Hafizd Kecil yang Malang

SUARA itu kembali datang bersamaan desah angin malam yang menyusup, dengan pongah mengobrak-abrik bunga mimpiku yang hampir sempurna kurangkai. Aku tersentak bangun seraya mempertajam pendengaran. Ah, itu pasti suara hafizd kecil melantunkan firman di meunasah. Selarut ini? Ah, bukankah bertadarus di bulan suci  suatu yang disukai Tuhan.

Andai saja hafizd kecil itu tak menggunakan pengeras suara, maka tak merusak kenyamanan orang yang lelap menanti sahur.  Atau bila membacanya dengan suara indah alami, mengalun serak bak  riak air sungai,  akan menyejukkan batin dan  meluruhkan penat hingga tak membuat gejolak  amarah.
Hafizd, memang rajin bertadarus. Kata teungku imum, ia dapat menyelesaikan bacaan sepuluh juzz dalam semalam dengan penuh semangat. Padahal seharian penuh, ia meramaikan terminal angkot dengan seragam kondektur. Hafizd terpaksa berhenti sekolah dan harus mempertahan hidup sejak kedua orangtuanya hilang tersapuh air pasang. Kini ia bersama neneknya berteduh  di gubuk reot ujung kampung.

Aku betul-betul malu juga iri. Karena aku yang hanya separuh hari di sekolah, belum mengkhatam satu kali pun. Pernah Hafizd  menyapaku di meunasah,  menanyakan, “sudah berapa kali mengkhatam Alquran”? Aku pun hanya senyum sambil menepuk pundaknya dan menyarankan agar ia terus  menghafak siapa tahu nanti akan jadi qari cilik tersohor sekaliber Rajif Fandi.

Hafidz satu-satu bocah yang terlihat bertadarus di meunasah. Yang lainnya orangtua bahkan ada yang renta. Sedang para pemuda kampong, mereka lebih beta bertadarus di warung kopi.

Malam terus merangkak, alunan Hafizd kecil melengking terputus-putus di gerai angin. Kutarik selimut, terasa hawa pegunungan langsung menyergap, merasuki tulang sum-sum hingga sekujur tubuhku menggigil. Aku bertekad akan menjumpainya malam ini di meunasah.

 Sepanjang koridor jalan senyap yang kutelusuri, hatiku dilumuri perasaan tidak menyenangkan. Tiba-tiba suara itu terhenti sekejap tepat tatkala angin menghalau dedaun meranti. Di langit, mendung mulai menyapu gemerlap bintang hingga langit kian pekat. Hatiku mulai gusar seiring rintik-rintik gerimis yang mengigil tubuhku dalam balutan jaket. Bocah itu, kukenal suaranya, biasanya lantunannya  ada irama tersendiri tatkala di ambang senyap, perlahan dan kian mengecil. Lalu kenapa lantunan itu putus sekejap di saat begitu semangatnya ia bertadarus. Aih, pasti ada sesuatu yang tak beres di meunasah itu.

Kupercepat langkah melawan lautan gerimis yang kemudian berubah menjadi guyur hujan. Dalam remang lampu pijar, mataku menangkap sesosok bayangan termangu di pintu meunasah, tangannya yang bertumpu di atas lutut menopang jidat. Dalam pandangan buram, terlihat bajunya kuyup diterpa gerimis. Kudekati sosok kecil itu dengan hati-hati untuk memastikan apa yang terjadi dengannya.

“Hafizd, kau menangis?”
Hafizd menatapku. Pipinya lebam. Bercak airmatanya telah menodai lekuk pipinya. Barangkali ia agak tersinggung dengan ucapanku. “Maaf, kutahu pekerja kasar bukanlah anak cengeng. Maksudku apa kau sakit hati atas perlakuan ini”tambahku.

Hafizd masih bungkam. Mungkin ia sedang tak ingin berbicara, kugengam tangannya lalu kuajak pulang. Sungguh, orang-orang kampung ini sangat keterlaluan. Sudah tak meramaikan masjid, malah merasa terganggu  dengan lantunan ayat-ayat tuhan itu.  Sesampainya di perempatan jalan, kami akan menjumpai sebuah warung kopi yang tetap buka sampai sahur menjelang. Hafizd kemudian berjalan agak terburu-buru. Aku kian penasaran. Beberapa pemuda  tergelak bermain batu, sebagian lagi kulihat menatap Hafizd yang sedang berlari ketakutan dengan tersenyum sinis.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :