Menunggu Janda

Samir diam termangu di tangga rumah panggung peninggalan orangtuanya. Wajah tak bergairah seperti sedang mengalami sesuatu yang buruk, seburuk nasib yang selama ini disandang perjaka tua. Usia berkepala empat masih perjaka bukanlah masa yang baik bagi seorang lelaki. Sebagai guru sastra di sekolah menengah pertama, belum memiliki pendamping hidup. Sedang adiknya Rohid, telah punya anak tiga. Ketiga-tiganya perempuan.

Bagi Samir bukan tidak bisa kawin bersebab harga emas untuk membayar mahar perempuan di Aceh yang terlalu tinggi. Tidak! Bukan itu alasan Samir belum berkeluarga. Seperti pernah diungkapnya ketika aku bersama isteri berlebaran haji lalu di rumahnya.
Istriku dulu satu sekolah dasar dengan Samir. Maknya pernah menawarkan si Romlah kepadanya. Janda beranak dua yang di tinggal mati suaminya ketika sebuah peluru nyasar kian hari menyalak di kampungnya. Tapi Samir menyebut tidak sedikit pun menaruh perasaan pada Romlah. Tak paham ia ketika banyak duda dari kampung sebelah yang mengincar Romlah. Sedang Samir menolak mentah-mentah janda Romlah itu. Padahal, Romlah boleh dikata seorang janda cantik yang semampai. Kulit Betisnya saja kuning langsat membunting bak biji padi yang menguning. Halus mulus tanpa polesan. Tapi Samir tak juga keluar air liurnya melihat ustadzah itu. Tubuhnya yang ranum menampakkan kalau ia masih bisa memberikan anak untuk Samir. Kini Romlah hanya menjadi guru mengaji anak-anak di balai dayah Haji Suman di kampungnya.

Samir perjaka waktu ia masih kuliah di Darussalam adalah sosok wajah lumayan tampan. Kepalanya yang tampak botak menunjukkan kalau ia seorang mahasiswa pintar dan kacamata yang dikenakannya makin menunjukkan ia adalah orang pintar. Beberapa mahasiswi pernah menaruh perhatian padanya. Entah saja mahasiswi itu melirik Samir yang punya sepeda motor merek Honda Cup 70 kala itu. Jarang sekali mahasiswa bisa pakai sepeda motor di tahun 80-an waktu itu. Para mahasiswi itu ada yang mengajaknya menemani mereka ketika membuat tugas di perpustakaan kampus. Tapi Samir tetap saja menolak ketika seseorang dari mereka mengajak kencan malam mingguan. Samir ingin menjaga perasaanya pada Nurol, seorang aktivis dakwah di kampusnya. Sosok perempuan yang pernah menolak cinta Samir ketika mereka minum bandrek di depan BRI Darussalam. Nurol menolak dengan halus. Tidak pula ia jelaskan alasannya kenapa. Gundah gulana benar hati Samir ketika itu. Pernah pula ia berpikir untuk meloncat saja ke krueng Lamnyong ketika cintanya kepada Nurol bertepuk sebelah tangan.

***

Pagi itu Samir tertegun ketika satu sepeda motor melintas di depan rumahnya. Sepasang suami istri yang terkesan mereka mesra sekali. Mirip sepasang pengantin baru menikah, walau sebenarnya sepasang suami istri itu telah berumah tangga sepuluh tahun lalu. Tercengang Samir melihat kejadian itu. “Bukankah itu Kasem?” gumannya. Ia tertegun membisu. Detak jantungnya berdegub, airmata Samir meleleh melihat sepasang pasutri yang melintas itu. Tak kuasa ia melihat Kasem telah memperistri Nurol. Kasem teman seperjuangannya di kampus.

“Aku masih menunggumu Nurol, kutunggu jandamu walau engkau telah jadi nenek nantinya, hanya padamu aku masih berharap cinta dan kasih sayang. Aku masih berharap engkau akan jadi ibu bagi anak-anakku” Samir beranjak ke kamar merebahkan badannya. Otot-ototnya lemas terkulai, dan ia pandang sebuah foto dalam bingkai besar yang di bawahnya ditulis “Permataku Yang Hilang, Kutunggu Jandamu”.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :