Teriakan Untuk Dek Gam

KOKOKAN ayam telah memecahkan kesunyian. Goresan fajar telah rebah di puncak Seulawah. Sautan kumandangan pun  terdengar jelas di telinga. Tak ada yang istimewa hari itu. Seperti biasanya, aku bangun dari terlelap dan bergegas menunaikkan perintah-Nya. “Ah, mengantuk,” pintaku dalam keremangan. “Lailahaillallah,”  muazin mengakhiri azannya. Perlahan kakiku melangkah menuju sumur yang ada di belakang rumah, lalu bergegas masuk ke kamar untuk mengambil peci. Di dalam kamar pajangan gambar ayah melekat erat di dinding. Ayah telah lama tidak pulang. Pergi entah ke mana. Selama konflik melanda, ayah telah meninggalkan rumah. Kami hanya tinggal berdua sama Dek Gam. Sedangkan Ibu sudah duluan meninggalkan kami ketika melahirkan Dek Gam, empat tahun silam. Sebelum pergi, ayah meninggalkan ucapan terakhir kepadaku: Jaga adekmu baik-baik ya nak, ayah pergi sebentar ke gunung.” Dia lantas  berlalu bersama rekan-rekannya.
Ayah memang pejuang. Beliau sudah lama bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersama rekan-rekan seperjuangannya. “Ayah sudah berikrar untuk mempertahankan tanah Aceh ini.” Ceritanya pada aku saat ibu lagi mengandung Dek Gam. Aku terdiam sejenak. Kulihat Dek Gam yang tergeletak membisu di tikar pandan. “Kasihan Dek Gam,” cetusku dalam hati. Kemudian kutatap lagi foto ibu yang terletak berseberangan dengan foto ayah. “Bu, aku berjanji akan menemani dan menjaga Dek Gam sampai dia mandiri, bu. Aku sayang sama dek gam.” Kataku kepada ibu dengan nada membisik.

                                       ***
Jarum jam terus bergerak. Aku tak menghiraukan itu lagi. Kuambil peci yang tersangkut di samping foto ayah. Dek Gam masih terlelap di dekat dinding foto ayah. Bintikan air yang menempel di wajahku meleleh dan mengenai wajah Dek Gam yang terlelap di atas tikar. Dengan kagetnya Dek Gam terbangun. “Hujan bang, ya,” ketus Dek Gam sambil melihat ke atap yang terbuat dari daun rumbia. “Tidak,” jawabku singkat. Mata Dek Gam masih menatap atap dengan penasaran. “Kok ngak, ini air apa juga. Bukannya rumah ini bocor kalau hujan turun,” batinnya berkata. “Abang pergi ke musalla dulu ya, Gam”. “Iya,” sahut Dek Gam.

Jarum jam masih menunjukkan pukul setengah enam. Dek Gam terlelap lagi. Aku melangkah pergi ke musalla yang tidak jauh dari rumah. Dari kejauhan Tampak tengku imam sedang melaksakan salat sunat. Aku melepaskan sandal dan meletaknya di samping pintu masuk musala. Cuma ada lima orang yang ada di dalam musalla.

                                       ***
26 Desember Pagi itu, seperti biasanya, aku pergi ke pasar membantu paman berjualan sayur. Sehabis jualan biasanya paman memberiku uang. Uang yang aku dapat itu aku simpan di rumah. Aku ingin membeli sesuatu untuk Dek Gam. Tiga hari lagi Dek Gam berusia lima tahun. Aku ingin kasih sesuatu untuk dia. Aku ingin membahagiakannya pada hari itu.
“Dek Gam, abang pergi dulu ya?” ketusku sama dek gam. “Iya, bang,” sahut Dek Gam sambil memagang robot kesukaannya.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 08.25 WIB. “Sepertinya aku merasakan sesuatu,” ucapku. Paman sibuk dengan dagangannya. Getaran bumi semakin kuat. “Gempa,” teriak seorang ibu. “Keluar..keluar...keluar dari dalam toko.” Teriakan itu begitu keras dari arah kananku. Aku diam membisu. Semua orang berhamburan di jalan. Tak ada aktifitas lagi.  Gempa sudah berhenti. Orang-orang terus membicarakan apa yang terjadi tadi. Kulihat seorang ibu tua sedang mencari anaknya. Aku jadi teringat Dek Gam. “Ya Allah, bagaimana keadaan Dek Gam di rumah.” Rasa gelisahku terus memuncak.

Berselang beberapa menit, orang-orang berhamburan lagi di badan jalan. Terdengar suara teriakan dari kejauhan: air laut naik. Surya telah memuncak di ubun-ubun. Keadaan sudah tenang. Tak ada lagi air laut. Yang ada cuma suara histeris. Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Aku terus saja menangis. Ribuan orang berkumpul di daratan tinggi untuk menyelamatkan diri. Teriakan histeris terus bersautan. Dengan tertatih-tatih orang kembali ke daratan yang sudah hampa, karena diterjang ganasnya air pasang. Tak ada rumah, tak ada manusia. Cuma ada pohon-pohon dan mayat yang bertebaran.

Aku terduduk terpaku. Pikiranku hampa. Aku tak tahu lagi kampungku,  rumahku, dan musalla itu.  Mulutku jadi kaku. “Dek Gam, Dek Gam, “ cuma itu yang keluar dari mulutku. Aku menatap paman. “Paman, di mana Dek Gam, Dek Adi,  Bibi,” kataku dengan patah-patah pada paman. Paman hanya membisu. Tak ada kata-kata. Mata paman berkaca-kaca. Aku terus menangis. Isakan tangis terjadi di mana-mana. Bumi terasa telah kiamat.

Aku terus mencari Dek Gam. Kudekati puing-puing rumah. Kulihat foto ayah tersangkut di pohon kelapa. Rumahku sudah datar dengan tanah. Tak ada bekas. Cuma ada pondasi. Mayat berserakan di dekatku. Kulihat baju Dek Gam tersangkut di puing kayu yang dia kenakan tadi pagi.  Hatiku terguncang. Pikiranku buntu. Aku hanya bisa pasrah dan terdiam bersama paman. Kuambil baju Dek Gam yang tersangkut itu sambil berteriak. “Ya, Allah, di mana adikku. Jangan Engkau ambil dia dariku,” teriakku lepas. Paman tak sanggup menahan bendungan air matanya. Kami hanya bisa pasrah atas musibah ini. Aku duduk dekat paman. Paman memelukku sambil berkata, “sabar Jal, ya!”, sebelum akhirnya kami berusaha  mencari jasad Dek Gam, Bibi, dan Dek Adi.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :