Cerpen Malem Diwa

Malem Diwa bukanlah pendekar, bukan juga suami dari seorang Putroe Bungsu. Ia hanya pemuda biasa. Seorang abang dari lima orang adiknya yang yatim, seorang aktivis ketika masih kuliah dulu, seorang pengurus remaja mesjid di kampungnya, dan seorang penganggur setelah menamatkan kuliahnya. Belakangan, Malem Diwa juga sempat diisukan gila di kampungnya.

Begitulah mungkin biografi yang pantas untuk seorang sarjana muda, Malem Diwa. Kebingungan demi kebingungan kerap melandanya setelah tiga tahun ini memikul ijazah. Sebuah beban jiwa yang sulit ia urai dengan kata-kata. Sulit juga ia tulis meski ilmu yang dituntutnya adalah ‘Bahasa dan Sastra’.

Dalam kesendiriannya Malem Diwa mulai sering berujar bahwa nasib mempermainkan hidup diri dan keluarganya. Terlebih setelah kemarin pagi ijazah sarjananya ditawari sepuluh ribu oleh Kasem, si pedagang sayur yang kehabisan kertas pembungkus bawang di kiosnya.

Malem sangat terpukul karena itu, meski dia tahu sesungguhnya Kasem hanya bergurau. Malem merasa takut jika harus menjadi penganggur justru setelah mendapatkan gelar sarjana.

Bukan lantaran malu pada tetangga, bukan juga pada rekan-rekannya, tapi sebab terlalu pedih perjuangannya dulu. Pernah beberapa kali ia harus berurusan dengan pihak kampus karena telat membayar SPP, atau karena tidak meng-copy bahan, atau juga karena menulis makalah dengan tangan. “Ini bukan lagi zaman batu, Malem. Bapak menolak makalahmu!” Kalimat itu sudah menjadi langganan mulut Pak Juned setiap kali memeriksa tugas makalah Malem.

Memang kenyataan yang kini diterima Malem pantas untuk ditangisi. Semua tetangga pun tahu perjuangan hebatnya dulu. Sedari kecil Malem telah mencari uang sendiri demi menamatkan sekolah.

Kini dia sering terlihat pada bukit-bukit kecil kembar yang melingkar di sekeliling rumahnya, juga pada jalan setapak di pinggiran sungai. Atau saat laut senja memerah dia juga terlihat duduk mematung pada tumpukan batu besar penghalang ombak di ambang samudera. Dari atas batu-batu raksasa itulah saban hari berlalu matanya menatap tak jemu ke arah gugusan pulau kecil di tengah Samudera. Pucuk-pucuk gunung yang terlihat ranum itu seakan memanggilnya untuk segera berkunjung dan berlabuh di sana. Sebuah pulau dimana seorang temannya bermukim di sana.

Pikiran Malem pun jadi kacau. Akal sehatnya semakin kotor. Ranjang kecil tempat tubuh rikihnya berbaring tak pernah lagi terawat. Juga tak terlihat lagi selembar sajadah yang dulu senantiasa menggantung pada paku dinding kamarnya. Mak Saudah tak sanggup lagi menasihatinya. Memang pada bulan-bulan pertama keanehan putranya itu ia terlihat panik sekali. Berbagai cara pun diusahakannya supaya Malem tidak terus terpuruk meratapi nasibnya. Namun, sia-sia saja. Malem tak kunjung tersenyum juga.

Entah dengan adik-adiknya. Mungkin juga akan mengikuti jejak Malem. Surat peringatan dari sekolah masih tergeletak di meja makan. Mulai minggu depan bocah-bocah itu tidak diperbolehkan lagi masuk kelas jika uang SPP belum terbayarkan.

*****

Suatu siang, Mak Saudah kedatangan tamu. Tamu yang sudah tak asing lagi baginya. Namanya Banta, teman seperjuangan Malem semasa sekolah dan kuliah dulu. Malem dan Banta berteman dekat sejak kecil. Mereka sama-sama aktivis dulu. Dan mereka juga diwisuda bersamaan tiga tahun lalu. Hanya saja nasib Banta sedikit lebih mujur. Beberapa bulan yang lalu dia memilih menyimpan ijazahnya dan memutuskan untuk menjadi petani.

“Bagaimana keputusanmu?” tanya Banta lagi. Malem hanya tersenyum. Kemudian tubuh kurus itu menghela nafas panjang dan kembali menghisap sebatang rokok yang diberikan Banta tadi. Kepulan asap dan tawa kecil menghiasi kamar yang sehari-hari dibalut sepi itu.

“Aku tau kau tidak gila”

“Memang siapa yang berpikir aku gila?” jawab Malem sambil terkekeh.

“Tapi kalau begini terus, nanti kau bisa gila benaran?” Banta juga terkekeh

“Tapi idemu konyol, Banta!”

“Setidaknya tidak lebih konyol dari apa yang kau lakukan selama ini di kamar ini.”

“Baiklah, seberapa besar keyakinanmu?” Kali ini Malem bertanya serius.

“Sebesar rasa peduliku terhadapmu, kawan,” jawab Banta mantap.

“Mengenai risiko nanti?”

“Bahkan terus bertahan di kamar ini saja kau bisa berisiko, kan?!”

“Iya, tapi… ,” Malem terdiam.

“Sudahlah, gak pake tapi-tapi. Ini kesempatan terakhirmu. Aku pun sudah cukup lelah merayumu selama ini. Jika memang setuju, besok Subuh kau datang ke rumahku. Bawa baju-bajumu juga. Boat temanku menjemput kita Jam setengah tujuh pagi,” ucap Banta meyakinkan, kemudian bangkit dari tempat duduknya. “Aku pulang dulu.” Banta menepuk pundak kawannya itu, lalu berlalu pergi.

***

Saat seisi rumah telah terbuai mimpi, Malem masih ribut dengan bisikan-bisikan hatinya. Mungkin inilah saatnya Malaikat dan Jin di sisi kanan dan kiri Malem bertarung mempertahankan argumen masing-masing. Tapi bisikan Jin ternyata lebih berasa dan masuk meresap pikiran Malem. Seakan sia-sialah ilmu yang selama ini dituntutnya dan malulah hatinya pada sekalian remaja masjid yang sekian lama ini digemblengnya untuk menjadi pribadi-pribadi mulia. Malem pasrah. Apa mau dikata, kemiskinan memang dekat dengan kekufuran. Maka menjelang Subuh hari itu Malem mendekati pintu kamar Emaknya.

“Baiklah, jika memang itu keputusanmu, nak. Semoga kau berhasil di sana.”

“Iya, mak. Tidak perlu khawatir. Sesering mungkin saya akan berusaha pulang menjenguk emak,” ucap Malem menenangkan maknya yang bermuka sedih.

“Tapi...” Mak Saudah menghentikan kalimatnya.

“Bukankah kebun kosong milik Chik Suman juga diizinkan untuk sekadar kau pakai tanam cabe?” Mak Saudah menyambung kalimatnya dengan nada lemas.

“Tidak mak, tanah di pulau itu lebih subur daripada tanah-tanah di sini. Doakan saja saya berhasil dan pulang dengan selamat supaya adik-adik bisa tetap bersekolah.” Malem berujar dengan mata berbinar. Sebenarnya ia tak tega. Sungguh tidak ada niat di hatinya untuk membohongi orang yang disayanginya. Tapi kali ini terpaksa dia lakukan. Hatinya berkecamuk perasaan aneh. Sepanjang perjalanannya menuju rumah Banta menangis. Seakan pohon-pohon yang dijumpainya di sepanjang jalan setapak ikut melaknatnya. Di penghujung malam buta itu ia pergi dengan tujuan mulia, tapi dengan cara ternoda: Malem akan bertani ganja. Ini untuk menyambung hidup keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya.


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :