Sisa Luka yang Dingin

AKU lihat matanya melotot tajam. Seperti mata elang yang siap menerkam. Diam memburu aku yang terpaku. Tubuhnya kaku. Satu kain diikat di sela kosen pintu. Lehernya dililit tali. Lidahnya menjular. Ia telah mati. Tergantung di antara waktu yang sepi. Aku merasa kedinginan. Menggigil dan ketakutan. Ingin lari lalu menjerit lantang agar orang-orang segera datang. Tapi, tidak bisa. Tubuhku kaku. Tak bisa kugerakkan sedikitpun. Aku semakin kedinginan. Menggigil dan bisu. Keringat membahsahi tubuhku. Air mata kering. Membeku dalam waktu yang luruh. Sunyi. Dia terus saja menatap padaku. Dia mati di depanku. Tergantung oleh waktu. Dia bunuh diri.

Dia ayahku. Mati bunuh diri.  Mungkin ini tujuan akhir dari hidupnya setelah hampir tiga tahun diserang penyakit gila. Ya, dia gila. Gila yang didatangkan dari tempat yang jauh. Kabarnya, ayahku disantet agar menjadi gila lalu mati dengan cara seperti ini.

Empat tahun silam, ketika ayah bekerja menjadi kepala sekolah di SMA kampung kami. Ayah adalah sosok yang baik hati dan ramah terhadap siapapun. Banyak hal yang diperbuatnya mendapat pujian dari orang-orang. Selain itu, dia juga gemar bergaul dengan siapa saja. Anak muda, orangtua bahkan ibu-ibu di kampung sangat menyanjung kesederhanaan hidup keluarga kami. Di rumah, ayah adalah sosok pemimpin yang bijak. Dia yang mengurusi kami selama ibu pergi. Dia akan mudah baik dan akrab dengan orang yang baru dia kenal sekalipun. Wataknya lembut. Tak pernah menolak bila ada yang meminta bantuan padanya.

Sekali waktu, ada beberapa orang yang tampangnya masih jelasku ingat, datang ke rumah. Mereka pasang muka sangar. Salah satu diantara mereka, bertubuh kecil. Kurus. Dia kotor sekali. seperti tidak mandi berhari-hari. Mereka datang saat mestinya orang sudah larut dalam mimpi. Ya, larut malam yang sunyi. Aku terkejut karena dengan keras mereka mengetuk pintu depan. Aku keluar dari kamar. Melihat jelas tampang meraka yang sibuk mengempulkan asap rokok di ruang tamu.

“Kami perlu uang itu. Ini untuk perjuangan kedaulatan negara kita!” cetus seorang di antara mereka. Aku merasa dingin sekali. Ayah telihat kecut. Ketakutan dan tak berdaya. Mereka kembali berdebat di sana. Ayah bersikeras untuk tidak memberikan uang tersebut. Kudengar dari ayah, itu uang bantuan untuk pembangunan sekolah. Jumlahnya besar. Cukup untuk membeli satu peti peluru pemberontak.

Aku tidak diijinkan menemani ayah. Hanya ibu yang boleh ada di sana. Tiba-tiba semua menjadi gaduh. Aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Ayah berteriak-teriak. Ibu menjerit. Mereka memukuli ayah hingga pingsan. Ibuku dibawa oleh mereka. Ayah tak berdaya. Aku berteriak. Mereka memukuli wajahku. Pingsan.

Setelah sadar, kami mencari ibu. Tapi, kami tak pernah tahu keberadaan ibu. Aku tak pernah bisa berhenti menangis. Hingga pada suatu ketika, tubuhku berlumuran darah. Darah yang keluar dari hidung. Tak bisa berhenti. Aku pingsan lagi. Ayah seperti tersiksa sekali. Uang bantuan dan isterinya dirampas orang. Dia sering menghabiskan waktu termenung di pintu depan. Beberapa orang yang melayat ke rumah kami, dia tak mau peduli sama sekali. Ayah tidak bicara pada siapapun.

Seminggu setelahnya, ibu pulang. Tubuhnya compang. Lusuh tak beradaya. Ayah tertegun melihat ibu yang tiba-tiba pingsan di bibir pintu masuk. “aku diperkosa” kata ibu sambil terjatuh. Lenyap. Gamang. Ayah menjerit-jerit. Aku kembali menggigil. Dimangsa waktu yang aneh sekali. Kedinginan. Ketakutan kembali melandaku. Ayah menangis. Ibu terbaring di lantai. Ayah menganggkat ibu masuk ke dalam rumah. Orang-orang di luar hanya bisa melihat saja. Kubantu ayah yang mulai tak sanggup mengangkat ibu. Ayah terus menangis. Dia merasa sangat bersalah atas perkara yang menimpa kelurga ini. kami tebungkus dalam kepedihan. Jalan hidup yang begitu  menyiksa.

Pagi hari ketika aku baru mengusap mata untuk melihat. Aku lihat ayah tertunduk sambil menangis sendu. Ibu bunuh diri. Dia menggantung dirinya di pintu kamar. Aku menjerit. Diserang dendam yang seperti ingin menikam siapa saja. Dingin sekali. aku merindukan ibu dalam setiap hari yang kulali bersama ayah. Ibu seolah hidup dalam semangatku. Tapi, tidak bagi ayah. Ayah seperti orang tidak waras. Dia seperti seorang yang bisu. Tak sepetah katapun ia ucapkan padaku. Pada siapapun. beberapa kali dia muntah darah. Kuajak dia ketabib. Tapi, dia menolak. Hingga pada suatu ketika, aku bawa tabib itu ke rumah. Ayah murka. Dia lemparinya tabib dengan gelas dan piring makan. Ayah menjadi musuhku pula. Dia memarahi dan memukuliku.

Tabib tertawa. “Dia diracuni, aku tidak berdaya melawan itu.” sambil berpaling tabib meninggalkan rumah. Ayah disantet oleh kawanan pembrontak itu. Aku dendam. Menunggu waktu untuk membalas semua ini. Semua yang menimpa keluargaku bermula dari pembrontak biadab itu. Ibuku mati. Ayahku gila. aku menjadi yatim yang tak berdaya.

Hari ini, dingin kembali melanda tubuhku. Kaku. Ayah mati seperti ibuku yang empat tahun silam menggantung ajalnya pada tempat ini. Aku murka. Apa yang harus kulakukan sekarang? Dingin menyasakkanku. Ingin sekali pulang dijemput ibu. memeluk ayah. Tali itu sepertinya bisa buatku ke tempat ibu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :