Sang pengingat

Malam ini aku diserang bimbang. Dua kubu kepentingan bergumul dalam tempurung kepala. Satu, mengharuskanku tetap memicing kedua bola mata pada menara buku di atas meja, sementara yang lainnya menangkap pedar lelah dan kantuk yang mengeram di dua ceruk mata. Sisi itu merayuku berbaring dalam buaian, menikmati pejam barang sebentar. Namun sisi pertama bangkit mendobrak, mengingatkanku akan kepentingan yang patut kuperjuangkan.

Sebenarnya, aku sudah belajar cukup lama. Tak hanya sejam-dua jam, aku telah mengasah otakku sejak dua minggu lalu demi sebuah kepentingan yang mutlak. Aku harus lulus tes seleksi pegawai departemen idamanku. Dan tahun ini adalah kesempatan terakhirku, karena peraturan terbaru membatasi usia pelamar tes seleksi pegawai menjadi 27 tahun. Aku tak tahu pihak berkepentingan mana yang menerbitkan peraturan baru yang bagiku amat merugikan itu. Mengapa juga pihak-pihak itu begitu doyan memangkas peluang rakyat berharapan sepertiku?

Ah, tahun depan aku sudah tidak punya peluang dan harapan. Karenanya malam ini aku harus mati-matian mempersiapkan amunisi demi tes seleksi yang berlangsung esok hari. Setidaknya, malam ini hingga hasil tes diumumkan, aku masih bisa berusaha dan berharap.

Mataku tak lagi awas menekuri deret-deret kalimat. Sepertinya pertumbuhan kantuk tak lagi dapat kuhambat. “Kau bersungguh-sungguh ingin menjadi pegawai departemen itu, Nak?” tanya seorang kakek berjanggut panjang, berbaju putih. Aku tak segera menjawab tanyanya, mulutku masih terperagah dengan kemunculannya yang tiba-tiba.

Aku pasti tengah bermimpi. Sudah sering aku mendengar cerita tentang seseorang yang ditemui seorang kakek bijaksana dalam mimpinya. Tapi aku tak peduli ini mimpi atau bukan. “Apa kau bertekad masuk ke departemen itu dengan tujuan menjadi kaya dan berkuasa?” tanya kakek itu lagi, seperti seorang polisi yang menginterogasi.

“Tentu tidak, Kek. Aku hanya ingin mengamalkan ilmuku. Sejak mulai menapak bangku kuliah, aku sudah berangan-angan masuk ke departemen itu agar bisa memperbaiki nasib bangsa dan negara ini. Kalau pun lewat departemen itu, aku bisa menjadi kaya maka itulah bonusnya. Tapi tetap saja, aku tidak mau memperoleh kekayaanku dengan cara yang tak benar,” tuturku lancar bak menjawab pertanyaan manajer HRD.

“Bagus, bagus! Kalau begitu ambilah ini!” timpal kakek itu sambil manggut-manggut. Diangsurkannya sebuah benda padaku.

“Peluit?” tanyaku setelah aku menerima benda itu dan mengamatinya.

“Kau tahu apa fungsi peluit, bukan?” tanyanya datar. “Peluit berfungsi mengingatkan. Dan begitu juga manusia yang harus saling mengingatkan, menegur dan menasehati jika orang di sekitarnya berbuat khilaf,” jelas kakek itu menjawab pertanyaanya sendiri. “Dan di departemen, tempat nantinya kau bekerja, ada banyak orang yang harus diingatkan,” imbuh kakek tua itu. Kali ini aku yang berganti manggut-manggut hingga daguku terantuk keras.

Aku terbangun dalam kebingungan. Kubuka genggaman tangan kananku. Berkali-kali kukecek mata, sebuah peluit putih bersila di sana. Mimpi tadi sekadar bunga tidur atau wasiat tersirat?

Mimpi bertemu kakek tua kuyakini sebagai sebuah wasiat gaib setelah kubaca namaku tertera di koran pengumuman. Aku dinyatakan lolos dan tak lama lagi aku akan resmi menjadi pegawai departemen beken yang sudah sekian lama kuidam-idamkan.

Bulan-bulan pertama bekerja di departemen terpandang itu seolah aku masih bermimpi saja. Saban waktu aku bisa bertemu dengan orang-orang penting di negeri ini. Tentu sebuah kebanggaan, anak kampung sepertiku bisa bekerja di gedung elite bersama orang-orang yang elite pula.

Bagai anak itik yang baru dilepas dari kandangnya, selangkah demi selangkah aku merambah dan mengenali jengkal-jengkal dunia baruku. Tak berselang lama aku dibuat terpana, tergugu dan kadang merana oleh peristiwa demi peristiwa yang perlahan tapi pasti mulai meruntuhkan pegangan hidupku. Dengan sangat-sangat terpaksa, kupensiunkan secara dini peluit wasiat kakek tua. Aku tak punya pilihan lain, keselamatan karier adalah yang lebih utama.

Menginjak tahun ketiga, aku tak lagi serupa orang udik yang kesasar di ibu kota. Aku sudah sangat bisa menyesuikan diri dengan pekerjaan dan lingkungan. Aku sudah paham apa itu profesionalisme dalam arti yang sesungguhnya. Aku bisa menyelipkan diriku di celah-celah yang menguntungkan. Tak hanya itu, aku pun mulai pandai berkelit disaat tali-temali hendak melilit langkahku.

“Aku hanya korbaaaan!”

Aku berteriak, menjerit dan memekik namun tak satu pun orang mendengar. Kiranya semua telinga telah tersumpal kain tebal atau mungkin teriakanku kalah saing dengan rentetan suara terompet yang menguar di mana-mana. Aku tertuduh sebagai koruptor. Begitulah yang dikondisikan dan dianggap sebagai kenyataan.

Aku merasa terzalimi. Mengapa harus aku yang seorang diri menanggung beban? Aku tak rela. Teman-temanku juga harus menanggung derita, nista dan nestapa. Kurogoh saku celanaku dalam, mencari-cari peluit wasiat yang dulu sempat kupensiunkan

“Aha, aku temukan!” seruku girang. Tak menunggu lama, kutiup peluit sekuat tenaga. Bunyi nyaring menguar di udara, seketika kepala-kepala menoleh mencari suara.

“Priiiiiit! Aku hanya kelas teri. Di atasku masih ada kakap-kakap besar berkeliaran!” bunyi peluitku meraung.

“Priiiiiit! Si A, B, C juga terlibat!” Lagi-lagi peluitku meradang.

“Priiiiiiit! Pak ketua besar pun juga terlibat! Aku punya buktinya!” jerit peluit untuk kesekian kali.

Seperti sebuah roda yang berputar maka peluitku pun tertakdirkan tergilas pada akhirnya. Tak selang lama sejak raungan peluitku sempat menggegerkan jagat, suara peluitku mendadak direcoki bunyi terompet yang lebih membahana. Peluitku kalah, peluitku koyak.

Dalam kesendirianku di ruang penjara, aku mulai mengakrabi renungan. Kurenungi tiap jengkal langkah yang pernah kutapaki. Dari perenungan panjang itu, aku sadari bahwa aku memang pantas berada di dalam jeruji besi. Itu artinya, aku diizinkan menebus dosaku di sini. Perkara temanku yang lain belum merasai itu hanya masalah waktu. Suatu saat nanti, seperti halnya dengan roda zaman yang menggilas peluitku, degungan pongah terompet dari orang-orang yang berkuasa semena-mena itu akan terkalahkan dengan dahsyatnya sangkakala kebinasaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :