Pesan yang Tak Sempat Terkirimkan

SUNGGUH sialan! Berbilang bulan berganti tahun hingga hitungan genap pada angka delapan, penantian hanya jadi sebuah kepura-puraan. Kali ini menimpa Buyung, seorang lajang dari Kampung Lamkutang yang memetik kecuraman dari Upik, dara yang tak pantas disebut jalang, yang berasal dari kampung sebelah kemukiman.

Selepas kepergian Upik ke perantauan demi cita-cita dan ilmu pengetahuan, Buyung bujang mencoba setia pada kebujangannya hingga masa sampai keharusan melepas lajang, ia tetap masih menjadi bujang. Tatkala kini usia Buyung sudah sangat matang untuk tidak lagi setia pada status lajang, bergudang cara dan aral melintang ia lewati demi mencari jalan agar dapat bertemu pandang dengan si Upik yang dikiranya juga masih lajang.
Penantian yang lewat kepalang! Tatkala Buyung menghempas hasrat pada gundah yang lama ia sekap hingga suatu ketika diucapkan pada Upik melalui surat yang tak panjang agar tidak berbelit-belit seperti orang lari dari utang.

Sayangnya, kenyataan di luar dari impian. “Lupakanlah aku,” sahut Upik yang juga tak mau berbelit dan tak mau berpanjang dalam surat balasan. Pada malam lain, antara Upik dan Buyung yang sudah saling berbagi user untuk chating berkesempatan saling tegur sapa yang diawali dengan saling mengucap salam. Selepas ditanyakan Buyung tentang penantian, Upik masih berkesimpulan pada suratnya sebulan silam, “Lupakan aku!”

“Semudah itukah?” balas Buyung, yang kemudian bertanya kembali atas alasan Upik terhadap jawabannya. Sayang, Upik tidak memberikan alasan seperti harapan Buyung. Ia hanya berujar, “Ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan sekarang.”

Buyung terhenyak. Dalam benak, ia coba mengingat-ingat sangat apa yang telah dijalaninya selama sekurun. Apakah penantiannya selama ini bukan hal penting? Apakah kejujurannya selama ini bukan hal penting? Apakah kesetiannya selama ini bukan hal penting? Apakah..apakah.. bergundal pertanyaan di kepala Buyung.

“Bagiku kau juga bagian yang terpenting, melebihi yang penting?” hampir saja Buyug berucap serupa itu. Ia cepat-cepat kuasai emosi agar tak lepas silap pada ucap yang belum tentu memiliki arti.

“Lupakanlah aku, lupakanlah semua tentang kita!” Ucapan Upik tersebut seperti gelegar petir di telinga Buyung. Ia serupa baru kena samun. Jauh terhenyak dalam lamun, pada masa-masa lalu berbilang tahun. “Maksudmu, Upik,” kata Buyung berpura tak paham, hingga kembali Upik harus menegaskan, “Lupakan saja tentang kita yang pernah besama. Kalau Tuhan berkehendak, kita akan bersua. Kini aku jauh di rantau orang demi cita-cita.”

Ada nada pemaksaan ditangkap Buyung dari ucap Upik barusan, paksaan agar Buyung segera dapat melupakan pada setiap kenangan dan keriangan masa silam, saat-saat mereka masih tanggung dikatakan dara dan bujang.

“Kau sungguh-sungguh, Upik?” tanya Buyung, berusaha menguatkan hatinya yang kian tercabik. “Kita hanya dapat berdoa, Buyung. Jangan terlalu larut dalam masalah tak penting ini. Ingat, tugas kita hanya berdoa, Tuhan yang menentukan.”

“Aku selalu berdoa, Upik. Tapi, apa guna doaku jika berlainan dengan doamu? Apakah Tuhan akan mengabulkan semua doa hamba-Nya? Jika demikian, bagaimana dengan doa kita yang bertentangan? Aku mendoakan dirimu agar ikhlas menerimaku, sedangkan kau berdoa agar aku dapat melupakanmu. Doa mana yang harus dikabulkan Tuhan?”

Upik diam. Buyung juga. Malam merangkak perlahan. “Jika tugas kita adalah berdoa, apakah tugas Tuhan mengabulkan setiap doa hamba-Nya? Bagaimana dengan doa kita, Upik?” lanjut Buyung . Lama setelah itu mereka saling diam. Buyung memperhatikan layar monitor komputernya.

Selepas tiga puluh menit kemudian, ia tulis sebuah pesan, “Baiklah, aku akan lakukan seperti yang kauharapkan. Mungkin setelah kaubaca pesan ini, kau pun cukup berikan jawaban dengan diam. Sungguh, selama ini aku tak pernah mengerti arti sebuah penantian dan makna sebuah harapan. Maka setelah ini jelaskan saja dengan diam.”

Buyung berhenti sejenak menulis pesannya. Ia tarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan tulisan. “Wahai kau yang sejak dulu tak pernah kusapa kekasih tetapi kau sangat tahu bahwa aku amat kasih, terlalu lama kau lepaskan aku serupa layang-layang, sedangkan benangnya ada pada genggamanmu. Inilah kelemahanku selama ini yang kututupi dan sempat kusadari.

Sekali lagi maka, setelah ini jelaskanlah dengan diam, karena aku akan berusaha melupakanmu walau itu menyalahi janjiku dengan Tuhan yang sempat kuucap suatu waktu sewindu lalu. Aku akan belajar seperti inginmu, yakni melupakanmu dan menghentikan doaku, tetapi aku akan terus mengamini doamu. Akhirukalam kulisankan syukran, jazakumullahu khairan...” Buyung menutup pesannya dengan tanpa ucapan wassalam. Belum sempat pesan itu dikirimkan, listrik di rumahnya tiba-tiba padam setelah diselidik PLN sengaja memutus arus tetangga Buyung sudah menunggak tiga bulan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :