Aku Pulang

Hari sudah sore ketika RBT  yang kutumpangi berhenti di depan pagar sebuah rumoh Aceh bercat kuning dengan tulak angen warna-warni yang terlihat kusam pudar. Di samping bawahnya berdiri rumoh daphu bewarna senada, masih seperti dulu. Sederhana dan rapuh.

Dua puluh satu tahun sudah aku meninggalkan tempat ini untuk mengejar harapan di Malaysia. Masih teringat jelas malam itu gerimis menghujam saat sangkur senapan  iblis loreng yang mencariku mengoyak perut Ayah dan  pontang-pantingku menembus kebun belakang terus ke persawahan melewati hutan, perkampungan, kota, lalu entah bagaimana kakiku tiba di pelabuhan dan berlayar ke utara menjadi pendatang haram yang hidup dalam pelarian.
Kubuka pintu pagar perlahan. Kulihat halaman depan  tampak sepi, gemerisik daun  jambu terdengar dan luruhan daun belimbing wuluh bewarna kuning yang dibawa angin membelai kepalaku. Di jalan setapak berbatu bulat kecil-kecil bewarna hitam dan kelabu kujejakkan langkah, menuju rangkang di bawah rumoh Aceh yang merapat ke dinding rumoh daphu.  Sebagian rangkang itu tertutup oleh bleut yang di atasnya berserakan asam sunti yang bewarna kecoklatan. Sepertinya baru saja dipindahkan dari tempat penjemuran.  Kuletakkan barang bawaanku di sampingnya, lalu kusisakan sedikit ruang untuk tempatku duduk.

Aku melepas penat sejenak setelah lelah dalam perjalanan tanpa henti dengan pesawat ke Banda Aceh dan diteruskan dengan berdesakan dalam mobil L-300 ke Sigli. Masih  harus disambung dengan labi-labi ke Pasar Beureuneun dan terakhir dengan RBT kemari. Kuluruskan kakiku yang agak kaku karena terlalu banyak duduk. Badan terasa pegal. Kuperhatikan sekeliling setiap sudut perkarangan dan bangunan. Dua puluh satu tahun bukanlah waktu yang singkat memang, tapi tak banyak yang berubah.

Kita tidak pernah  tahu ke mana nasib akan mengarah. Dua tahun pertama dalam pelarian adalah neraka. Aku nyaris mati tiada daya menghamba harapan, tak pernah tahu apakah hari esok masih ada untukku. Sendirian hingga akhirnya aku menemu seorang Pakcik yang baik hati dengan seulas senyum mengangkatku dari lubang keputusasaan. Aku bagai hidup lagi. Beliau memberiku pekerjaan di sebuah rumah makan miliknya. Kian hari kepercayaannya bertambah, hingga akhirnya memberikan anak gadis semata wayangnya kepadaku. Hidupku cukup baik setelah itu, namun tetap saja hatiku merindu jalan pulang.

Aku ingin kembali bertemu dengan ibu dan adik-adikku. Entah bagaimana keadaan mereka, masih hidup atau ikut pergi bersama ayah malam itu. Aku tak pernah tahu. Bertahun-tahun rasa itu harus kupendam, karena rasa takutku dimangsa iblis  seperti yang dialami ayahku.

Suatu hari tak segaja aku bertemu dengan seseorang perantau yang berasal dari kampung yang sama denganku. Dia mengenal ibuku. Katanya ibuku baik-baik saja, begitu juga dengan adik-adikku. Keadaan tak lagi sekelam dulu, semua perlahan membaik. Namun, aku tetap saja tak punya keberanian untuk pulang. Masa lalu begitu dalam mengikat rasa takutku, atau mungkin inikah yang disebut trauma? Seberapa banyak orang-orang yang sepertiku? Entahlah.

Kini aku memberanikan diri menginjak lagi tanah kering di bawah rumah. Di sinilah dulu ayahku terbaring dengan usus terburai, karena menahan para iblis  yang mengejarku setelah mendengar bisikan halus sang pengkhianat yang tak pernah tampak. Dulu, aku hanya seorang pemuda tamatan SMA yang tak tahu menahu soal menegakkan negara baru. Yang kutahu saat itu bagaimana caranya membantu ayahku agar asap di dapur bisa terus mengepul. Namun entah bagaimana mereka bisa sampai kepada kami dan menghancurkan segalanya.

Sore kian luruh dan malam nyaris jatuh ketika dari kejauhan kulihat pintu pagar dibuka oleh seseorang, wanita tua agak bungkuk dengan kerudung lusuh di kepalanya. Di tangannya kirinya tersemat sebuah pisau, sedangkan tangan kanannya mengapit beberapa pucuk daun dan bunga pepaya, juga daun umbi dan buah labu yang tak seberapa besar. Wanita itu kian mendekat dan melihatku di atas rangkang. Alisnya mengernyit dengan mata menyipit susah payah berusaha mengenaliku dengan matanya yang mulai lamur dimakan usia. Tak lama matanya membesar dan segurat senyum melengkung di bibirnya. Wanita itu masih mengenaliku.

“Firman...?” ujarnya.

Aku menghambur ke arahnya. Aku peluk tubuh ibuku yang renta itu dengan pisau dan sayuran masih di tangannya.

“Mak, Firman pulang mak.” Kataku dengan mata yang bulai mengaca, “Mak kiban? Sihat?”

“Iya, mamak sehat-sehat.”

Aku melepas pelukanku. Kristal-kristal cair meleleh dari dua matanya. Gurat-gurat waktu terlihat telah menggores dahi, sudut mata, dan bibirnya begitu rupa. Wajahnya lelah, namun semangat di mata dan senyumnya tak pernah padam, sama seperti dulu ketika ayah masih ada. Untuk sesaat kami dipagut diam, biar saja air mata yang berbicara mengenai kerinduan dan kebahagian yang tak mampu lagi kami lukiskan dengan sekadar kata.

“Ayo kita masuk dulu,” ajaknya memupus kebisuan seraya menghapus air mata dengan ujung kerudungnya dan membuka pintu.” Mamak baru pulang dari lampoh tunong memetik sayur untuk nanti malam.”

Aku mengikutinya di belakang sambil menjinjing tas bawaanku. Begitu banyak hal yang ingin kusampaikan padanya setelah dua puluh satu tahun penantian, tapi  aku menunggu  beberapa saat lagi, menunggu sampai air matanya kering.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :