Laki-Laki Itu…

DIA sudah lama datang, sebelum kertas yang bertuliskan nama-nama yang bernasib baik itu ditempel di sana, di papan informasi pada sebuah kantor lembaga pendidikan di kotanya. Laki-laki paruh baya itu, kini ia dongokkan kepalanya ke depan sembari menggerak-gerakkan telunjuknya pelan-pelan pada kertas itu. Mengurutkannya satu demi satu, apakah namanya tertera atau tidak. Harapan satu-satunya bahwa namanya juga tertera di papan itu. Namun ia tak mendapatkannya. Biar kini telah mengajar selama delapan tahun di sebuah sekolah menengah pertama.

Dadanya mulai bergemuruh, menahan nafas ketidakberdayaan yang sekian kali. Tiba-tiba pandangnya mengabur. Ia tambah gundah tak terkira. Kini ia harus pula menahan rasa perih yang mulai memuncak. Ternyata semua itu tak lagi berarti.
“Bagaimana Pak, apakah namanya ada di situ?” tanya seorang laki-laki yang dari tadi melihat tingkahnya.

“Tidak,” jawabnya pelan.

“Bapak mengajar di mana?” lanjut laki-laki di sampingnya.

Lalu ia menceritakan bahwa ia telah mengajar di sebuah sekolah swasta di kampungnya selama delapan tahun. Bahkan telah berkali-kali, setiap pengumuman nama guru yang lulus pemutihan pegawai negeri yang tanpa tes itu pada tiap tahun, namanya selalu tidak pernah dicantumkan. Padahal dia sudah sering mengikuti berbagai pelatihan, pernah menjadi dewan hakim debat bahasa Arab tingkat kabupaten  yang dilaksanakan pihak dinas pendidikan, dan tahun lalu ia mendapat sertifikat penghargaan dari kementrian pendidikan nasional atas partisipasinya mengikuti sayembara karya tulis guru tingkat nasional  

“Mungkin karena Bapak mengajar di sekolah swasta. Sekarang guru sekolah swasta tidak bisa dipegawaikan. Berarti mulai sekarang Bapak harus mengajar di sekolah negeri” ujar laki-laki di sampingnya, sambil menatapnya dengan iba.  

“O, begitu,” sahutnya, manggut-manggut.

Kemudian ia beranjak keluar dari komplek kantor itu. Keringat lelahnya mulai mengucur deras di wajahnya di bawah sengat matahari siang yang mengukus bumi. Ketika beberapa tukang becak, mereka menawarkan jasa kepadanya, ia hanya tersenyum.

“Oh, tidak! Aku akan berjalan kaki saja sampai ke terminal labi-labi,” batinnya. Ia berpikir, jika naik becak tidak cukup uang untuk belanja nanti. Apa lagi kini sedang bulan puasa, banyak kebutuhan yang harus ia beli untuk berbuka. Kalau ia sendiri, mungkin bisa makan alakadarnya. Tapi kini ia telah memiliki seorang istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Sang anak tidak mengerti jika sang ayah sedang memiliki uang untuk membeli ia diinginkan. Mereka melihat teman tetangga yang ayah mereka selalu membawa makanan untuk berbuka.

Walaupun kini harapannya telah pupus. Namun ia tak mudah meninggalkan dunia yang telah ia tekuni sekian lama itu. Menjadi guru, mengajarkan anak-anak negeri ini dengan ilmu yang telah ia miliki, adalah pekerjaan yang mulia. Yang senantiasa mendapatkan keberkahan hidup. Bahkan gurunya dulu, saat ia masih menimba ilmu, selalu mengajarkan agar memiliki ketulusan dalam hal apapun.  Begitu pula saat istrinya nanti bertanya, laki-laki itu akan menjawab seadanya. Ia berharap bahwa istrinya akan mengerti tentang sesuatu yang sedang menimpanya, pikir laki-laki itu di tengah keriuhan kota itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :