Cerpen - Maryamah dan Kitab Diarinya

Maryamah adalah gadis pendiam. Tak banyak bicara dan suka menyendiri. Diam bagi Maryamah lebih berharga daripada mengeluarkan sebaris kata. Maryamah tak memiliki sahabat. Sahabatnya hanyalah sebuah buku mungil yang saban hari ia tulis dengan kata-kata.

Hari ini adalah hari ke-720 ia berada di pesantren Hijjah. Artinya, Maryamah telah berada di pesantren terpadu itu lebih kurang dua tahun. Di pesantren tempat ia tinggal kini, tak ada satu pun teman yang bisa ia jadikan sahabat. Sebab, apa arti seorang sahabat jika mulutnya layak toa yang selalu mendengungkan permasalahan si Maryamah ke setiap telinga.

Kala itu, Fika adalah sahabat pertama Maryamah ketika ia baru masuk ke pesantren Hijjah. Begitu rapat dan dekat Maryamah bersahabat dengan Fika. Sekali waktu, tanpa sepengetahuan Maryamah, ternyata Fika mengabari seorang ustad di pesantren tersebut bahwa Maryamah menggunakan handphone. Tanpa butuh waktu lama, kamar Maryamah digerebek dan benda yang dikatakan Fika ternyata benar adanya.

Memiliki handphone di pesantren adalah petaka besar. Hukumannya sangat berat. Dan hukuman itu kini tengah dijalani Maryamah. Maryamah harus menghormat matahari selama enam puluh menit.

Satu detik berlalu. Menit bertukar. Dan hukuman Maryamah untuk menghormat matahari hanya tinggal lima menit lagi. Tiba-tiba seluruh tubuh Maryamah menyentuh tanah. Maryamah pingsan tak sadarkan diri satu hari setengah.

Itulah sepengal kisah Maryamah tentang mengapa ia begitu membenci yang namanya sahabat.

***

Segenap kisah sehari-hari Maryamah kini tak pernah ia lisankan lagi kepada orang lain, baik ke ustazah di pesantren maupun kepada kedua orang tuanya. Kisah-kisah kesehariannya selalu ia lisankan pada kitab diarinya. Ada sebuah buku mungil yang tak pernah lupa ia lukiskan kata-kata sebelum ia terlelap malam.

Pelajaran baru saja dimulai, namun sang guru belum tiba. Lima menit kemudian, masuklah sang guru beserta seorang pemuda kurus, namun tampan bersama sang guru.

“Baiklah semuanya, mulai hari ini, mata pelajran bahasa Indonesia akan diajarkan oleh Bapak Imza.” Gemuruh tepuk tangan membahana, memenuhi setiap sudut ruang kelas II.

Hari-hari terus berlalu. Maryamah semakin tersipu. Guru bahasa Indonesia itu membuatnya kian membatu. Maryamah semakin diam. Hati Maryamah telah disiram dengan madu ketampanan sang guru bahasa Indonesianya itu.

“Kaukah kumbang yang kan membawaku terbang di atas angin duhai pak Imza? Adakah kau tahu, di sini dan saat ini, ada sebait rasa di hatiku untukmu. Malam ini, di bawah pancaran sinar bulan yang begitu mendamaikan, aku ingin esok kau memberiku seonggok senyum. Sebuah senyum yang mungkin akan membuatku memberanikan diri untuk mengutarakan bait rasa itu.”

Maryamah selesai menulisi diarinya. Kini ia beranjak tidur. Sebelum memejamkan mata, ia menyebut nama guru bahasa Indonesianya itu sebanyak tujuh kali. Dan matan Maryamah pun terpejam menuju alam mimpi.

Pagi menjelma dengan hamparan jubah keemasannya. Sang guru bahasa Indonesia, Pak Imza, masuk ke dalam kelas Maryamah. Semua mata terpesona dengan penampilan guru bahasa Indonesia itu. Ia masuk dengan gagah. Setelah mengucapkan salam, sang guru bahasa Indonesia langsung memulai pembelajarannya. Tidak seperti biasanya, sebelum mengajar pak Imza menyempatkan diri membuat siswa-siswa tertawa. Hari ini, senyum pun tidak ada hingga pelajaran berakhir.

Hari ini Maryamah tak mendapatkan senyum seperti yang ia harapkan semalam. Hati Maryamah sedih. Ingin menangis, namun apalah arti sebuah tetesan air mata jika guru bahasa Indonesianya itu tak pernah paham akan rasa yang tengah membalut Maryamah.

Sudah seminggu Maryamah melewati malam dengan kelam. Sudah seminggu juga guru bahasa Indonesianya itu tak pernah lagi melayangkan senyum ke arahnya. Dan rasa itu kian menggila menghentak-hentak hati Maryamah.

Hari ini Maryamah masuk kelas seraya membawa kitab diarinya. Menjelang istirahat, Maryamah dipanggil ke kantor sang kepala sekolah. Ketika langkah pertama Maryamah memasuki ruang kepala sekolah, terdengarlah seuntai kalimat.

“Pak Kepala Sekolah, sepertinya saya akan berhenti mengajar di sekolah ini,” ucap sang guru bahasa Indonesia. Kalimat itu langsung membuat Maryamah berdiri tegak di depan guru bahasa Indonesianya.

“Bapak akan meninggalkan kami?”

“Ya, Maryamah. Bapak harus segera kembali ke kampung Bapak, Takengon.”

Mata Maryamah memerah. Ada bulir bening yang hendak terjun ke luar dari kelopak matanya. Akhirnya, bulir bening itu menetes jua dan mengenai ujung sepatu Pak Imza. Pak Imza tak menanyakan mengapa Maryamah harus menangisi kepergiannya.

Setelah berpamitan pada sang kepala sekolah, Pak Imza langsung keluar menuju tempat parkiran. Kini tinggallah Maryamah dengan hati yang teriris-iris. Kekasih dalam hatinya itu telah pergi dan takkan pernah kembali lagi ke sekolahnya.

“Pak Imza,” ucap kepala sekolah. “Sepertinya Bapak tidak bisa meninggalkan sekolah ini sekarang, sebab kami sedang sangat membutuhkan Bapak.”

“Saya minta maaf, Pak, saya memang harus meninggalkan sekolah ini. Saya harus kembali ke kampung saya.”

“Pak, sekali lagi saya ulang, sekolah ini sedang sangat membutuhkan Bapak. Ini tentang hidup dan mati sekolah ini, Pak.”

“Maksud Bapak apa?”

“Bapak tahu Maryamah? Ia siswa yang cerdas di sekolah ini. Dialah yang akan mempresentasikan semua keunggulan sekolah ini esok hari pada pertemuan kepala dinas pendidikan seluruh Aceh. Jika Maryamah tak hadir pada acara pertemuan tersebut, sekolah ini selamanya akan berstatus seperti ini, swasta. Dan Bapak tahu apa yang dilakukan Maryamah ketika ia tahu Bapak akan beranjak dari sekolah ini? Ia takkan menghadiri pertemuan tersebut.”

“Jadi, apa hubungannya Maryamah dengan saya?”

“Pertanyaan yang bagus,” sahut sang kepala sekolah. “Maryamah mencintai Bapak?” ucap Maryamah memotong pembicaraan kepala sekolah.

“Maukah Bapak menerima rasa yang telah lama saya pendam ini? Jika Bapak mau merimanya, sekolah ini akan berubah statusnya menjadi negeri, dan jika Bapak menolaknya, sekolah ini selamanya akan seperti ini.”

“Maaf, Maryamah, semua itu tak mungkin Bapak lakukan. Maaf, Bapak tak bisa menerima rasa yang kamu miliki itu.”

Maryamah berlari ke kamarnya dengan membawa segenap hati yang telah menjadi keping-keping. Rasa yang selama ini menghentakkan hatinya ternyata hanya mampu membuat Maryamah tersiksa. Maryamah semakin tersiksa. Hari-hari yang dilaluinya kini kian kelam. Tak ada lagi semangat hidup. Ia telah pergi seiring langkah kaki sang guru bahasa Indonesia yang kembali ke kampung halamannya.

“Malam ini aku akan menjumpai Tuhan. Abadi di sisinya adalah sebuah kenikmatan.”

Maryamah terlelap panjang. Paginya, kala mentari pagi menggelar jubah keemasannya, berita duka tentang kepergian Maryamah pun merebak ke seluruh pesantren Hijjah. Maryamah tengah bersua Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :