Mendung di Wajah Meutia

SOSOK perempuan dalam remang itu telah membuat ruang ini  mencekam. Seorang siswa memekik, sebagian lainnya menggigit jilbab dalam wajah pucat. Kututup rapat pintu dan semua jendela. Aku ingin peristiwa ini tak ada lagi siswa mengetahuinya, meskipun aku tetap resah. Aku betul-betul lemah dan khawatir jangan-jangan ada yang mengintip dari balik cela jendela.

Tiba-tiba bibir perempuan itu menggeletuk geram; “Jika aku tahu orangnya, akan kulumat dia.” Suara itu membahana ke seluruh ruang. Meski peristiwa itu sudah berselang lama, emosi perempuan itu meluap sudah. Bara dendam yang terungkit kembali, entah siapa yang memantiknya.
Kulihat butiran bening meleleh menelusur lekuk parasnya yang berkerut. Suasana yang mulai mereda dalam pasrah dan ungkapan dari bibirnya membuat siswa-siswa lainnya terharu.

“Ya sudahlah. Semua itu milik Tuhan. Kita semua hanya bisa pasrah.” Desah itu terdengar serak dan perempuan itu terduduk lemas di sebuah anak tangga. Selendang kusut itu menyapu noda-noda gundah di wajahnya.”Tapi kalau Abah masih ada tentu beliau bisa membiayai sekolah si manyak. Dariku apalagi yang bisa diharapkan, menyadap getah itu hanya cukup untuk makan,” gumannya. Semua di ruangan itu menjadi hanyut dan terlihat tetes-tetes bening dari kelopak mata kami.

Perempuan itu  menjauh perlahan. Pandangan yang samar mulai menjadi warna pekat. Suasana sunyi pun berubah membahana riuh setelah kupaksakan mereka bertepuk tangan.

Meutia berdiri lalu menuju ke depan. Sorot matanya teduh, sesekali ia menerawang ke atas. Mungkin sedang berpikir keras untuk mengatakan sesuatu tentang kisah itu. “Tragedi perempuan itu tak baik untuk disaksikan,” ucap Meutia tiba-tiba sambil menuju tempat duduknya.

“Dia adalah ikon perempuan Aceh yang pantang menyerah. Semestinya menjadi teladan.”Khansa memancing suasana. Perdebatan antardua kubu pun tak dapat di elakkan. Dan situasi  seperti ini sengaja kurencanakan semula seapik mungkin, sebuah scenario perang mulut antardua kelompok. Satu pihak menentang keberadaan kisah itu, sedangkan satu pihak lagi mempertahankan habis-habisan bahwa kisah itu layak disaksikan.

Masing-masing begitu pas memainkan perannya. Ada  berwajah tegang tanpa henti meracau; ada yang tergelak-gelak hingga aku pun menjadi was-was. Namun dalam riuh suasana, aku mempehatikan sorot suram mata perempuan itu. Mulutnya seperti terkunci dalam garis pasi lekuk wajahnya. Aku tak mengerti kenapa dia diam padahal selama ini kukenal ia begitu energy dan pandai beretorika Tiba-tiba kulihat ada binar di matanya membuat suasana kembali hening.

“Kenapa Meutia?” Perlahan kuhampiri perempuan itu. Namun ia tak menjawab dan tetap tertunduk.  Ia menggoyang-goyangkan  lutut dengan tangannya. Ekor matanya mengerling keadaan, dan terlihat bibirnya mulai gemetar. “Ibu ku juga pernah menangis seperti itu. Apa kalian suka menontonnya,” ucap mutia yang tiba-tiba meledakkan tangis.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :