Cerpen Dukun Buang Jin

Beberapa bungkusan tergantung di pohon asan (angsana) besar itu. Terikat pada cabang setinggi orang dewasa berdiri. Entah apa isi bungkusan berbalut kain putih sebesar bola kaki tersebut. Kontras dengan tali penggantung dari ijuk berwarna hitam yang tersimpul rapi, pertanda benda itu sengaja dibuat dan digantung di pohon asan kebun itu.

Tidak seorangpun warga kampungku berani mendekat untuk memastikan apa isi di dalam bungkusan tersebut. Nuansa angker terasa tatkala ada yang mencoba mendekati tempat itu. Warga yang saban sore mencari ternak lupa pulang saja tidak berani mendekat walaupun lembu, kerbau atau kambingnya tidur-tiduran di bawah rindangnya pohon tersebut. Warga lebih memilih melempari ternak mereka dengan batu dan ranting-ranting kayu agar meninggalkan tempat itu.

Kebun itu lumayan luas. Terletak di ujung kampung dekat dengan persawahan, agak jauh dari pemukiman penduduk. Pemiliknya orang kaya kampungku yang bermukim di luar negeri. Kebun itu dibiarkan semak tanpa ditanami tanaman musiman atau tanaman perkebunan. Pohon besar seperti sentang, asam jawa, dan pohon-pohon besar lainnya banyak tumbuh di sana. Keumiki dan naleung lakoe menutup rapat setiap jengkal tanahnya. Hanya di bawah kerindangan pohon asan itu tampak bersih, mungkin karena sering disinggahi oleh seseorang yang memiliki tujuan khusus sampai menggantungkan bungkusan-bungkusan misterius.

Warga kampungku menyebut kebun tersebut dengan umpung burong. Kaum ibu sering menakut-nakuti anak mereka yang nakal dengan ancaman akan mengikat si anak seorang diri di kebun angker itu jikalau si anak tidak patuh dan tetap nakal.

***

Malam itu malam purnama dengan sedikit mendung. Aku dan Siyan sedang memasang perangkap meunom di pinggiran sawah. Tampak sebuah sepedamotor pelan-pelan merayap di jalan tengah sawah. Rasa penasaran membunuh rasa takut dan memaksa kami untuk mengintainya. Menjadi kebanggaan tersendiri apabila kami berhasil menggagalkan tindak kejahatan seperti pencurian ternak.

Sosok itu mendorong sepedamotornya ke parit dangkal sisi selatan kebun angker dan menutupinya dengan jumpung. Setelah berhenti sejenak di sana, lantas dia masuk ke kebun angker itu dengan menenteng sesuatu.

Kami memasuki kebun angker memutar dari arah timur, dengan harapan tidak diketahui oleh orang asing itu bahwa dia sedang dalam pengintaian kami. Pelan-pelan aku dan Si Yan memasuki semak. Cahaya purnama sedikit menerangi Bumi, namun kerindangan pohon asan tetap membuat kami tidak mengenali sosok tersebut.

Lebih 15 menit kiranya kami menunggu tanpa melihat makhluk lain hadir berdiri di hadapan sosok berbaju hitam yang bersila di sana, seperti dalam film-film horor yang kami tonton di warung kopi Apa Raman. Hanya orang asing itu sendiri masih tetap bersila. Tidak lama kemudian ia membuka bungkusan. Lalu berdiri dan berusaha menggantungkan di sisi cabang asan yang lain. Aku menghitung, ada empat bungkusan yang tergantung di sana, ditambah satu lagi yang baru saja digantungkan. Kesemua benda itu berayun pelan, mungkin dikarenakan hembusan angin.

Setelah itu sosok tersebut memasuki belukar. Tak lama kemudian deru suara sepedamotor terdengar, pertanda ia telah pergi. “Yan, ayo pulang,” kataku setengah berbisik. Tanpa menjawab, Si Yan perlahan mundur dan berbalik arah. Sesampai di balee meulasah, aku dan Si Yan langsung tidur dengan mengambil posisi di tengah-tengah tanpa memperdulikan beberapa teman yang sedang asyik dengan handphone-nya di berbagai pojok balai itu.

***

Sore itu aku sengaja menjumpai Guree Maknu di ploko kampong. Guree Maknu adalah lelaki tua mantan centeng di perkebunan. Konon, dia menguasai ilmu silat dan magis. Beliau adalah sosok yang disegani di kampung. Beliau juga menjadi guru bagi anak-anak atau remaja yang berminat belajar silat.

Ploko pada sore itu sepi. Hanya dia seorang diri duduk sambil mengisap rukok oen. Setelah menyapa dan menyalami dengan takzim, aku duduk di sebelahnya. Kuceritakan padanya apa yang telah kusaksikan.

“Hahahha.” Guree tertawa. “Kenapa Guree?” Tanyaku penasaran. “Itu dukun membuang jin” tukasnya. “Siapa dia?” tanyaku

“Kamu mau tahu? Untuk apa? Tidak penting bagimu,” jawabnya. Aku semakin penasaran dengan jawabannya itu. Memang sosok misterius itu bukan warga kampung kami, karena aku mengenal setiap gerak-gerik warga kampungku, walaupun dalam suasana remang-remang.

Di tengah kebingunganku, dia melanjutkan, “Begini, saya sudah lama tau apa yang dikerjakan oleh orang yang kamu lihat semalam. Dia seorang dukun. Yang digantung itu merupakan jin-jin yang dia dapat dari pasien dia, setelah mengobati. Dibungkus dengan kain putih lantas dibuang,” jelasnya.

‘Apakah dibuang sama dengan digantung di pepohonan?” sergahku penasaran

“Begitulah. Selama tidak ada yang menerima makhluk itu sebagai sahabat seseorang, maka ia akan tetap di sana, di tempat di buang itu. Kelak pohon itu akan mati karena tidak sanggup menanggung”

“Apakah makhluk itu tidak akan merasuki warga kita? Apakah tidak akan ada warga kampung kita yang kerasukan gara-gara ulah dukun itu?” tanyaku. “Oh tidak… seperti kamu menggunakan handphone, jika tidak menelpon si Hasni apakah si Hasni akan menerima panggilan mu di Hp-nya?” tanya Guree dengan tersenyum. “Tidak,” jawabku tersipu malu, karena Guree tahu aku menyukai Hasni, anak keuchik di kampungku.

Akhir cerita dia mengatakan bahwa, “Pawang buya matee bak buya, pawang rimueng matee bak rimueng.” Aku hanya mengangguk-angguk saja mendengar petuah Guree Maknu.


Dua tahun berlalu, kini aku berada Negeri Semenanjung, bekerja di kedai runcit membantu paman. Pagi itu seperti biasa, kubuka laptopku membaca berita situs koran terbitan nanggroe, sebagai pengobat rindu kampung halaman. Aku tersentak membaca berita dari kampung tetanggaku: Seorang dukun digebuki beramai-ramai, dibacok lagi. Konon, dia memiliki ilmu kebal. Kemudian pengadilan jalanan dilanjutkan dengan membakar rumah sang dukun.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :