Cerpen - Sang Pengkhianat

Malam itu purnama tinggal separuh, angin bertiup melewati tingkap, menjalari seisi ruangan bergaya Eropa, menubruk dada dan bermain di sela-sela pakaiannya. Laki-laki itu duduk bersila di atas sajadah, menekuri malam dengan mata tertutup. Usianya baru empat puluh dua tahun, namun gurat-gurat waktu menitip kerutan lebih dari semestinya.

Ada kegelisahan yang membuncah, rasa marah berbalut benci, namun terpendam dalam di lubuk hatinya. Dia menggelegak, kadang mengganggu, tak ingin patuh tapi harus. Demi cita-cita, demi sesuatu yang diperjuangan diam-diam, demi kebebasan yang terenggut dan akan direbut kembali meski apa pun caranya.

Sejurus matanya terbuka dan mencengkram ujung sajadah. “Tiga tahun aku di sini, menjadi kaki tangan kafir-kafir itu. Selama tiga tahun pula aku menjadi musuh saudaraku sendiri, bahkan Pocut istriku, pun meragukan kesetiaanku pada bangsaku. Mungkin ini adalah harga sebuah pengorbanan yang harus aku tanggung. Aku tak mengharapkan pengertian mereka, karena jika saatnya tiba nanti, mereka pasti paham,”gumamnya pelan.

Perlahan dia bangkit. Dilihatnya di atas ranjang istrinya terlelap. Dia melangkah keluar dari biliknya menuju halaman dan berdiri tegak di antara dua meriam legam menatap separuh bulan yang mulai menghilang. Niatnya sudah mantap, tak ada lagi keraguan. Lima hari dari sekarang adalah waktunya.

“Pang Laot,” serunya seolah berbicara pada angin.

“Lon Tuan, Ampon,” jawab sosok di kejauhan yang bersila di atas balai-balai di dekat kolam.

Sosok itu berbadan tegap dengan pakaian bewarna gelap, perlahan dalam bayang-bayang dia mendekat.

“Lima hari lagi kita berangkat, besok pagi sampaikan pada Deykerhorf kita akan menyerang benteng Lam Krak. Kita butuh persenjataan, amunisi dan perbekalan.”

“Get Ampon.”

Pang Laot pun pergi menembus kegelapan, menyisakan derap langkah yang cepat, namun bisu. Sementara itu, laki-laki bergelar ampon itu masih berdiri tegak memanah bintang dengan matanya.

Helai-helai waktu meluruh, empat hari berlalu sudah. Di pagi ke lima langit kelabu, laki-laki itu telah berdiri di depan pasukannya, dengan pakaian kebesaran seorang jenderal dan bintang emas di dada, sebuah rencong tersemat di pinggangnya.

“Atur barisan, kita berangkat!” ujar laki-laki itu.

“Siaap!”

Gemuruh langkah berderap. Laki-laki itu meninggalkan markas besar Belanda bersama iring-iringan pasukan dengan senjata lengkap, amunisi, uang, dan segudang ilmu militer serta taktik perang modern di benaknya. Kepada Sang Gubernur dia berkabar benteng Lam Krak akan direbut, namun dalam benaknya tersimpan tipu daya.

Di bawah naungan langit mendung mereka melangkah, semakin lama semakin jauh menyisakan butiran debu yang mengapung di daun-daun.

“Pang laot,” ujar laki-laki itu yang berjalan beriringan dengannya,”Apa kau takut mati?”

“Tidak Ampon.”

“Kenapa?”

“Semua orang pada akhirnya akan mati Ampon,” jawabnya, “Semua hanya masalah waktu.”

“Apakah pengkhianat masuk surga, Pang Laot?”

“Entahlah Ampon, biarkan saja Tuhan yang memikirkan itu.”

“Ah, mungkin aku akan masuk neraka...”

“....”

***

“Lapor Jenderal! Pasukan Teuku Umar tidak menyerang benteng Lam Krak, dia justru kembali ke Lampisang dan mengumpulkan pasukan di sana bersama gerilyawan lainya.”

“Wat?! Godverdomme!!”

Mendengar berita pembelotan, Gubernur Deykerhorf murka bukan kepalang. Ternyata selama ini dia telah memelihara ular berkepala dua.

“Kau bodoh Deykerhorf, dari dulu sudah kukatakan kau tak bisa mempercayai pengkhianat,” ujar seorang pria berkumis lebat yang bersambung dengan janggut rapi sepenuh dagunya, tampangnya cerdas, penuh wibawa seolah tahu segala. “Kau sama sekali tak belajar dari peristiwa Kapal Nicero, Deykerhorf. Anjing tetaplah anjing meskipun kau sematkan pakaian padanya.”

“Diam kau, Snouck! Jangan campuri urusanku!” seru Deykerhorf.

“Terserah kau saja, yang jelas pusat tak akan tinggal diam setelah mendengar ini,” ujar Snouck Hurgronje sambil melenggang meninggalkan Deykerhorf di kantornya.

Deykerhorf terpaku diam. Dia cukup tahu apa yang akan terjadi begitu pusat mendengar berita ini. Dia harus siap melepas posisinya sebagai Gubernur Hindia Belanda. Tapi, sebelum itu terjadi, dengan kedudukan yang masih dimilikinya, operasi militer besar-besaran dilakukan untuk memberangus sang pengkhianat.

***

Deykerhorf dibebastugaskan, namun tiga buah kapal perang berlabuh di Ulee Lheue. Jenderal Vetter, sang gubernur yang baru, bersama para pasukan telah datang dari Batavia untuk menggempur Teuku Umar di Lampisang. Mulanya Vetter mengeluarkan ultimatum agar Teuku Umar menyerah dan mengembalikan semua senjata dan perbekalan yang dicurinya, namun bagai berbicara dengan batu. Semua sia-sia.

“Majuuu!”

“Hancurkan mereka!” Bunyi dentingan pedang, letupan senapan dan meriam bersahut-sahutan, teriakan demi teriakan mengaung di udara, percikan darah menghambur, membaur anyir dibawa angin. Pekik takbir dan lengkingan kematian menyambut setiap hembusan nafas yang putus atau berusaha menyambung hidup dalam tebasan demi tebasan tak berbilang, untuk kebebasan!

“Jangan menyerah!”

“Udep saree, matee syahid!”

“Allahu Akbar!

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :