpisah dari ibu kos itu, Ve kini mendapat curahan kasih dari ibu mertuanya takkala menikah dengan lelaki yang menggenapi separuh dirinnya.
Ve tidak puas. Tak rela bila bukan ibunya sendiri sebagai ratu hatinya. “Apa salah diri ini hingga curahan sayangmu tak terbaca olehku, Bu?”

Dimana cinta bila engkau tak pernah merangkulku, mencium dan memanggilku dengan ungkapan cinta. Seperti yang kudapat dari kedua ibu itu yang selalu punya waktu. Maka maafkan anakmu ini yang tak mampu mengingat banyak kebaikanmu.

 Tangan Ve gemetar memungut hamparan batu kerikil satu persatu di depan kakinya. Lalu diletakkan kembali di gundukan tanah itu. Airmatanya mulai menyaput. Perlahan mengalir hangat di pipinya. Menetes jatuh ke tanah. Membasahi kerikil. Pandangan matanya bertumpu pada pohon jarak bergoyang ditingkahi hembusan angin sore. Ve tak bergeming seperti dunia tak tak berdimensi. Dunia anak dan ibu. Ve merasakan kehadiran ibunya meski wujudnya tak tertangkap indranya.

Ibu, maafkan anakmu ini. Maafkan bila pengorbananmu terasa pamrih. Cintamu adalah luka. Kasihmu adalah duka bagiku. Mengapa, Bu? Karena perasaan itu aku pernah berniat mengakhiri hidup. Merasa tak berarti bagai kerikil di jalanan. Ada tapi bagai tiada. Bagai parasit yang tak pernah memberi. Hanya mengharap. Hingga aku pun pernah ke jalan kakap. Menyangka disanalah rumah yang layak untukku agar tak membebanimu.

Kenangan demi kenangan makin terus mengusik Ve. Ia pasrah. Dan sekira aku tahu dan paham dari awal tak sesekali aku bermaksud menyakiti hatimu. Sungguh. Saat itu aku belum cukup ilmu. Aku haus rasa ingin tahu. Belum mengenal ini dan itu hingga seringkali berbuat salah. Meski berulangkali engkau ingatkan. Bukankah belajar itu butuh proses. Tapi dimanakah kesabaran itu. Hingga panjangnya omelanmu menghentakkan niat belajarku.

Dalam diam aku pun menangis takut. Merasa bersalah dan merutuk diri. Gemetar. Kaku dalam bersikap. Kesalahan itu lagi-lagi tak kuasa kuhindari. Hingga emosimu memuncak. Engkau hilang kendali dan menyebut-nyebut nama Tuhan agar memanggilmu karena tak mampu menghadapiku. Agar aku merasakan sendiri akibatnya ke depan. Lalu engkau berlalu dihadapanku yang mematung sendiri. Sejak itu kita kian jarang berkomunikasi. Hanya sekedar perlu. Aku terus dirundung rasa takut. Lidah kelu untuk bertanya padamu. Aku semakin terpuruk dalam ketakberdayaan hingga lingkungan mengenalku si pemurung Ve itu kuper, begitu kata yang kudengar.      

“Ibu, sekarang datang tak sendiri kemari. Aku membawa serta menantu dan dua cucumu. Dapatkah engkau rasakan kehadiran mereka? Mereka sedang khidmat mengirimkan doa untukmu?” Andaikan ibu di sini. Tapi aku percaya kau Ibuku, ratu hatiku tanpa syarat untuk selamanya

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :