Cerpen Mantan Pejabat

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Usianya tak terasa sudah mencapai kepala enam. Padahal, rasanya ia belum lama menjadi pejabat penting. Telpon sehari hanya dua kali berdering. Dari anaknya yang masih kuliah, atau dari sesama mantan yang kesepian. Padahal, ketika ia menjadi pejabat, setiap lima menit sekali teleponnya berdering. Bahkan ada pula yang nekat menelponnya tengah malam. Rasanya waktu itu sibuk sekali. Tapi semua telpon berurusan dengan proyek.

Yang tampak tidak siap adalah istrinya. Istri mantan itu merasa dihempaskan begitu saja, dari puncak gunung ke lembah curam. Tiada senyum ibu-ibu arisan. Tiada sanjung puja ibu-ibu yang butuh pertolongan. Bahkan sangat sepi dari bingkisan-bingkisan ataupun cenderamata.

Anaknya tujuh, semua masih mentah. Masih sangat jauh diharapkan jadi pewaris tongkat estafet kedudukannya. Sebutan anak pejabat berlalu sudah. Anak-anaknya tidak lagi banyak teman.

Malam itu ia sedang baca koran. Sengaja ia pilih artikel yang ringan-ringan, yang tidak ada kaitannya dengan dunia pemerintahan maupun politik. Seperti biasa, istrinya menemani dengan gaya istri seorang pejabat. “Mestinya bapak mencari kesibukan lain,” kata istrinya tiba-tiba. “Kesibukan gimana?” tanya suaminya seraya melipat-lipat koran. “Orang lain pun banyak yang mantan, tapi mereka berusaha bekerja lagi di perusahaan lain.”

“Aku sudah lelah Bu, makanya pemerintah memberikan hak pensiun padaku. Itu agar aku istirahat!”

“Tapi kebutuhan kita masih banyak, Pak?”
“Waktu aku masih jadi pejabat, ibu pun selalu mengatakan begitu!” kata dia seraya mengambil air minum di cangkir antik kesayangannya. “Wong kita ini masih hidup, tentu banyak saja kebutuhan!”

“Kalau hanya untuk makan saja, gaji pensiunanku pun cukup? Habis, untuk apa lagi?”

Istrinya cemberut tak senang. “Lihat Pak Darto, Pak Kamrin, Pak Duleng, mereka pun mantan seperti bapak. Tapi mereka semua bekerja lagi di perusahaan swasta. Kalau bapak mau bekerja, toh banyak bekas anak buah bapak yang dulu merengek-rengek minta proyek. Saatnya mereka membalas jasa kebaikan kita.”

“Jadi, aku harus menghinakan diri untuk jadi anak buahnya?”
“Yang penting halal!”
“Aku tidak mau diperbudak oleh uang!”
“Tapi kita masih memerlukan uang banyak!”
“Kau saja yang berusaha, jual semua tanah simpanan! Buka PT, kau direktrisnya. Saya ingin istirahat!”
“Itukah tanggung jawab seorang suami?”
“Ya!”
Esoknya sang istri benar-benar menjual semua simpanan tanah, termasuk bukit-bukit yang tidak produktif. Dengan tekad keras, dibukanya sebuah PT. Kemudahan ternyata dengan menjual nama mantan suaminya.
Suaminya tak pernah ikut campur. Sehari-harinya hanya menyetel lagu-lagu klasik, nonton video noltalgik, dan bermacam-macam hiburan lainnya. Ia tidak perduli bahwa istrinya sibuk.
Enam bulan kemudian. Di suatu malam, istrinya mengajak kembali berbincang-bincang.
“Tender besar itu jatuhnya ke tangan orang lain! Bapak tahu kan kepala bagian yang menangani proyek itu?” kata istrinya. “Siapa, ya?” suaminya berbalik tanya.
“Dulu kan dia pernah merengek-rengek ke kita untuk menjadi kepala bagian. Eh, sekarang melihat sebelah mata pada kita. Macam-macam saja alasannya!”
Suaminya hanya manggut-manggut.
“Kita hanya diberi proyek perbaikan gorong-gorong, perbaikan pagar-pagar kota, dan yang kecil-kecil lainnya!”
“Itu pun sudah bagus!”
“Bagus? Apanya yang bagus? Kita dihina orang!”
“Biarlah.Yang penting hidup kita bersih!”
“Bersih? Bersih apanya? Saya tahu persis dulu bapak sering menerima uang bingkisan. Kenapa kita sekarang harus sok alim?”
“Itu dulu. Dan itu bukan korup. Toh mereka memberikan padaku berdasarkan kerelaannya. Aku tak pernah minta.”
“Anak kita butuh biaya kuliah. Hampir puluhan juta rupiah tiap tahun, bayangkan!”
“Kenapa bingung? Tangani saja secara bijaksana!”
“Kau tampaknya sudah apatis, Pak?”
“Ya.”
“Kenapa jadi berubah tiba-tiba?”
“Ini hati nuraniku yang sebenarnya!”
“Kalau dulu-dulu, apa itu bukan hati nuranimu yang sebenarnya, Pak?”
“Yang dulu-dulu bukan. Melainkan permainan sandiwara, karena jadi pejabat berarti harus pandai bermain di panggung sandiwara. Tapi, kalau sudah mantan, pemainan itu harus benar-benar kujauhi. Lagi pula, siapa yang mau peduli sama mantan? Seperti apa yang telah kukatakan tadi, aku ingin kembali ke hati nuraniku yang sebenarnya. Hati yang tenang, yang tak terusik oleh permainan busuk dan akal-akalan.”

Istrinya terdiam. Mungkin ia terdesak, atau kehabisan kata-kata. Sesaat suasana pun hening. Namun di lubuk hati mereka seakan tetap bergolak, karena ambisi yang terpenjara terus memberontak.
“Apa kau akan membiarkan istrimu bangkrut?” kata istrinya memecah kebisuan.
“Itu kan gagasanmu? Manajerialmu?Mengapa harus melibatkan aku?”

“Baiklah! Kalau begitu aku tidak akan peduli lagi apa kepentinganmu. Aku tidak akan menyediakan ini-itu untuk kepentinganmu. Jangan ikut makan rezeki untuk anak kita. Makansaja dari pensiunmu itu. Kita satu atap, tapi sebenarnya kita sudah pisah!” ujar wanita itu dengan nafas memburu penuh marah.

“Akan kujual rumah ini untuk kujadikan modal. Dan ini harus segera kulakukan. Suamiku kini sudah impoten, loyo! Sebentar lagi pun mati konyol!” lanjut wanita itu mencak-mencak.
Dan ketika kata terakhir diucapkan, jantung lelaki itu benar-benar berhenti. Istrinya terkejut Dia menyesal dengan kata-katanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :