Cerpen - Potret Kumal Itu

Cerita Pendek - Bola binar itu akan selalu pecah menjadi derai embun, yang meruap menjadi gegaris bening di permukaan wajah ovalnya tatkala menatap wajah lelaki tirus itu. Alaida selalu kulihat mendekap foto kumal selepas kami mengaji . Tapi, aku tak bisa melihat lakon itu berlama-lama. Hatiku seperti diiris. Lebih baik kupalingkan saja wajahku dan berlari jauh darinya. Aku ingin pergi menjauh hingga rasa cemburu itu menghilang. Dulu aku suka sekali wajah murung Alaida, wajah yang selalu terlihat anggun bagiku saat ia bersedih. Maka aku selalu menggodanya saban malam selepas kami mengaji dari Balee Manyang untuk memancing mendung di wajahnya yang sangat kunikmati. Dan hari-hari menjadi lembaran resah yang membuncah dari ceruk hati paling dalam.

Sekarang ketika melihat aura itu ada sesuatu yang membuat hatiku bergejolak, perih! Entah apa yang membuatnya berkesan pada roman lelaki di foto itu. Lelaki yang berwajah tirus dan berambut gondrong. Ada tahi lalat di pipinya. Bagiku tentu tak ada yang istimewa. Aku bertambah muak saja kalau melihat potret lelaki yang tangannya menenteng gitar itu.

“Dari desas-desus kabar yang kudengar, Alaida pernah menjalin hubungan dengan lelaki itu. Dulu, dulu sekali ketika Alaida baru tamat SMA. Katanya lelaki itu pernah menolongnya ketika tersesat di kota saat mencari alamat Pak Cik. Ida kan baru masuk kuliah saat itu. Barangkali bunga cinta itu terpahat di hati mereka saat itu juga,” ujar Umi, Ibu Alaida pada suatu malam lepas pengajian. “Ya ,mau dibilang apa, urusan hati kan tak boleh dipaksa!”


Untuk seorang perempuan kampung, ibunya mungkin paham ‘hak azasi manusia’ bahwa seorang anak harus diberikan kebebasan memilih pendamping hidup. Orangtua tak boleh mengatut-atur, apalagi memaksanya. Seperti juga seorang guru yang bisa dituduh melanggar HAM dan dipolisikan, jika sedikit saja tangannya mengenai badan siwa nakal. Tapi, aku juga punya argumen lain: Bahwa seseorang harus diberikan pengetahuan yang cukup dulu, baru kemudian diberikan kebebasan memilih, sehingga pilihan-pilihannya rasional. Kalau tidak, bisa disebut penjerumusan seorang anak. Bagaimana mungkin aku membiarkan seorang gadis cantik , anak orang terhormat pula, dirayu oleh seorang pengemis jalanan hingga terpikat hatinya. Aku tak bisa terima, sekalipun aku dituduh melanggar hukum internasional.

“Jangan seperti itu juga. Ingat kan petuah mendiang Abunya dulu bahwa perempuan baik harus memilih lelaki yang baik juga,” ujarku. Umi hanya tertunduk lesu. “Fahri, diam-diam aku memperhatikan dirimu selepas mengajar ngaji. Kulihat ada sesuatu yang berubah darimu,” ujar Umi dengan tersenyum. “Kau selalu terburu-buru pulang saat melirik Alaida!”

“Mak, aku belum tentu menjadi lelaki terbaik bagi Alaida. Tapi jangan sampai dia dipinang orang tidak jelas.” Aku coba beradu argumen dengan ibunya. “Tapi aku takut Fahri, takut akan terjadi hal buruk jika tidak menuruti keinginannya,”ujar Umi

Aku juga membayangkan hal yang serupa. Apalagi sudah berapa hari ini ia tak makan. Sungguh aku dihadapkan pada perkara yang rumit. Tapi sebenarnya aku merasa terlalu banyak ikut campur terhadap urusan keluarga Alaida, padahal tak mempunyai tali silsilah sedikit pun dengannya. Tugasku di rumah itu hanya melanjutkan pengajian warisan mendiang Abu Chik Mansur, karena beliau tak mempunyai anak laki-laki yang dapat memikul tanggung jawab ini. Abu Chik memang pernah berpesan diambang sekaratnya padaku agar senantiasa menjaga dan membimbing Alaida sepeninggalnya. Hatiku langsung berbunga-bunga kala itu, karena kutahu kemana maksud petuah Abu Chik hingga hari-hariku kemudian dilanda keresahan mendalam jika saja ada lelaki yang coba menaruh kuntum bunga di hati Alaida.

***

Belum sempurna remang pagi, suara gaduh itu mulai mengusik zikirku lepas Subuh. Aku segera membuka pintu rumah. Beberapa orang berlarian dengan tergesa-gesa ke rumah Alaida. Keuchik Haji, tetangga sebelah, memberitahu bahwa Alaida hilang dari rumahnya. Lalu beliau sibuk mengarahkan orang kampung beramai-ramai mencari gadis itu dengan cara berpencar. Sebagian pergi ke gunung, sebagian lagi ke kampung jiran. Hatiku dilanda gelisah. Aku takut akan terjadi sesuatu yang tak kuinginkan. Sesampai di rumah Alaida, tangis Umi pecah ruah. Beberapa perempuan tampak berusaha menghibur beliau.

Tiba-tiba Saleh berlari dengan nafas terenga-engah dari kejauhan. “Alaida, Alaida terdampar di pinggir sungai. Tubuhnya terbujur kaku sambil mendekap sebuah foto kumal,” ujar Saleh. Semua orang terperanjat.

Aku tertegun. Aku menyesal. Andai saja aku tidak curiga berlebihan pada lelaki gondrong hingga mengancamnya untuk tak kembali lagi, mungkin cinta Alaida tak akan terkatung-katung hingga patah berkeping-keping di hamparan kematian. Alaida, semoga Tuhan mengampuni diriku yang telanjur berambisi memilikimu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :