Menghitung Hari di Samudera

Birunya langit terhampar dengan gulali putih yang bergerombol, namun tak surutkan lidah matahari menjilati ubun-ubun. Ke mana mata memandang hanya biru, tak di atas tak di bawah. Biru tak berujung. Di atas ada  langit dan di bawah ada samudera luas. Kami terhanyut dalam gelombang di arus laut yang tak tenang.

Tiga hari sudah kami di sana. Tak tahu akan  berapa hari lagi sampai seseorang datang menemukan kami.  Entah nelayan kapal besar, entah kami masih tetap bernafas kala itu atau sudah membusuk dan kering seperti ikan asin. Atau tinggal tulang yang sedang dipatuki burung-burung.

Entahlah kami ada di mana. Mungkin di perairan india, atau mungkin di perairan Afrika. Kami tersesat tak tahu arah dan tujuan. Tiga hari lalu, aku dan Amat berangkat melaut dengan perahu motor bantuan pemerintah yang kuterima setahun lalu ini. Boatku yang lama sudah porak poranda dihantam tsunami. Amat adalah anak tetanggaku, umurnya 19 tahun. Dia minta ikut melaut denganku, karena ingin membantu keluarganya. Ibunya meninggal dua tahun lalu. Ayahnya  sakit-sakitan, tak sanggup lagi melaut. Adik-adiknya masih kecil, sementara mereka tak punya uang sepeser pun. Karena itu aku tak kuasa menolak permintaannya untuk melaut bersamaku. Sudah tiga bulan dia ikut denganku. Biasanya kami berlayar malam hari dan kembali keesokan harinya.

Tapi naas bagi kami malam itu. Tiba-tiba saja cuaca berubah. Angin kencang bertiup, gelombang meninggi, kami terjebak badai. Mesin boat kami yang tadinya baik-baik saja tiba-tiba mati, padahal minyaknya masih penuh. Kami terombang ambing antara hidup dan mati. “Tidak! aku belum siap mati, aku belum mau mati. Bagaimana dengan Minah yang minta dibelikan sepatu baru? Si Umar yang ingin masuk SD? Si Laila, istriku yang selalu setia menungguku di rumah? Lalu,  keluarga si Amat?” Itu yang bercokol di kepalaku kala itu. Rasa takutku berkecamuk. Aku belum siap menjemput kematian, aku takut bertemu Tuhan, lalu gelap.

Aku terbangun oleh percikan air yang menyentuh wajahku. Perlahan  antara mata yang menyipit kutemukan cahaya yang menyilau. Matahari dan warna langit yang menghampar menggagah di atasku.

“Sudah bangun?” Sebuah suara yang begitu kukenal menyapa dari belakang.

“Amat?”Aku memutar badanku ke belakang,”Kau tak apa-apa?”

“Iya, saya tidak apa-apa.”

“Di mana kita sekarang?”

“Entahlah, saya juga tidak tahu, sejauh mata memandang hanya laut.”

Kami terus terombang-ambing di lautan. Mesin boat kami tetap tidak menyala meski berapa kali  coba dihidupkan. Persediaan air habis. Begitu juga dengan bekal yang disiapkan istriku kemarin sepertinya  terjatuh di lautan ketika badai. Sebenarnya hampir semua barang kami hilang, termasuk pukat dan lampu seuruengkeng. Semuanya tenggelam.

Kami kehausan meski dikelilingi oleh air. Air asin hanya akan membuat kami makin haus. Rasa lapar turut menerjang. Apa yang harus kami lakukan, tak ada satu perahu atau kapal pun yang melintas. Mungkin kami bisa bertahan sampai nanti malam, tapi setelah itu kami akan melemah, dan kehilangan kesadaran. Apa yang harus kami lakukan?

Saat itu tanpa sengaja aku melihat gulungan benang pancing yang tersangkut di lambung perahu. Ada mata pancing yang terikat ke benangnya. Ukurannya kecil,  hanya bisa untuk menangkap ikan-ikan kecil. Aku ingat pancing itu milik si Umar yang beberapa hari lalu aku ajak memancing di dekat pantai. Mungkin aku bisa menangkap ikan dengan itu. Tapi kami butuh umpan. Aku ajak si Amat untuk mencari umpan di perahu. Siapa tahu ada teri yang terjebak pukat semalam atau keong yang tak menempel di perahu. Pokoknya apa saja yang bisa dijadikan umpan.

Beruntung Amat menemukan keong kecil di dinding perahu. Aku melempar pancingku dan berharap semoga tak ada ikan besar yang memakannya, karena benang pancingnya tak akan cukup kuat menahannya lalu berakhir dengan kehilangan mata pancing yang menjadi harapan kami satu-satunya.

Dengan sabar aku menunggu, lima menit, sepuluh menit, mungkin setengah jam kemudian baru aku merasakan umpanku ditarik. Perlahan aku mengulur dan menarik benangku, hingga akhirnya ia keluar dari permukaan laut. Amat menyambutnya dengan kedua tangannya, lalu dengan hati-hati melepas mata pancing dari mulut ikan yang seukuran setengah telapak tangannya.

“Minum darahnya,” ujarku.

Amat menatapku sesaat. Rasa enggan jelas terpancar dari matanya.

“Iya, minum darahnya,” ujarku lagi. “Kita tak punya persedian air, suka atau tidak kau harus melakukannya untuk bertahan hidup.”

Dengan enggan Amat mengoyak tubuh ikan itu dengan giginya dan menghisap darahnya. Aku ambil sedikit daging ikan itu untuk umpan, lalu kulempar  pancingku sekali lagi ke lautan.

Begitulah kami bertahan hidup hingga hari kedua, menghisap darah ikan dan memakannya mentah-mentah. Di hari ketiga kami kehilangan mata pancing. Kami tidak makan atau minum, dan masih tak ada perahu atau  kapal yang melintas. Tubuh kami semakin melemah di hari ketujuh dan terpaksa minum air laut. Aku dan Amat menelungkup di lambung perahu. Tak ada hujan, kulit kami perih terbakar matahari. Bibir kami terkelupas. Mungkin kami akan berakhir di sini, di atas perahu ini.

Hari kesepuluh Amat sudah tak bergerak. Aku tak tahu apa dia masih hidup atau sudah mati. Aku terlalu lemah untuk memeriksa nafas atau denyut nadinya. Aku kembali teringat dengan keluargaku. Mungkin hari ini adalah hari terakhirku. Maafkan aku Minah, Umar, Leila, dan Amat, aku harus pergi. Aku mulai kehilangan kesadaran. Kepalaku pusing. Aku mencapai batas, lalu hilang tak sadarkan diri.

                                   ***

Hari kesebelas. “Look! A boat “(Lihatlah, ada sebuah perahu)

“Anyone there (Ada orang di sana)?”

“Dunno, but wait... I see something (Entahlah, tapi tunggu, aku melihat sesuatu)?”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :