Piramida Peuneuphon

AKU mengintip dari  balik orang-orangan berbaju putih sobek-robek,  berkepala kelapa yang dibolongi tupai, Yah Andah. Selusin langkah selisih jarak kami. Lelaki tua itu mengenakan peci hitam, baju olahraga sekolah milik putra dia kayaknya, dan sarung selutut. Ia berjongkok di pojok pematang sepetak sawah. Tangan kanan meraba  ketika pertama ditanam padi berusia muda-mudi. Sepertinya ia memeriksa keutuhan isinya. Mulut lelaki tua itu komat-kamit.

Di bungkusan itu terlihat buliran padi hijau pekat telah dihunjam-hunjamkan di sawah berair coklat kekuningan, seperti pasukan berpakaian coklat kekuningan baris-berbaris di lapangan hijau pekat. Pula terpandang, sawah di kampung kami bertingkat-tingkat seperti tangga panjang. Hijau menebar harmoni pagi. Sejumput-jumput buliran padi putik memaku-maku sawah dari pematang tempatku berdiri sampai sejauh mata menerawang. Bau tanah tak bisa diriku bendungi terkadang.

Kicauan bangau putih jenis belekok dan pipit mempertunjukan musik bagi petani. Ya Andah, pun  berlenggak-lenggok menggoyangkan badan dan kaki sambil bersiul mengikuti nyanyian burung yang berpusing-pusing di permukaan sawah.

Aku melihat jarum panjang jam tangan diriku sudah berputar dua kali 360 derajat sedari Yah Andah terus berlenggak-lenggok, kedua kaki kini memijaki pematang sepertinya ia hendak pulang. Aku pun melangkah pesat menyusuri pematang yang digenangi ilalang menuju petak sawah Yah Andah. Bruk! Tak bersahaja bahu kanan kami saling tubruk. Tak sampai berjatuhan. “Ke mana matamu?” hardik Yah Andah sambil melototkan matanya. Kalau saja tak menghormati orangtua, ingin sekali diriku membentaknya, tapi bau tanah badan kerdilnya membuat diriku tak rela.

Ia pun pergi membelakangiku, aky balik badan dan berjalan pesat lagi hingga sampai di sudut sawah Yah Andah. Celingak-celinguk sekejap memantau orang-orang di sekeliling. Juga Yah Andah, apakah ia sudah pulang, atau berselubung di balik jambo dekat irigasi.

Mengira-ngira aman, aku mulai berjongkok dan menggapai bungkusan daun berbentuk piramida tadi. Perlahan kubuka bagian pucuknya dan kuperhatikan. Aha, rupanya ini sesaji  untuk memberkati tanaman padi orang kampungku. Inilah yang dipercayai orang kampungku selama berbilang tahun.

“Peneuuphon” itu yang mereka namai. Aku mulai bertanya; buat apa berharap pada peneuphon. Seingatku ini ritual orang-orang Hindu tempo dulu.  Maka aku mulai membuat satu persatu “peneuphon” yang ada di sawah itu. Bungkusan yang berisi  pisang monyet bersandar pada sekuntum mawar merah dan rumput berdaun lancip serta bulirnya merompok. Dan mawar merah itu kutabung dalam saku baju. Ini akan kuhadiahi buat pacarku esok Senin pagi di sekolah. Telor ras terjepit nasi ketan di pangkal bungkusan. Ada juga rambut enau yang keras dan hitam, dua tanaman hutan yang tak diriku ketahui nama dan jenisnya. Eh, ada koin 500 rupiah, aku pun segera kuambil.

Dengan perut yang keroncongan, maka  pisang mulai kukuas dengan nasi ketan dengan lahapan hanya dua kali telan. Angin pagi pun mulai menampar wajahku yang mengelus-ngelus  yang tampak membusung kenyang. Sejak itu aku terus mengitari sawah, memburu peuneuphon. Ini perjalan yang  sangat mengenyangkan. “la la la.. la la la,” aku belajar nyanyi dan goyang pinggul seperti Yah Anda yang bergoyang menaruh bungkusan peuneuphon di tengah sawahnya, pagi tadi.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :