Pemuda Dala-é

SUNGGUH mereka pemuda yang beruntung. Karena punya suara sangat merdu menghantam belenggu si nyamuk serdadu. Suaranya mendayu mengalahkan gaung jangkrik yang terkadang pilu. Semula aku heran, apa yang ditukikkan mereka dengan alat pengeras suara pula, di menasah pula, dan beramai-ramai pula.

Baru kumengerti, yang mereka lafalkan itu zikir meski tak menyebutkannya. Mereka menggoyangkan kepalanya sekali ke kiri dan sekali kekanan, kadang diikuti hentak dada dan perutnya. Mereka dan orang-orang kampung itu menyebut dala-é.
Aku menghampiri mereka sambil menghitung jumlahnya sebelas. Kitab bertulis arab di depan begitu lancer dibaca dalam ritme cepat bahkan lebih cepat daripada irama murattal,, serentak dan jelas maqharijul hurufnya, mengalun-alun pula. Disebut irama nasyid seperti di TV atau kaset, ini bukan. Atau irama gambus, juga tidak. Aku tak tahu darimana mereka mendapatkan irama semacam ini. Sungguh, ini keajaiban zikir.

“Beginilah salah satu piasan meulôd di sini, di kampung kami,” ujar seorang dari mereka ketika kuhampiri. Tampak dari sara duduknya yang melingkar, goyang kepalanya, sungguh terlihat mereka sangat menikmatinya.

Para pemuda Gampông Lhoknga itu setiap maulod, selalu mengisi dala-é dan piasan. Yang membuatku terpana, suara mereka yang menderu yang membuat setiap orang mendengar akan larut merasakan getarnya.

“Ah, seperi mantra saja,” lirihku.
“Apa? Kau bilang ayat Tuhan sebagai mantra?!” seorang dari mereka menghardikku.
Aku diam. Aku tahu yang bicara itu adalah pemimpin mereka. Kemudian aku di suguhkan sebuah kitab mungil yang mereka baca tersebut.

“Coba kau lihat, apakah ini mantra?”

Aku mengamati tulisan-tulisan arab itu. Ada yang dikotak-kotakkan. Ada yang digarisbawahi, ada juga yang ditulis diagonal di sudut-sudut lembar kertasnya. Semua dalam bahasa arab. “Ini kitab Barzanzi,” katanya.

Aku mencoba mengeja. Jelas aku bisa mengerti tulisan itu, tak ubahnya seperti yang ada dalam Alquran. Aku bisa membacanya sebab aku juga pernah diajarkan kakek mengaji sewaktu kecil dulu. Belum habis kubaca, sudah kukembalikan kitab tersebut kepada pemimpin mereka seraya mengakui jika itu bukan mantra, tapi ayat Allah.

“Lantas mengapa kalian mebacanya seperti itu? Terlalu cepat dan terkesan menghardik Tuhan?” tanyaku kemudian.

“Inilah dala-é. Seperti di daerah lain menyebutnya salawat. Kami juga sedang bersalawat, salawat dala-é. Semua yang ada dalam kitab ini adalah firman. Jika pun ada yang kami dendangkan dalam bahasa Aceh, itu semuanya nasihat. Bedanya, kami berzikir. Ini piasan meulôd dan dala-é. Ah, anggun dan nikmat!

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :