Semangka Kuning

Po Ramlah belum sanggup menyekolahkan satu pun dari kelima anaknya. Kini dia bercita-cita, setidaknya  Rasimah si  bungsu bisa menjadi pegawai negeri sipil. Janda itu berpikir perempuan muda masa kini yang berstatus PNS akan dengan mudah mendapat calon suami. Tak perlu dinanti, si calon akan datang sendiri.

Po Ramlah pun berencana menyekolahkan Rasimah bulan depan. Harapannya, sebagaimana harapan warga lain di kampungnya, adalah  semangka yang sedang menjalar di sepetak sawah. Kalaulah orang lain kuasa menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke perguruan tinggi dari hasil panen semangka setiap tahunnya, “Kenapa saya tidak?” gumam dia.

Sepertinya cita-cita itu akan digapai Po Ramlah, karena sudah sebulan ini semangka yang ditanam dalam sepetak sawah sudah muncul buahnya seukuran lengan orang dewasa. Banyak pula. Ibarat gemintang bertabur di langit malam segala malam.

Tahun ini semua warga sepakat mengorbitkan semangka kuning; kulitnya hitam kehijauan, dagingnya kuning. Itu karena tahun lalu semangka kuning amat diburu muge--penggalas--dengan harga Rp 5 ribu per kilo. “Mahal sekali,” kata Po Ramlah. “Kita bisa naik haji usai panen,” sela tetangganya. Tapi warga kecewa tahun lalu. Mereka lebih banyak menanam semangka merah; mereka menyebutnya timon taiwan. Hanya Toke Lah yang menabur biji semangka kuning. Lelaki yang berani pada hal-hal baru itu pun mampu naik haji begitu panen semangka usai. Ia juga mampu menyekolahkan anaknya mengambil S2--magister--ke Negeri Jiran.

Warga riang sekali sebulan kemudian. Juga Po Ramlah. Lihatlah di persawahan kampung, semangka kuning sudah siap petik. Mereka pun sepakat untuk panen serentak, kecuali Toke Lah yang kali ini menanam semangka merah kembali.

Hari pertama panen, warga girang, terutama Po Ramlah. Ia sudah menduga kalau selangkah lagi Rasimah  bisa duduk di bangku Sekolah Dasar. Hari kedua, warga mulai linglung. Semangka kuning yang disusun rapi di bibir jalan negara sudah ada yang lebam-lebam. Tak ada muge yang datang, tak seperti tahun lalu sang penggalas tak perlu diundang. Namun, mereka sedikit lega ketika ada pembeli yang melintasi di jalan Banda Aceh-Medan itu, berhenti, lalu mau membeli satu-dua buah dengan harga Rp 2 ribu per kilo, dari patokan semula yang bernilai Rp 5 ribu. Memang ada satu dua muge yang datang, tapi petani semangka itu tak mau menjualnya kalau di bawah harga Rp 5 ribu. Para muge pun tak mau ambil pusing, “Tahun ini lebih mahal harga semangka merah hai Po Ramlah,” seorang muge membocorkan rahasia. Mengetahui itu, Toke Lah tersenyum kecil sambil membersihkan semak di sela-sela batang semangka merahnya yang siap dipanen lusa.

Maka raut muka mereka di hari ketiga usai panen pertama kian cemberut. Tumpukan semangka kuning mulai membusuk. Pun terbersit di hati mereka, kenapa tak mau menuruti saran Toke Lah tiga bulan lalu saat sebelum menabur. Lantas, daripada membusuk semua dan tak ada uang sedikit pun, mereka menjual juga semangka kuning dengan harga di bawah Rp 2 ribu.

Po Ramlah mengerang. Dia menangis di sudut rumah panggungnya. Rasimah sudah pasti tak bisa sekolah. Sebab, musim ini kali terakhir ia mawaih--menggarap sawah milik orang lain--pada Toke Lah. Tahun depan, “Mungkin saya lebih baik mengemis saja,” gumamnya. Warga lain pun demikian. Dan mereka iri pada Toke Lah yang kembali kaya raya tahun ini. Sebanyak 10 ton semangka dengan harga Rp 5 ribu per kilo, sudah cukup bagi Toke Lah untuk naik haji kali kedua dan menyekolahkan putranya ke luar negeri lagi.

“Jangan bersedih,” hibur Toke Lah suatu hari, “Po Ramlah bisa kembali menggarap sawah saya.”  Po Ramlah mengusap air mata. “Tapi dengan satu syarat,” kata Toke Lah. Apa itu? Po Ramlah tersenyum. “Rasimah yang cantik itu harus jadi anak angkat saya,” sahut pria berkacamata itu. Pok, Po Ramlah tersungkur dan tak bersuara di lantai rumahnya.

1 komentar:

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :