Lelap yang Berduka

WAJAH lugu yang terlelap kelu pada relungnya yang tersayat. Lelap yang tak terurai airmata, tak meraung isak kecewa dan tak jua terniat menghabisi kepahitan nasib. Sosok itu membuat kepiluannya semakin menjadi pada lelap yang nikmat. Ketakutan membayangi dirinya yang mulai merambat tua. Ia melihat nasib mempermainkan kelemahan semata wayangnya yang tak sempurna melakoni perannya di dunia ini. Sedari kecil keluguan anaknya itu tetap terjaga dalam kesenyapannya yang tak mampu bersuara makna. Sedari dulu pula kesenyapan itu diiringi dengan ketiada berdayaannya menangkap bunyi. Namun, dalam kelemahan takdir ia berusaha menerima, dan bersama isterinya selalu menjaga dan menyemangati sang anak agar ia tak pesimis dan harus hidup di tengah banyak kesempurnaan yang mengitarinya.
Maka pendidikan harus diraih meskipun ia hanya seorang pedagang sayur. Anaknya harus sekolah walau di sekolah khusus atau luar biasa. Namun, harapan seperti sisa-sisa rongsokan. Ia masih setengah sadar saat anaknya menangis tak beraturan ingin menceritakan sesuatu yang menampar masa lalunya. Malam itu anaknya pulang dari asrama sekolahnya. Hal yang tidak wajar karena biasanya ia diperbolehkan pulang jika hari minggu atau libur saja meskipun rumah mereka juga tak begitu jauh sekali dari sekolah tersebut.

Airmata anaknya tak berhenti dalam tangis pilu. Ia memukul-mukul dadanya, menarik-narik rambutnya dan menutupi mukanya. Banyak isyarat yang ia gerakkan. Kembang kempis dadanya sesak seolah ingin berteriak dan mengucapkan semua cerita pahitnya agar memiliki makna, bukan suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya.

Begitulah cerita yang ia bawa pulang dari sebuah malam di asrama sekolahnya. Bagaimana kelemahan anaknya dimanfaatkan orang yang biadab yang seharusnya melindungi, ternyata tega menyakiti. Nurani yang pergi dari salah seorang guru sekolahnya ketika pelampiasan nafsu mengharuskan keperawanan anaknya seketika hancur sudah. Selama 15 tahun ia menjaga kesenyapan itu dari berbagai kesedihan, kini berakhir sengsara jua. Kecacatan dan kehormatan yang terenggut apakah kesempurnaan hebat dari takdir anaknya yang malang?

Malam itu ia menatap langit malam dari jendela yang masih terbuka. Masa lalu membongkar ingatan akan kemungkinan takdir malang ini menghantuinya. Dan disana ia dapati penyesalan yang sama pada apa yang telah terjadi pada anaknya. Ia merasakan deburan yang sama seperti si biadab pemerkosa anaknya dan mendapati rasa yang sama pada masa lalunya.

Malam di masa lalu itu, ia baru pulang sehabis minum-minum. Seorang gadis belia di depannya menangis mengisyaratkan pertolongan. Ia tahu betul gadis itu cucunya Nek Munah yang kurang waras alias gila. Ia tahu betul bahwa pasti kegilaannya juga membuat gadis yang seharusnya terkurung di rumah itu tidak keluar rumah di malam buta begitu. Namun, pengaruh alkohol membuatnya kehilangan sadar sebagai manusia beradab. Hiduplah keganasan di tubuhnya pada tangis tak berdaya gila yang tak tertolong itu.

Hidup memang pelajaran tak berujung. Istrinya yang tengah hamil harus keguguran dan tak bisa hamil lagi. Ia mendapati putusnya keturunan. Entah mungkin hukuman Tuhan, yang jelas sesuatu hidayah datang padanya saat melihat gadis gila semakin membesar akan perutnya dan seluruh warga kampung menghujatnya. Nek Munah dan gadis yang tak berdosa itu harus terusir dari kampung mereka.

Setiap malam-malam masa itu terus menghantuinya dan membuat ia terdesak untuk mengakui dosa pada istrinya. Hanya tangis yang mendekap mereka, tangis kebodohannya dan tangis kekecewaan istrinya. Akhirnya dengan kelapangan hati sang istri yang memaafkannya menyuruh ia mencari gadis gila dan Nek Munah agar tinggal bersama mereka.

Lahirlah bayi perempuan elok dalam tangis haru keluarga kecilnya. Tetapi, kematian pula yang harus diambil oleh ibunya yang sudah berjuang penuh membesarkan janin dengan kegilaannya. Mungkin, perjuangan membuatnya lelah dan Tuhan memanggilnya lebih cepat dari apa yang dibayangkan.

Jendela kamar tempat ia menatap lekat sosok yang terlelap tertutup di tiup angin, menyadarkannya pada lamunan. Ditutupnya jendela itu dengan hati-hati agar jangan tersentak tubuh ananknya. Ia selimuti tubuh yang semakin dewasa itu dengan wajah yang sedih dan lekat ia pandangi senyum lugu yang sedang beristirahat.

Airmatanya jatuh ketika istrinya masuk dalam kamar itu. Ia berusaha menahan tangis namun airmatanya bertambah mengalir dan terisak ia seolah menyesali masa lalu. “ Tuhan tak pernah mamaafkanku Dar, Tuhan tidak memaafkan dosa masa laluku. Tetapi mengapa harus dia? Mengapa harus padanya bukan padaku? Hukuman ini lebih berat dan lebih menyakitkan untukku.” Ia terisak sambil berusaha mengontrol emosinya. Istrinya berusaha menenangkan sambil mengusap pudaknya. Dari balik pintu perempuan tua renta mengintip dengan wajah yang sama sedih dengannya. Wanita tua itu teringat akan cucunya yang telah tiada. Mereka hanya melihat sosok yang terlelap lugu itu melewati malam dalam kepedihan takdir

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :